Baru kali itu saya bisa menikmati Malioboro sesungguhnya. Biasanya saya ke Yogyakarta itu jika sedang liburan akhir tahun atau liburan tahun baru, situasinya sangat ramai dan sesak di Malioboro. Jadi tidak bisa 'leyeh-leyeh' menikmati Malioboro di kala senggang.
Perjalanan dari Yogyakarta ke Temanggung kurang lebih 2 jam. Dari kantor travel, kami menggunakan taksi online menuju Pasar Kandangan yang lokasinya di sebrang homestay.
Sekitar pukul 12.00 saya dan Ari sampai di Homestay Spedagi. Jadi Homestay Spedagi itu memiliki dua tempat, yakni Omah Tani dan Omah Yudhi. Nah, saya memesan di Omah Yudhi yang lokasinya pas di sebrang Pasar Kandangan. Di Omah Yudhi ada beberapa pilihan penginapan, yaitu ada Omah Tua, Omah Gede, Omah Tinggi dan Omah Pojok. Dari semua Omah itu, saya memilih yang murah meriah, yaitu Omah Pojok. Hanya berisi dua tempat tidur tingkat saja, per orang kena bayaran Rp 150 ribu. Ada ruangan lebih di teras depan terbuka langsung ke sawah, itu kita pakai untuk sholat. Sedangkan untuk kamar mandi berada di luar, sekitar 100 meter. Pe Er juga kalau malam-malam mau ke kamar mandi, suasana sepi, sunyi, dikelilingi pepohonan rindang, dan penerangan lampu seadanya.
Omah Yudhi tempatnya nyaman, instagramable banget, sepi, sunyi pas banget untuk orang yang ingin refresh jika sudah pusing dengan kebisingan kota besar. Lantaran murah, kita tanpa breakfast, tapi teh, kopi khas Temanggung dan gula bebas dipakai yang berada di sebuah ruangan terbuka, seperti ruangan untuk untuk berkumpul para tamu.
Desain homestay disesuaikan dengan potensi lokal. Semuanya terbuat dari kayu, memanfaatkan material murah dan sederhana tapi jadi terlihat unik serta harmoni dengan alam sekitarnya. Homestay Spedagi ini menjadi salah satu proyek arsitektur pedesaan yang sebagian pendapatannya digunakan untuk membiayai proyek Revitalisasi Desa Spedagi.
Fasilitas lain yang saya dapatkan adalah, pihak homestay membantu memesankan ojek yang membawa saya dan Ari sejak pukul 05.00 subuh. Ojeknya sesuai nego, kemarin itu saya membayar per orang Rp 30 ribu. Lokasinya lumayan jauh, lewat pedesaan dan melewati gunung kembar yang sangat indah, Sindoro dan Sumbing. Mengingatkan saya waktu kecil yang sering banget menggambar, dua gunung dilengkapi dengan jalanan, sawah dan rumah. Ternyata memang ada ya.
Fasilitas lainnya adalah yang menginap diberi uang pring, sebanyak 12 pring (Rp 24 ribu), ini uang dari bambu yang digunakan untuk aktivitas jual beli di Pasar Papringan. Satu pring itu seharga Rp 2000.
Pasar Papringan
Papringan artinya dari bahasa Jawa itu kebun bambu. Tadinya kebun bambu ini adalah tempat pembuangan limbah rumah tangga masyarakat sekitar Dusun Ngadiprono, Ngadimulyo, Kedu, Temanggung. Imej negaif menjadi tempat yang gelap, kumuh, bau, disulap oleh sebuah LSM Spedagi menjadi tempat berpotensi untuk menjual produk lokal masyarakat sekitar yang berasal dari bambu.
Khas semua pasar, apapun ada terutama di Pasar Papringan itu kekuatannya adalah kuliner. Namun menurut saya, di Indonesia pasar seperti ini baru ada di Pasar Papringan. Ini bisa dibilang sebagai salah satu tujuan baru untuk wisata di Indonesia. Tidak hanya mengenalkan daerah Temanggung dan Dusun Ngadiprono, Desa Ngadimulyo. Juga ada dua gunung kembar yang indah, Gunung Sumbing dan Sindoro.
Pasar Papringan juga bisa menjadi potensi tujuan wisata baru terutama untuk kekayaan kuliner Indonesia. Pohon-pohon bambu yang menjulang tinggi menambah nilai eksotis dari pasar tersebut. Pasar Papringan mulai dibuka pada 14 Mei 2017, sekitar 80 warga setempat membuka lapak. Mereka berjualan hanya di Pasar Papringan, sehari-harinya mereka tidak berjualan, tapi hanya sebagai ibu rumah tangga dan yang pria melakukan pekerjaan lain. Di sekitar area pasar banyak tersisa bambu hasil karya para warga untuk  dijual.