Mohon tunggu...
Ali Muakhir
Ali Muakhir Mohon Tunggu... Penulis - (Penulis Cerita Anak, Content Writer, dan Influencer)

Selama ini ngeblog di https://www.alimuakhir.com I Berkreasi di IG @alimuakhir I Berkarya di berbagai media dan penerbit I (cp: ali.muakhir@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menengok Desa Anak Lembang di Hari Anak Nasional

27 Juli 2016   10:24 Diperbarui: 27 Juli 2016   20:14 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak-anak dari Desa Anak Lembang Wajib Bersekolah Demi Masa Depan Cerah (Foto Kang Alee)

ANAK laki-laki yang terlihat sehat dan aktif di gendongan Bu Rina baru berusia 5 tahun. Ketika saya dan teman-teman media mengunjungi rumah yang ditempati Bu Rina dan ke-6 anaknya, anak laki-laki tersebut langsung menyambut dengan membalas salam serta uluran tangan.

Berturut-turut kemudian, 2 anak perempuan yang masing-masing duduk di bangku kelas 4 dan kelas 6 SD, 2 anak laki-laki yang duduk di bangku kelas 3 dan kelas 5 SD, terakhir anak laki-laki yang sekarang kelas 8 SMP.

“Dari mana?” tanya saya saat dia menyelami saya.

“Habis kontrol. Ngasih tahu kalau anggota keluarga sudah lengkap, sudah ada di rumah semua,” jawab anak laki-laki yang berasal dari Ambon tersebut.

Kontrol tersebut dilakukan dan menjadi kewajiban bagi anak paling besar dalam setiap keluarga sehingga dia ikut bertanggung jawab pada keluarga yang ada dalam rumah tersebut.

Setelah meletakkan semacam buku absen, anak laki-laki tersebut kemudian membantu adik perempuannya yang sedang mengerjakan PR. Sesekali adik perempuan yang telah kelas 6 SD tersebut merajuk sebagaimana layaknya seorang adik kepada kakak.

Tak canggung pula, mereka memanggil anak yang paling kecil dengan panggilan 'Dek' dan anak yang usianya lebih besar dengan panggilan 'Mas' atau 'Mbak'. Semua dilakukan dengan sangat alami, layaknya sebuah keluarga yang lahir dari rahim yang sama.

Padahal, pengalaman tersebut saya lihat di SOS Children’s Village Lembang yang lebih dikenal dengan Desa Anak. Tanpa sadar, rasa haru langsung menyeruak dalam benak saya. Terlebih lagi saat Sang Ibu bercerita dengan mata berbinar sambil menunjuk foto-foto yang dipasang di dinding.

“Ini anak pertama saya, kemarin baru wisuda dan sekarang sudah bekerja di perusahaan ekspor impor,” jelas Bu Rina yang berasal dari Semarang dan sudah beberapa tahun menjadi ibu asuh di Desa Anak Lembang.

Saya memperhatikan foto yang ditunjuk Bu Rina. Saya lihat Bu Rina dan pengurus Desa Anak sedang mengapit seorang laki-laki yang memakai toga, tanda telah menyelesaikan S1-nya.

“Mas Apri sekarang sudah menikah, istrinya sudah mengandung, jadi Ibu sebentar lagi punya cucu,” lanjut Bu Rina menyebut nama anak sulungnya sambil tersenyum sumringah. “Lebaran kemarin main ke sini dan bertemu adik-adiknya.”

Terlepas dari keharmonisan yang terjalin di antara anak asuh dan ibu asuh, ada kenyataan pahit yang terjadi pada anak-anak tersebut. Anak laki-laki yang sekarang berusia 5 tahun, pada kenyataannya diasuh oleh Bu Rina sejak usia 3 hari.

Tiga anak lainnya yang wajahnya mirip dan sekarang sudah kelas 2,3, dan 4 SD berasal dari keluarga kurang mampu dari Lampung. Mereka masih memiliki keluarga, mereka terlantar karena orangtuanya tidak mampu memberi kehidupan yang layak.

Saya tidak bertanya lebih lanjut tentang anak-anak yang lainnya, sungguh saya tak siap mendengar jawabannya.

Keluarga Bu Rina yang Terlihat Sangat Bahagia (Foto Kang Alee)
Keluarga Bu Rina yang Terlihat Sangat Bahagia (Foto Kang Alee)
Saya pikir hanya keluarga Bu Rina yang terasa sekali kekeluargaannya, keluarga lainnya pun sama. Sempat ngobrol dengan salah satu Ibu Asuh lainnya yang sedang menggendong bayi perempuan lucu berusia 7 bulan.

