Mohon tunggu...
ali damsuki
ali damsuki Mohon Tunggu... -

Menyoal Integritas Caleg Abangan Oleh : Ali Damsuki (CO. English Departmen Of Language Institute Students Islamic Walisongo Semarang) Negara ada, karena pemimpin ada. Salah satu bentuk formasi fundamen penentu negara ada seorang pemimpin. Mau dibawa kemana orientasi sebuah negara tergantung pada pemimpin. Kemudian kriteria seperti apa, yang memberikan konstribusi progresif dalam membangun negara? Pemimpin berintegritas tinggi merupakan sesosok pemimpin yang menjadi idaman banyak orang. Akan tetapi itu hanya sebuah utopia. Apabila Pemimpin tersebut hanya dikategorikan sebagai ‘Abangan’. Yang hanya memberikan interpretasi negatif pada posisi integritas pemimpin dalam masyarakat. Misalkan dalam ranah perpolitikan di indonesia. Banyak posisi kepemimpinan yang diisi oleh pemimpin yang tidak jelas latarbelakangnya, ada yang berasal dari tukang becak, sopir, petani dan lain sebagainya. Ini menunjukkan bahwasanya sistem dalam pemerintahan di indonesia kurang mengedepankan kualitas. Tidak adanya rekrutmen yang jelas dalam terkait kriteria pemimpin yang diusung. Sehingga siapa saja dapat menjadi seorang pemimpin.Tidak dapat dipungkiri lagi, apabila para pemimpin kita yang buta terhadap pendidikan politik, selalu salah kaprah dalam mengambil kebijakan. Padahal sejatinya, pemimpin merupakan orang yang signifikan dalam memberikan pengaruh kepada orang lain. Kemudian apabila pemimpin berasal dari masyarakat ‘abangan’, maka apa yang akan terjadi dengan kondisi Indonesia? Apakah kiamat untuk indonesia akan lebih dulu terjadi, sebelum kiamat yang sesungguhnya? Kondisi tersebut sungguh dilematis. Namun kondisi tersebut, tak menjadi persoalan yang rumit. Pasalnya, sifat hedonis dan apatisme para caleg abangan menjadi power untuk tetap mendapatkan posisi dalam kepemimpinan. Hasrat yang kuat untuk mendapatkan kursi kepemimpinan dalam pemerintahan. Menjadi modal yang kuat uatama. Kemudian kekuasaan yang selalu menggerutu, tak dinafikan jika nafsu sesat akan selalu mengikutinya. Sedangkan, kondisi caleg ‘abangan’ notabennya berasal dari masyarakat yang buta terhadap pengetahuan politik. Selalu sok tahu dengan kondisi perpolitikan di indonesia. Dengan menggunakan berbagai media sosialisasi yang digenjarkan, baik melalui pamflet, foto maupun media sosial lainnya. Kondisi tersebut terjadi dalam negara indonesia ini. Kehidupan negara yang kian lama semakin carut marut. Banyak orang tahu tapi sok tidak tahu. Yang pintar jadi tak karuan, dengan melakukan pembodohan pada orang. Penguasa semakin menindas yang dikuasai, dan dalam konteks ini yang ditindas adalah masyarakat. Rakyat sengsara, pemerintah pun ‘gembira’ ria. Inilah gambaran faktual yang ada di negeri ini. Negeri yang dulunya ramah, tapi sekarang keramahan itu hilang tanpa arah. Gambaran tersebut, dapat kita saksikan dalam hasil penyelenggraan pemilihan umum (Pemilu) legislatif 2014 kemarin. Banyak para caleg ‘abangan’ yang terkena implikasi dari penyelenggaaran pemilu. Banyak dari para caleg ‘abangan’ yang edan akibat kalah dalam pemilu 2014. Karena mayoritas mereka menggunkan uang dalam sosialisasi kepada masyarakat. Sungguh ironis, ketika suara rakyat hanya digadaikan dengan sejumlah uang yang tak seberapa