Mohon tunggu...
Ali Akbar
Ali Akbar Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

instagram : Aliakbar347

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Malam Itu

12 Maret 2020   01:36 Diperbarui: 12 Maret 2020   01:37 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari  itu pukul setengah 6 pagi, udaranya masih dingin dan  berkabut, setiap kali angin berhembus rasanya seperti masuk ke pori -pori dan kemudian meresap ke tulang. 

Saat ini aku sedang berdiam diri di depan teras rumah sambil ditemani secangkir kopi hitam dan satu mangkuk mie instan yang hanya bersisakan kuahnya.

Jujur aku kurang menikmatinya karena suara warga menutupi suara kicauan burung yang hinggap di pohon beringin besar di belakang rumahku, sebenarnya kesal tapi biarkan saja sudah resiko tinggal sebelahan dengan pedagang sayuran, masih pagi buta tapi sudah ramai dengan gosip-gosip yang dilontarkan oleh para warga.

Oh iya saat ini aku menggunakan jaket berwana hitam dengan celana panjang, tapi itu tidak penting dan kurang menarik, sepertinya pembicaraan warga lebih penting dan  menarik untuk dinikmati sambil menggosok kedua tangan supaya hangat.

“ Kemarin katanya ada kecelakaan sepeda motor ya?” ucap salah satu warga.

“ Iya bu , itu temen anak saya , katanya pas pulang dari kota dia ngelamun terus gak sengaja masuk ke lubang jalanan di depan toko perkakas.”  balas pak Marto si pedagang sayur.

“ Udah rusak parah tuh jalan , dari anak saya lahir sampe sekarang masuk SMA masih belum aja di di rapiin. Itu gimana pak yang kecelakaanya.?” Balasnya.

“ Parah bu kakinya sampe diamputasi, tulang kaki bagian kanannya ancur soalnya engga lama dia jatuh ada truck pasir lewat tepat di belakangnya, segitu masih untung bu , dia cepet-cepet minggir kalo engga ya bisa bisa kelindes semua, mana perempuan lagi , kasian masa depannya masih panjang, kemana tuh kepala desa duit hasil panen kita dimakan sendiri  ” jawab pak Marto si pedagang sayur.

“ Kasian ya pak, iya tuh pak uang dari hasil panen kita pada kemana ya , jalanan di sini masi aja kaya gitu gak ada perubahan , itu Pak kepala desa malah gonta-ganti mobil tiap bulan , ga guna“ ucap warga yang lain sambil bernada marah

“Korupsiiii, apa harus diam seperti ini saja ??? “ tambah seorang warga

“Hustt sembarangan,denger-denger sih ya malam ini ada musyawarah di balai desa, kita kesana aja bu siapa tau didenger, kata pak kepala desa harus hadir semua “ jawab warga lain.

Jam 9 malam katanya, sepertinya aku harus datang ke musyawarah itu, semua warga diundang, pasti balai desa penuh oleh orang-orang yang protes, aku yakin pasti ada sesuatu yang terjadi disana, kepala desa belum memberikan apa-apa buat desa ini , ga guna sepertinya cuma dia aja yang makmur dan sejahtera.

Masyarakat melarat, janji janjinya udah basi, jalanan saja belum saja diperbaiki , aduh kenapa aku ikut berapi api seperti ibu-ibu tadi, tapi memang faktanya seperti itu, pengangguran sepertiku juga harus di perhatikan.

Malam itu tiba, pukul 9 malam lebih 15 menit , hari hari kamis yang artinya malam adalah malam Jumat, para warga biasanya memberikan sesajen di pohon-pohon besar dan juga tempat-tempat kramat , desa masih kental budaya , masih primitif, roh nenek moyang masih di jadikan tuhan untuk meminta hal-hal yang mereka inginkan.

Warga berkumpul, Pak Romo selaku kepala desa sudah duduk menyila di hadapan para warga , tatapannya tajam , seperti menahan amarah dan juga dendam, Desa Cipayu itu nama desanya , tidak ada yang tau apa artinya tapi sudahlah ini tidak penting . 

Aku ceritakan sedikit tentang Pak Romo saja , ia adalah orang kaya terpandang di desa ini , rumahnya paling besar diantara rumah warga yang lainnya, lahan sawah dan pertaniannya luas , hampir semua lahan yang ada di desa yang kecil ini miliknya , dia mempunyai dua istri dan empat orang anak semuanya perempuan, dan masih berumur tujuh tahunan,pokoknya dia orang yang ditakuti di desa ini.

Susana cukup hening , sunyi tanpa ada suara bisikan-bisikan dari warga , yang ada bau kemenyan dan bunga melati begitu menyegat seperti tepat di depan hidung. 

Dinginnya malam mulai terasa , menyayat-nyayat kulit, dingin sekali , aku heran dengan sorang warga yang berada di dekat tiang balai desa , pria dengan tubuh yang kekar tanpa menggunakan baju atasan, dia kebal terhadap dinginnya malam, mungkin dia meminta roh-roh di pohon besar untuk menyelimutinya nya , seringkali aku melihat dia memberikan ayam hidup berbulu hitam ke kuburan kramat dan memotongnya disana, entah apa tujunnya , aku kurang paham.

“kalian minta apa dari saya?” tanya Pak Romo dingin

“Uang?  atau apa” tambannya

“kami Cuma mau kesejahteraan , perbaiki semua yang ada disini pak , lihat jalanan ancurr , banyak korban , banyak yang celaka , banyak yang mati!!! “ jawab warga dengan nada marah.

“Betul jangan korupsi uang hasil panen kami!!!!!!!!!” sontak jawaban warga

Keadaan mulai memanas , dinginnya udara mulai terkalahkan oleh amarah warga, Pak Romo diam saja seperti dikekang seperti dipaku, ia memanggil salah satu warga untuk maju kedepan dan menjelaskan permintaanya kepadanya.

“ Pak  Marto kesini maju kedepan cerita semua sama saya , saya tau bapak ,saya kenal bapak “ ucap Pak Romo

Tanpa berfikir panjang Pak Marto maju kedepan menghampiri kepala desa, belum mengucapkan sepatahkata pun Pak Marto disayat menggunakan golok tajam tepat de lehernya , hingga putus , darah berceceran bersimbah darah memenuhi balai desa dengan lantai yang berwarna putih.

Kemudian kepala Pak Marto dilemparkan kepada warga, sontak warga terkejut seperti ketakutan , dan berhamburan tapi tetap tidak bisa pergi jauh , ternyata orang yang didekat tiang adalah orang suruhan pak Romo , sial kenapa aku tidak berfikir jauh kalau dia buah tangan Pak Romo.  Warga menjerit , berkeringat oleh cipratan darah dari badan Pak Marto ,

“kalian diam atau saya penggal kepala kalian “ ucap Pak Romo sambil memainkan golok tajamnya

 Warga terdiam , ketakutan kini dingin memuncak , mereka mengigil seperti kematian menghampiri mereka

“saya pakai uang hasil panen kalian , kalian semua bodoh, kekayaanku semakin bertambah, Pak Marto sudah diterima tumbalnya oleh para iblis , kalian harus tetap diam” .ucap Pak Romo

Anak suruhan Pak Romo membawa kendi air, dan nampan yang berisi bunga bunga layu , para warga disuruh memotong rambutnya kemudian memakannya bersama dengan bunga layu-layu itu.

 Mereka bingung , sadar tetapi tidak sadar , mereka lupa apa yang terjadi , seperti linglung, para warga pulang tanpa bisa mengingat apapun. Tapi kenapa aku tidak berpenaruh ? aku tetap ingat detail apa yang terjadi malam itu , aku heran tak ada yang bisa menjawab, warga tidak ada yang peduli dengan pertanyaan pertanyaanku mereka mengbaikan.

Hingga cermin tua di balai desa menjawab semuanya , tak ada pantulan wajahku,sontak aku lari ke rumah , rumah sudah usang seperti tidak ditinggali oleh manusia selama bertahun-tahun. 

Ya kalian sekarang tau aku adalah hantu korban dari tumbal pak Romo jauh dari sebelumnya mungkin 19 tahun yang lalu, rumahku sekarang ada di bawah pohon beringin tua dengan nama nisan Ramasa , Anak kandung dari Pak Romo yang ditumbalkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun