Indonesia menempati peringkat kelima sebagai penghasil sampah plastik terbesar di dunia, dengan produksi mencapai sekitar 9,13 juta ton per tahun. Meskipun sudah menghadapi krisis sampah plastik domestik, Indonesia justru masih mengimpor sampah plastik dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Australia, dan beberapa negara Eropa.Â
Fenomena ini menimbulkan ironi besar. Bagaimana bisa sebuah negara yang sudah kewalahan menangani sampahnya sendiri justru menerima kiriman sampah dari luar?
Banyak yang mempertanyakan keputusan ini, terutama mengingat bahwa sebagian besar sampah yang diimpor tidak selalu dalam kondisi yang bisa didaur ulang dengan mudah. Tidak sedikit sampah impor yang tercampur dengan bahan berbahaya atau limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun).Â
Hal ini tentu saja memperparah kondisi lingkungan dan menciptakan tantangan tambahan dalam proses pengelolaan sampah.Â
Bahkan, beberapa laporan mengungkap bahwa limbah plastik yang dikirim ke Indonesia kadang kala hanyalah 'sampah' dalam arti yang paling literal -- plastik-plastik yang sudah rusak dan tidak layak pakai, tetapi tetap dikirim demi keuntungan finansial negara pengirimnya.
Dampak Lingkungan dan Lemahnya Pengawasan yang Mengkhawatirkan
Di balik kebijakan impor sampah plastik, terdapat banyak persoalan lingkungan yang cukup serius. Kurangnya pengawasan yang ketat dalam pelaksanaan kebijakan ini membuka celah bagi praktik-praktik yang merugikan, seperti penyelundupan limbah B3 dan pencampuran limbah berbahaya dengan limbah non-B3.Â
Padahal, Indonesia sudah memiliki regulasi yang mengatur impor limbah non-B3, yaitu melalui Permendag Nomor 20 Tahun 2021, yang bertujuan memastikan bahwa limbah yang masuk tidak membahayakan lingkungan. Namun, pada kenyataannya, pelaksanaan dan penegakan hukum terkait kebijakan ini masih jauh dari kata efektif.
Banyak kasus yang memperlihatkan kelemahan sistem pengawasan ini, seperti pemalsuan dokumen, pencampuran limbah berbahaya dalam kontainer, hingga kasus penyelundupan limbah B3 lintas negara.Â
Hal ini menunjukkan bahwa regulasi yang sudah ada masih belum cukup kuat untuk melindungi lingkungan dari dampak buruk impor sampah. Akibatnya, limbah plastik yang seharusnya bisa diolah dengan aman malah menjadi ancaman tambahan bagi lingkungan dan masyarakat Indonesia.
Tidak hanya itu, sampah plastik yang tidak dapat didaur ulang akan berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA) atau dibuang ke lingkungan, menyebabkan pencemaran yang lebih parah.Â