nilainya. Sehingga apabila kalah, secara otomatis modal tidak kembali. Kemudian dimanakah letak kecerdasan para caleg? Sebenarnya posisi cerdas dimiliki rakyat ataukah caleg? Itu merupakan sebuah tanda tanya besar. Pasalnya, pemikiran normatif tersebut banyak mengalami paradoks. Ketika rakyat didorong untuk menggunakan hak pilihnya secara cerdas. Justru, calon anggota legislatif berbanding terbalik dengan kondisi tersebut. banyak sistem praktik politik uang (Money Politic) yang menjadi warna dan menghegemoni setiap penyelenggaraan pemilu. Keadaan itu sungguh sangat dilematis. Caleg yang dianggap sebagai seorang calon pemimpin yang memiliki integritas dan kredibiltas tinggi dikalahkan dengan sistem-sistem ‘racun’ dalam siklus kepemimpinan. Kemudian dalam pendidikan politik, terkait kecerdasaan dan kerasionalan memilih, hanya menciptakan lingkaran tak berujung pangkal. Pasalnya, banyak praktik politik uang (Money Politic) selalu menghiasi warna-warni dalam penyelenggaraan pemilu. Entah sudah sejak kapan praktik politik uang (Money Politic) menjadi “menu wajib” dalam setiap pengambilan keputusan dalam melakukan hal-hal strategis. Posisi Strategis Rakyat Dalam dunia perpolitikan, rakyat sebenarnya memiliki posisi strategis untuk mendidik caleg. Karena, ketentuan hak suara sepenuhnya beada di tangan rakyat. Jadi kita sebagai rakyat harus berani “mengerjai caleg” agar sadar uang bukan penentu. sehingga para caleg ‘abangan’ akan berhitung, karena kucuran duitnya tidak berbayar dengan keterpilihannya. Kalau perlu korbankan pemilu dengan tingkat partisipasi publik yang rendah, tetapi mendapatkan pendidikan politik yang kuat. Dan, pemilu berikutnyalah yang di harapkan diwarnai oleh partisipasi para pemilih dan para caleg yang cerdas sesuai dengan track record. Karena, baik buruk negara tergantung pemimpinnya. Disamping itu, kerja keras KPU yanag akan datang dan elemen-elemen masyarakat untuk meningkatkan partisipasi pemilih kiranya perlu di barengi dengan mindset yang determinatif. Kuantitas jangan menjadi ukuran kesuksesan sosialisasi. Yang lebih penting bagaimana menciptakan relasi timbal balik yang mendidik rakyat dan politikus. Kampanye dengan dengan sistem “ terima uangnya, belum tentu pilih orangnya” perlu dibarengi dengan visi kualitatif. Kalau perlu “terima uangnya tidak akan tetapi tidak perlu memilih siapapun”. Kisah caleg ‘abangan’ yang tanpa menggunakan rasional ‘ndukun’ dengan mengandalkan kekuatan uang, lemah dalam mensosialisasikan program untuk rakyat; adalah warna-warni yang makin menunjukkan pencalegan lebih mirip jobfair (ajang mencari kerja). Kemudian Bagaimana tentang pendewasaan politik untuk rakyat? Apakah hanya sebuah permainan politik belaka. Untuk itu, mari kita sebagai rakyat yang beramai-ramai mendidik calon wakilnya dengan mulai berfikir rasional. Agar dapat melahirkan calon wakil rakyat yang cerdas mengambil kebijakan yang tahu implikasi terhadap rakyat. Bukan caleg abangan yang hanya cerdas dalam berteori. Tetapi tidak cerdas dalam mengambil kebijakan dalam mengambil kebijakan. Apakah caleg abangan indikator sebagai pemimpin yang layak kita “Usung” ke gedung perwakilan rakyat?.Wallahu a’lam bis showab.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menyoal Integritas Caleg Abangan

