Informasi tentang netralitas aparat dan penyelenggara pemerintah pada pemilu akhir-akhir ini semakin masif dan cukup berpengaruh kepada masyarakat.Â
Mulai dari isu penggunaan uang negara dalam pemilu, kecondongan dalam mendukung salah-satu capres, menggerakkan lembaga negara sampai memanfaatkan program pemerintah untuk kepentingan pribadi.
Tindakan-tindakan ini uniknya malah ditunjukkan secara terang-terangan oleh mereka. Bukannya memberikan efek positif pada masyarakat, justru masyarakat akan menilai negatif terhadap hilangnya netralitas pejabat negara dalam pemilu. Ditakutkan, masyarakat akan menjadi apatis dan paling buruk melawan.
Berdasarkan informasi dari berbagai media, terdapat salah-satu menteri yang memberikan bantuan sosial dan mengatakan bahwa bantuan tersebut adalah bantuan presiden.
Bahkan, sang penerima diminta untuk berterima kasih pada Presiden dan sambil divideokan. Tindakan seperti inilah yang menunjukkan bahwa Netralitas hanyalah sebuah Formalitas.
Kasus lain lagi adalah kampanye dengan alat negara, seperti partai yang membuat video kampanye dalam kantor salah satu kementerian, penggunaan mobil, aparat dan lembaga negara untuk berkampanye. Kasus ini memberikan contoh hilangnya netralitas yang ada dalam pejabat publik.
Bukan cuman secara terang-terangan seperti kasus diatas, tapi juga mulai membuat intervensi, kriminalitas dan sikap "curang" dengan capres yang lain dan yang lebih parah adalah informasi hoax yang disebar oleh oknum tidak bertanggung jawab. Padahal, jargon pemilu saat ini adalah "Pemilu Riang Gembira".
Dimana riang gembiranya?
Politik riang gembira hanya jargon semata
Riang dan gembira seharusnya dicerminkan dengan tindakan dan penegakkan. Ketika pemilu, setiap pendukung dan yang didukung berhak melakukan kampanye atau tindakan apapun untuk mempromosikan capres mereka selagi tidak melanggar undang-undang dan aturan yang telah ditentukan.
Bagi mereka yang melanggar, tentu harus ditindak tegas. Kampanye dengan uang, melakukan kampanye di tempat yang dilarang dan berbuat tidak fair saat kampanye. Sebuah tindak yang seharusnya ditindak bukan didiamkan atau tebang pilih.
Kenyataannya, ketika capres lain mempromosikan dirinya, ada yang diturunkan video promosinya, ada juga yang di kriminalisasi pendukungnya dan yang paling parah salah-satu kasus penembakan terhadap tim kampanye capres yang tidak jelas siapa pelakunya dan apakah ada hubungannya dengan salah satu capres.
Maksudnya, ini malah menciptakan pemilu yang tidak gembira sama sekali. Masyarakat dibikin was-was dan takut terjadi huru-hara akibat pemilu kali ini. Tidak lupa polarisasi di masyarakat pada pemilu 2019. Seorang ayah dan anak bisa saling bermusuhan karena perbedaan dukungan kepada salah-satu capres.
Jargon politik riang gembira yang digemborkan bisa jadi penyelamat dalam hal ini. Tunjukkan bahwa pemilu kali ini adalah sebuah pesta demokrasi untuk mempersatukan bangsa di bilik suara. Namun, kenyataan memang tidak sesuai dengan praktek.
Media sosial dan di lapangan sekalipun banyak orang yang saling bertengkar dan menghina capres mereka. Seharusnya, politik yang riang dan gembira adalah saling menghargai perbedaan dan tidak mempermasalahkan mereka. Toh, banyak dari mereka yang hari ini bisa jadi berubah dukungan.
Sebut saja platform TikTok yang sering memunculkan video salah-satu capres. Jika dicek komentarnya, pasti sangat kejam sekali jika ada orang yang tidak mendukung capres di video tersebut. Begitu pula platform X atau Twitter yang berisi cuatan para pengguna salah-satu capres yang cukup masif.
Keadaan yang cukup ribut di media sosial diperparah lagi dengan aparat, pejabat dan pemegang kekuasaan sendiri yang tidak netral. Bukannya menciptakan situasi kondusif dan nyaman. Malah menunjukkan kalau mereka mendukung capres lain secara terang-terangan.
Sebagaimana sikap pemimpin, jika kepalanya saja sudah kacau, bagaimana kebawahnya?
Netralitas adalah sikap membela rakyat
Sejujurnya secara pribadi, tidak masalah sebenarnya jika seorang pejabat negara tidak netral dalam pemilu. Setiap orang tentu punya pilihan masing-masing. Namun, cukuplah sikap tersebut disimpan oleh diri mereka sendiri. Jangan di umbar secara terang-terangan seperti ini. Tidak etis dan baik di mata masyarakat sebenarnya.
Seorang pejabat negara seharusnya fokus untuk bekerja demi rakyat dan negara. Bukan ikut campur urusan pemilu dan memberikan bantuan pada salah-satu capres.
Bukan takut saat jabatan habis siapa yang melanjutkan programnya, tapi takut kalau jabatan habis tidak bisa memberikan apa-apa.
Sikap netral ini adalah sikap yang membela rakyat. Karena sebagai penguasa, pejabat negara dan aparat sekalipun bertugas untuk rakyat, bekerja untuk rakyat dan mengabdi kepada rakyat. Karena itu, sikap netralitas bukanlah apatis, tapi profesional dan berintegritas dalam menyikapi jabatan yang hampir habis.
Kalau menunjukkan sikap tidak netral, malah menunjukkan ketakutan yang besar akan habisnya jabatan, takut ada hal yang disembunyikan, takut program yang dibuat tidak lagi dilanjutkan. Padahal, tidak perlu dipikirkan, rakyat akan menilai, jika terdapat program yang tidak jalan, maka presiden selanjutnya juga yang akan dikritik.
Hadapi dengan berani dan tegakkan kebenaran
Jangan takut, untuk melawan ketidak benaran. Jangan takut untuk mendukung orang yang kamu dukung dan tetap waras. Jika tidak bisa membela rakyat, maka kita sebagai rakyat yang harus membela diri sendiri.
Masyarakat harus bersatu untuk membuktikan bahwa sikap tidak netral pemerintah dapat dihentikan dengan "people power". Bukan turun ke jalan atau membuat huru-hara, tapi tunjukkan di bilik suara. Bahwa, mereka yang meremehkan rakyat tidak akan bisa mengalahkan kekuatan rakyat.
Sebagaimana Abraham Lincoln mengatakan "dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat" dalam sebuah sistem demokrasi. Karena itu, jika sebuah pemilu saja sudah bermain tidak fair dan tidak menghargai rakyat sebagai penguasa tertinggi. Kok mau dapat suara dari rakyat?
Sekali lagi, rakyat tidak perlu takut untuk bersuara dan menunjukkan siapa yang berkuasa. Cukuplah rakyat tunjukkan kekuasaan mereka dalam bilik suara. Tunjukkan siapa sebenarnya penguasa di Indonesia.
Rakyat harus membela rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H