Ada yang menarik dari pengumuman Badan Pusat Statistik (BPS) Kamis, (2/12/2014).Data terbaru dari BPS menyebutkan bahwa ada sekitar 28,55 juta penduduk Indonesia yang masuk kategori miskin. Jumlah ini sama dengan 11,47 % dari total penduduk Indonesia.
Penduduk miskin dikategorikan sebagai kalangan masyarakat dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan. Indikator garis kemiskinan terbentuk dari dua komponen : Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM).
Dalam hitungan BPS, komoditas makanan yang paling berpengaruh terhadap garis kemiskinan adalah beras, rokok kretek filter, telur ayam ras, mie instan, gula pasir, tempe dan bawang merah. Sedangkan untuk komoditas non makanan yang sangat berpengaruh adalah biaya perumahan, listrik, pendidikan dan bensin.
Data yang berbasis bulan September ini melampaui catatan jumlah penduduk miskin pada bulan Maret tahun lalu. Dibanding data Maret, ada tambahan 480 ribu orang miskin. Tambahan orang miskin terbanyak berada di wilayah perkotaan, yaitu 300 ribu orang. Sisanya, 180 ribu tambahan orang miskin ada di desa.
Yang perlu mendapat perhatian bahwa penyebab bertambahnya jumlah orang miskin adalah kebijakan pemerintah yang menaikan harga BBM bersubsidi pada 22 Juni 2013 lalu. “Dari tahun 2004 dan tahun 2006 itu, terjadi kenaikan penduduk miskin akibat kenaikan harga BBM. Nah tahun ini (jumlah orang miskin) juga naik karena BBM naik pada bulan Juni lalu,” jelas kepala BPS, Suryamin.
Pertanyaannya adalah : Pemerintah seringkali berkilah bahwa subsidi BBM selama ini salah sasaran. Tapi kenapa saat subsidi dikurangi orang miskin justru bertambah? Apa yang salah jika faktanya, kenaikan harga BBM bersubsidi selalu mengerek harga barang dan jasa ? Jumlah orang miskin juga ikutan naik.
Padahal pemerintah memberi kompensasi kenaikan itu dengan menggelontorkan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM/Balsem) sekitar Rp 9,3 triliun untuk 15,5 juta keluarga miskin. Dana tersebut diberikan sebesar Rp 150 ribu per keluarga per bulan selama empat bulan. Namun terbukti kebijakan itu tak menjawab permasalahan.
Apa kuncinya ?
Solusinya terletak pada kebijakan pemerintah. Jika pada suatu saat pemerintah berniat kembali ingin menaikkan harga BBM bersubsidi, maka perlu ada pengelolaan harga komoditas pangan yang baik. Bukan hanya memberi BLSM.
[caption id="" align="aligncenter" width="504" caption="4.bp.com"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H