“Ada di sini sejak usia 1 hari, bahkan ari-arinya pun ibu yang mengubur memotong dan mengubur,” cerita Ibu tersebut. Anak tertuanya sekarang sedang menyelesaikan S1 Pendidikan Guru Olahraga. Beberapa kali dia mengikuti kejuaraan olahraga dan berprestasi.

Ketika ditanya apa beliau senang berada di sini? Beliau jawab sangat senang karena bisa menjadi ibu bagi anak-anak yang sudah diasuh. Setelah itu beliau kembali melihat anak-anaknya yang tengah bersiap pergi sekolah.

Dari kejauhan, saya lihat tiga anak perempuan kira-kira berusia 10-12 tahun sedang mencuci piring bersama-sama di belakang rumah. Mereka mencuci sambil sesekali bermain busa sabun. Mereka tumbuh dengan bahagia dalam keterbatasan.

***

Lahan Tempat Bermain untuk Anak-anak di Desa Anak Lembang (Foto Kak Alee)
Lahan Tempat Bermain untuk Anak-anak di Desa Anak Lembang (Foto Kak Alee)
Saya tidak bisa membayangkan, seandainya saja 44 tahun lalu, tidak ada Hermann Gmeiner yang dengan berani mendirikan SOS Children’s Village, barangkali saya tak akan menemukan model pengasuhan anak kurang beruntung yang diasuh sebagaimana dalam asuhan keluarga yang sesungguhnya.

Hermann sempat mengalami kengerian perang saat bertugas sebagai prajurit di Rusia. Dia kemudian menjadi pekerja sosial untuk anak-anak terlantar dan yatim piatu setelah perang usai.

Dalam perjalanannya, dia menyadari bahwa pengasuhan efektif akan berjalan jika anak dapat tumbuh dalam keluarga yang penuh kasih sayang. Dari sinilah, dia mulai mengembangkan ide SOS Children’s Village. Ide tersebut terealisasi pada tahun 1949 di Austria dengan dana yang sangat terbatas.

Siapa sangka, hingga 44 tahun kemudian SOS Children’s Village menyebar di beberapa negara salah satunya Indonesia pada tahun 1972. SOS Children’s Village di Indonesia sendiri berada di beberapa wilayah seperti Lembang, Jakarta, Bali, Flores, Semarang, Banda Aceh, Meulaboh, dan Medan.

Kebetulan saya berkesempatan mengunjungi SOS Childen’s Village Lembang bertepatan pada Hari Anak Nasional, sehingga acara penyambutan cukup meriah. Ada tari-tarian, bermain Jimba, dan bermain angklung. Semua ikut merayakan dengan senang dan bahagia.

***

Memperingati Hari Anak Nasional di Desa Anak Lembang (Foto Kang Alee)
Memperingati Hari Anak Nasional di Desa Anak Lembang (Foto Kang Alee)
Pagi hari, usai menikmati Sunrise Lembang yang cukup indah, saya dan media menuju lapangan dan tempat permainan yang disediakan SOS Children’s Village Lembang. Selain menghirup udara sejuk lembang dan melihat beberapa pengurus yang sedang berolah raga pagi, saya dan teman-teman media menyaksikan dan merasakan sendiri bagaimana semua anak yang hari itu sekolah melakukan ritual salaman pagi.

Salaman pagi sepertinya remeh, padahal jika ritual simpel ini dilakukan maka akan menimbulkan efek positif pada diri anak ataupun orang tua. Orang tua akan melihat mata dan wajah anak-anak sehingga ketahuan kondisinya, sementara anak akan belajar lebih menghormati orang tua dan merasa nyaman karena sentuhan orang tua.

Lab Komputer di Desa Anak Lembang (Foto Kang Alee)
Lab Komputer di Desa Anak Lembang (Foto Kang Alee)
Salah Satu Karya Anak-Anak Desa Anak Lembang yang Artistik (Foto Kang Alee)
Salah Satu Karya Anak-Anak Desa Anak Lembang yang Artistik (Foto Kang Alee)
Selain mengelola rumah-rumah yang dihuni puluhan anak, SOS Children’s Village Lembang juga membantu anak-anak dan orang tua di sekeliling Desa Anak. Tujuannya hanya satu, bagaimana para orang tua di sekeliling Desa Anak pun mampu mengasuh anaknya dengan penuh kasih sayang. Selamat Hari Anak yang Tertunda. ***

@KreatorBuku

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun