Alan Ahmadinejad atau biasa dipanggil Alan, seorang sarjana teknik yang baru saja lulus, datang ke sebuah madrasah di pinggiran kota dengan semangat besar. Madrasah di ujung utara kota kecil di Jawa Tengah ini memiliki bangunan yang terlihat kokoh namun kaku, seolah terjebak dalam waktu yang telah lama berlalu. Begitu memasuki area madrasah, kesan pertama yang muncul adalah suasana yang gersang dan terbatas. Lahan yang tidak dihiasi dengan tanaman hijau atau ruang terbuka yang bisa menjadi tempat bagi siswa untuk bermain, atau sekedar bersantai. Tanah yang tertutup paving blok tampak kering dan seolah membiaskan fatamorgana, seakan kurang mendapat perhatian untuk menjadi ruang yang hidup dan menyegarkan.
Tak ada taman atau kebun kecil yang menghadirkan kesejukan. Siswa-siswa yang berkumpul di halaman hanya bisa saling berbicara atau duduk-duduk di bangku-bangku tua dan sederhana, tanpa ada tempat bagi mereka untuk mengekspresikan kegembiraan mereka dalam bermain atau beraktivitas fisik.
Selain itu, fasilitas untuk olahraga dan seni juga tidak nampak terlihat. Tidak ada sarana olahraga yang layak, hanya ada beberapa ruangan yang sempit dan terbatas untuk kegiatan indoor. Siswa yang ingin bermain bola, berlari, atau berolahraga lainnya hanya bisa melakukannya dengan cara yang terbatas dan hanya bisa memanfaatkan lapangan olah raga milik desa. Begitu juga sarana untuk kegiatan seni sepertinya tidak memiliki ruang khusus untuk menyalurkan kreativitas mereka. Tidak ada ruang seni yang dilengkapi dengan alat atau sarana prasarana seni untuk mendukung ekspresi artistik mereka.
Meski madrasah ini memiliki jumlah siswa yang lumayan banyak, namun terkesan abai dalam hal pengembangan karakter siswa melalui aktivitas fisik dan seni. Keterbatasan fasilitas ini menjadi tantangan besar bagi siswa yang memiliki potensi dalam bidang olahraga dan seni, namun tak memiliki ruang untuk mengembangkannya. Meskipun demikian, semangat belajar para siswa tetap tinggi, meskipun mereka tak bisa merasakan kebebasan bermain atau mengekspresikan diri secara maksimal di luar ruang kelas.
Alan memandang madrasah sederhana di depannya dengan semangat dan sedikit gugup. Lulusan sebuah perguruan tinggi swasta di Ibu Kota ini belum lama diterima untuk mengabdi di sini, bukan sekadar mengajar, tapi membawa gagasan besar: sebuah platform digital yang akan mengintegrasikan semua informasi di madrasah dalam satu sistem, ia membayangkan suatu aplikasi yang akan memudahkan setiap orang mendapatkan informasi secara real-time: mulai dari absensi, tugas dan ulangan, hingga laporan nilai dan pembayaran sekolah. Namun, ia sadar betul, tugas ini tidak akan mudah. Ia harus meyakinkan semua orang bahwa perubahan ini perlu.
Pertemuan Alan dengan para sesepuh yayasan untuk menyampaikan gagasannya tidak berjalan mulus. Pak Imran, sesepuh yayasan yang paling menentukan arah kebijakan madrasah, mengerutkan alisnya ketika Alan menjelaskan idenya. "Alan, kenapa harus sistem digital seperti itu? Sistem kita sekarang sudah berjalan bertahun-tahun tanpa masalah. Data siswa, absensi, daftar nilai, semua sudah tercatat di buku. Orang tua juga sudah terbiasa datang langsung ke sekolah kalau ingin tahu perkembangan anak-anak mereka atau membayar uang sekolah."
Alan menelan ludah, menyadari bahwa antusiasmenya belum sepenuhnya dipahami. Namun, ia mencoba menjelaskan lagi dengan tenang, "Pak, dengan platform ini, orang tua tak perlu repot datang ke sekolah hanya untuk menanyakan absensi, nilai atau membayar uang sekolah. Mereka bisa melihat dan melakukannya langsung melalui aplikasi. Selain itu, jika ada pengumuman penting dari sekolah, bisa langsung diterima semua orang melalui platform ini."
Pak Imran masih tampak ragu. "Saya paham maksudmu, tapi menurut saya, ini tidak sederhana. Kebanyakan orang tua siswa di sini bahkan mungkin belum terbiasa dengan aplikasi digital."
Sejak hari itu, Alan sadar bahwa ia harus melangkah perlahan. Ia mulai dengan bertemu beberapa guru dan menyampaikan idenya. Di ruang guru, ia memperlihatkan contoh sederhana platform yang ia buat. Ia menunjukkan bagaimana absensi dapat dicatat hanya dengan beberapa klik, dan bagaimana sistem bisa langsung memperbarui data untuk dilihat wali murid kapanpun dan dimanapun. Tantangan mengubah pola pikir tetap ada. Alan harus menghadapi beberapa guru senior yang masih merasa bahwa sistem konvensional lebih aman dan nyaman. Mereka khawatir salah input data, atau lebih nyaman dengan catatan manual yang sudah mereka pakai bertahun-tahun.
Tantangan terbesar datang saat Alan memperkenalkan fitur pembayaran digital di platform. Beberapa sesepuh yayasan merasa cemas tentang keamanan transaksi, dan ada kekhawatiran jika orang tua di daerah tersebut akan kesulitan beradaptasi. Ibu Zahra, bendahara yayasan yang biasa menerima pembayaran khoirot siswa, langsung menyuarakan kekhawatiran itu, "Alan, kami belum yakin apakah wali murid mau menggunakan pembayaran digital. Bagaimana kalau mereka bingung?" "Mereka kebanyakan orang-orang desa yang tidak terbiasa bertransaksi diperbankan."
Alan menjawab dengan tenang, "Bu, zaman sudah berubah, maindset kita harus dirubah, bukan kita yang harus selalu menyesuaikan dengan pola pikir dan kebiasaan mereka. Mari bersama-sama kita edukasi mereka, kita bisa memberikan panduan sederhana untuk wali murid yang belum terbiasa. Bahkan, kita bisa membuka sesi sosialisasi dan membantu mereka mempelajarinya bersama-sama. Selain itu, metode pembayaran digital ini juga memudahkan yayasan untuk membuat laporan keuangan otomatis tanpa harus mencatat secara manual."