Tidak disangka Mas Rudi menanggapi tawaran tersebut, "Ayo, mau makan dimana? Atur ya". Langsung saja peluang itu kami tangkap. Tanpa aba-aba, kamipun berembuk, lalu kesepakatan dibuat, terpilihlah sebuah restoran Jepang dengan pertimbangan bisa makan sepuasnya atau all you can eat dan harganya yang lumayan mahal untuk ukuran kantong mahasiswa.Â
Restoran di-booking, kuliah dibubarkan dan kami semua secara serempak berangkat ke restoran, hasilnya? Restoran Jepang tersebut tutup setengah hari karena semua makanannya habis dimakan mahasiswa-mahasiwa kelaparan yang perutnya bagai palung dalam yang tak memiliki dasar.
Kenangan-kenangan diatas tiba-tiba muncul saat melihat Mas Rudi kembali memberikan kuliah walaupun melalui media daring. Satu hal yang saya syukuri adalah, saya (dan mungkin juga teman-teman kuliah satu angkatan) dapat merasakan gemblengan Mas Rudi. Walaupun keras (dan saya dengar banyak yang kurang setuju dengan cara beliau), hal itu telah memberikan warna-warni tersendiri pada masa kuliah kami.
Mas Rudi sendiri kemarin telah kembali ke dunia pendidikan yang dicintainya setelah melalui banyak cobaan. Dengan tegar dan penuh percaya diri beliau tampil memberikan paparannya. Seakan-akan sedang memberikan contoh kepada kami, para anak didiknya, bagaimana menjadi pendekar shaolin yang tangguh. Tidak hancur diterjang kerasnya dunia dan selalu bangkit kembali setelah diterpa cobaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H