Mohon tunggu...
Ali Iskandar
Ali Iskandar Mohon Tunggu... Lainnya - Pelayan Maszawaibsos

Peminat Sosial Humaniora, tinggal di Lumajang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kambing, Kurban, dan Sidratul Muntaha

6 Juli 2024   04:55 Diperbarui: 6 Juli 2024   05:14 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada perbincangan menarik dalam komunitas kambing. Suatu kali ibu-ibu kambing yang sedang bertetangga dalam sebuah kandang besar berbilik bilik bercerita kepada sahabatnya." Kemarin tetangga kita mati disembelih tukang sate setelah dijual oleh juragan kita sebesar sekian ratus ribu". Kambing sebelah belakang ikut nimbrung untuk meramaikan suasana "Kapan giliran kita?" timpalnya. "Kemarin teman kita mati tertabrak truk ketika hendak pulang kesini setelah bermain main dilapangan sambil makan makan dilapangan bola". 

Dengan kaget penuh empati serentak mereka berkata "Innalillahi wa inna ilahi rajiun". Kambing sebagaimana makhluk tuhan lainnya tiada berbeda dengan manusia. Mereka mempunyai cita cita dalam hidupnya layaknya manusia. Mereka juga mempunyai harapan harapan sebagaimana manusia juga mempunyai harapan. 

Harapan mereka tidak terlalu berlebihan sebagaimana manusia dengan potensi akal dan nafsu yang dimilikinya. Seekor kambing sedang berdiam dipojok kandang merenung setelah mendengar temannya meninggal dalam kondisi tragis, tewas dijalanan dengan sia sia. "Apa gerangan yang menyebabkan dia tewas terlindas itu, apakah ia tidak taat kepada majikannya yang menggiring mereka untuk menepi dijalanan ramai, ataukah dosa dosa yang telah ia lakukan sebelumnya yakni semena-mena dengan sebayanya". 

Pertanyaan serupa selalu menggelayut dalam benaknya. Ia teringat suatu ketika mendengar sambil makan pagar tanaman yang rindang mengelilingi mushollah disore hari. Pak ustadz bercerita tentang seorang anak nabi bernama Ismail diperintahkan oleh tuhannya untuk disembelih sebagai ujian atas ketaatannya kepada Allah. 

Episode selanjutnya sebagaimana yang diketahui umat islam Ismail menyetujui kehendak ayahnya sebagai bukti atas ketaatan anak kepada ayah dan dan tuhannya. Mendengar kisah itu sang kambing hamil berdoa penuh harap " Ya allah jadikanlah keturunanku kelak ketika dewasa dan sehat mati dalam keadaan sebagi kurban bagi umat islam" pintanya. 

Kurban. 

Sebuah kebanggaan bila anaknya kelak tumbuh dewasa, sehat , gemuk padat nan sintal dan bernasib baik yaitu menjadi kambing kurban bagi seseorang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah, tuhannya. Harapan ini boleh jadi menjadi harapan kambing kebanyakan. Tiada kambingpun yang mati dalam keadaan sia sia terlebih seperti temannya, tewas terlindas truk belum sampai disembelih secara hukum yang tuhan tetapkan. 

Kurban merupakan sebuah ajaran yang berdimensi sosial spiritual warisan Nabi Ibrahim dan Ismail ribuan abad lampau. Allah menetapkan tradisi ini dalam ritus haji untuk memutus sikap mental rakus, serakah, manja oleh kilauan kemewahan materi duniawi. Seseorang yang berkurban menyadarkan nafsunya terbebas dari rapuhnya kemewahan duniawi, tunduk kepada kepada keabadian ukhrawi dan fenomenanya. Al quran menyinggung kegemaran manusia dengan kemegahanya itu sampai kealam kubur (QS 102:1-2). 

Fenomena attakatsur bukan hanya berhenti kepada kuantitas harta belaka. Dalam Al Qur'an dan Terjemahnya disebutkan bahwa maksud attakatsur juga berlaku pada soal banyak anak, pengikut, kemuliaan dan seumpamanya telah melalaikan dari ketaatan. 

Bila pemahaman tentang materi telah diketahui sebagian besar oleh manusia bagaimana dengan soal banyaknya anak, pengikut dan kekuasaan. Tentu ini merupakan potensi besar untuk lalai kepada dari taat kepada Yang Maha Kuasa. Pada ayat lain Allah juga menjelaskan bahwa ambisi dalam bahasa qur'an disebut syahwat, keturunan, simpanan, disimbolkan dengan emas-perak, kendaraan hanya sebagai hiasan hidup semata. Keberadaannya tidak sampai mengabadikannya pada kehidupan yang kedua kelak. 

Menurut Asshobuni Yahudi dahulu amat bangga dengan keturunan yang banyak. Mereka berlomba lomba dalam memperbanyak anak. Tetapi tujuan mereka dengan banyaknya anak hanya sebagai kebanggaan semata. Maka Allah timpakan mereka dengan diaspora kehidupan. Hidupnya berpindah pindah dari satu tempat ke tempat lain dengan mewariskan kekacauan dan kerusakan sepeninggalnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun