"Ini kata Radit, "Ada dua jenis komika. Satu yang mencerdaskan, dan satu lagi yang 'ini lho... lucu'." Dan saya memilih yang kedua."
~ Dodit Mulyanto.
Pilihan Dodit sudah benar. Tugas pelawak, atau dalam hal ini komika, adalah menjadi lucu, bukan yang lain. Kata-kata Radit yang dikutip Dodit itu menyesatkan, bahkan cenderung berbahaya. Memberi pesan moral, atau dalam istilah Radit 'mencerdaskan', adalah ilusi yang juga diidap penulis cerita seperti saya. Padahal dalam suratnya kepada Alexei Suvorin pada tanggal 1 April 1890 --tentu ini bukan untuk merayakan April Mop-- dan 28 Juli 1893, Anton Chekhov mengatakan hal yang bisa disingkat dalam satu kalimat: "do not preach, do not teach." Jangan berkhotbah, gak usah ngajarin. Cerita adalah cerita. Memang hebat --kata Chekhov-- kalau bisa menggabungkan seni dengan khotbah, tapi secara personal dia menganggap hal itu sulit dan secara teknis mustahil untuk dilakukan.
Ada --minimal-- tiga bahaya dari kata-kata Radit yang dikutip Dodit itu. Pertama, bayangkan kalau anak-anak sekolah yang kepingin pintar, bukan belajar, tapi malah rame-rame nonton Stand Up Comedy Indonesia. Bayangkan kalau malam sebelum ujian nasional, anak-anak sekolah itu bikin contekan berdasarkan materi stand-up Dzawin atau Abdur. Bisa-bisa soal esai isinya 'aduh, Mama sayange' semua. Bahaya kedua adalah kalau teman saya, Ganjar namanya, yang cuma mau tertawa dengan menonton stand-up comedy, habis nonton stand-up bukannya ketawa, tapi malah membahas jenis dan komposisi pupuk yang pas untuk menambah tinggi Radit atau menumbuhkan rambut Indro. Tapi yang paling bahaya adalah yang ketiga, kalau orang yang bertugas mencerdaskan bangsa malah berpikir bahwa mereka harus lucu karena yang seharusnya lucu sudah mencerdaskan. Maka kita akan menemukan pejabat negara yang lucu-lucu seperti komika stand-up Kompas TV.
Bicara soal pejabat negara yang lucu, ada menteri pendidikan yang merancang sistem pendidikan nasional untuk bikin orang cerdas, tapi justru gak percaya kalau ada siswa SMA yang bisa bikin surat cerdas buat dia. Ini seperti cowok jomblo yang sudah mandi, pakai minyak wangi, dan sisiran rapi, tapi gak pede waktu ada cewek yang ngedeketin. Ada lagi menteri kominfo yang harusnya ngurus kelancaran komunikasi dan informasi tapi malah nanya kalau internetnya cepat mau dipakai apa. Ini kayak cowok jomblo yang dikasih tau ada cewek cakep, tapi malah nanya kalau cakep mau dipakai apa. Dipacarin, Mblo. Diajak kawin. Tapi yang paling lucu itu menteri pertanian yang harusnya memajukan pertanian tapi malah lebih suka kalau jumlah petani sedikit. Ini kayak jomblo yang sujud sukur kalau jumlah cewek turun drastis, supaya dia gak usah ngejar-ngejar cewek lagi. Supaya cewek-cewek itu yang ngejar-ngejar dia. Udah jomblo, malas lagi. Jomblo kayak gini levelnya pasti sudah naik dari jones ke jodes, dari jomblo ngenes jadi jomblo despaired. Jomblo putus asa.
Setelah saya teliti, ada dua sebab kenapa menteri-menteri kita itu lucu-lucu. Pertama adalah bagaimana mereka dipilih dan kedua adalah cara mereka supaya bisa dipilih. Menteri-menteri itu dipilih setelah ikut pemilu, dipilih oleh orang banyak, menang, ikut koalisi, lalu dipilih jadi menteri. Penekanannya adalah di 'dipilih oleh orang banyak'. Itulah kenapa Dodit disukai orang banyak, follower-nya banyak, karena dia lucu. Bandingkan dengan ketua KPK atau kapolri atau panglima tentara yang dipilih pakai sistem juri. Ketua KPK gak ada lucu-lucunya. Panglima TNI malah galak banget. Makanya komika-komika yang tersisa di stand-up comedy sekarang cerdas-cerdas tapi gak lucu, karena mereka dipilih oleh juri. Follower-nya juga dikit kan?
Yang kedua adalah cara mereka bisa dipilih oleh orang banyak tadi. Ada yang tahu caranya? Stand-up! Perhatikan bagaimana mereka, waktu ada orang rame-rame nonton dangdut, terus mereka maju ke depan panggung, ngambil mic, lalu pidato. Open mic. Lalu mereka mulai bicara soal kondisi Indonesia yang susah, dikuasai perusahaan asing dan koruptor. Set up. Terus tiba-tiba dia bilang kalau cuma dia yang bisa menyelamatkan Indonesia. Ini namanya punchline. Terus dia mulai menjelek-jelekkan calon lain pakai kampanye hitam. Ripping. Terus nanya-nanya sama penonton dangdut tadi, ngajak yel-yel dan meneriakkan namanya. Riffing. Terus tiba-tiba mukanya disedih-sedihin, nangis, atau naik kuda, atau nyamar jadi tukang becak. Ini namanya act out. Terus dia naik lagi ke panggung, ngasih tahu supaya kita jangan lupa untuk milih dia karena cuma dia yang bisa menyelamatkan Indonesia. Call back. Terakhir mereka akan mengambil batang bambu, memeragakan cara memilih dirinya sambil meneriakkan slogan tertentu --biasanya singkatan nama mereka. Ini yang namanya closing line.
Jadi sekarang saya curiga, komika-komika cerdas yang tersisa di stand-up comedy ini sebenarnya ikut audisi bukan karena mau jadi komik, tapi mau jadi ketua KPK atau panglima TNI.
Sebel saya.
‪#‎Dodit_4_President‬.
Sumber: https://www.facebook.com/cepi.sabre/posts/10202521728497675?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H