21 April 2014   15:28 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:24 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menyoal Integritas Caleg Abangan

Oleh : Ali Damsuki

(CO. English Departmen Of Language Institute Students Islamic Walisongo Semarang)

Negara ada, karena pemimpin ada. Salah satu bentuk formasi fundamen penentu negara ada seorang pemimpin. Mau dibawa kemana orientasi sebuah negara tergantung pada pemimpin. Kemudian kriteria seperti apa, yang memberikan konstribusi progresif dalam membangun negara?

Pemimpin berintegritas tinggi merupakan sesosok pemimpin yang menjadi idaman banyak orang. Akan tetapi itu hanya sebuah utopia. Apabila Pemimpin tersebut hanya dikategorikan sebagai ‘Abangan’. Yang hanya memberikan interpretasi negatif pada posisi integritas pemimpin dalam masyarakat. Misalkan dalam ranah perpolitikan di indonesia. Banyak posisi kepemimpinan yang diisi oleh pemimpin yang tidak jelas latarbelakangnya, ada yang berasal dari tukang becak, sopir, petani dan lain sebagainya. Ini menunjukkan bahwasanya sistem dalam pemerintahan di indonesia kurang mengedepankan kualitas. Tidak adanya rekrutmen yang jelas dalam terkait kriteria pemimpin yang diusung. Sehingga siapa saja dapat menjadi seorang pemimpin.Tidak dapat dipungkiri lagi, apabila para pemimpin kita  yang buta terhadap pendidikan politik, selalu salah kaprah dalam mengambil kebijakan.

Padahal sejatinya, pemimpin merupakan orang yang signifikan dalam memberikan pengaruh kepada orang lain. Kemudian apabila pemimpin berasal dari masyarakat ‘abangan’, maka apa yang akan terjadi dengan kondisi Indonesia? Apakah kiamat untuk indonesia akan lebih dulu terjadi, sebelum kiamat yang sesungguhnya? Kondisi tersebut sungguh dilematis. Namun kondisi tersebut, tak menjadi persoalan yang rumit. Pasalnya, sifat hedonis dan apatisme para caleg abangan menjadi power untuk tetap mendapatkan posisi dalam kepemimpinan.

Hasrat yang kuat untuk mendapatkan kursi kepemimpinan dalam pemerintahan. Menjadi modal yang kuat uatama. Kemudian kekuasaan yang selalu menggerutu, tak dinafikan jika nafsu sesat akan selalu mengikutinya. Sedangkan, kondisi caleg ‘abangan’ notabennya berasal dari masyarakat yang buta terhadap pengetahuan politik. Selalu sok tahu dengan kondisi perpolitikan di indonesia. Dengan menggunakan berbagai media sosialisasi yang digenjarkan, baik melalui pamflet, foto maupun media sosial lainnya.

Kondisi tersebut terjadi dalam negara indonesia  ini. Kehidupan negara yang kian lama semakin carut marut. Banyak orang tahu tapi sok tidak tahu. Yang pintar jadi tak karuan, dengan melakukan pembodohan pada orang. Penguasa semakin menindas yang dikuasai, dan dalam konteks ini yang ditindas adalah masyarakat. Rakyat sengsara, pemerintah pun ‘gembira’ ria. Inilah gambaran faktual yang ada di negeri ini. Negeri yang dulunya ramah, tapi sekarang keramahan itu hilang tanpa arah.

Gambaran tersebut, dapat kita saksikan dalam hasil penyelenggraan pemilihan umum (Pemilu) legislatif 2014 kemarin. Banyak para caleg ‘abangan’ yang terkena implikasi dari penyelenggaaran pemilu. Banyak dari para caleg ‘abangan’ yang  edan akibat kalah dalam pemilu 2014. Karena mayoritas mereka menggunkan uang dalam sosialisasi kepada masyarakat. Sungguh ironis, ketika suara rakyat hanya digadaikan dengan sejumlah uang yang tak seberapa nilainya. Sehingga apabila kalah, secara otomatis modal tidak kembali. Kemudian dimanakah letak kecerdasan para caleg? Sebenarnya posisi cerdas dimiliki rakyat ataukah caleg?

Itu merupakan sebuah tanda tanya besar. Pasalnya, pemikiran normatif tersebut banyak mengalami paradoks. Ketika rakyat didorong untuk menggunakan hak pilihnya secara cerdas. Justru, calon anggota legislatif  berbanding terbalik dengan kondisi tersebut. banyak sistem praktik politik uang (Money Politic) yang menjadi warna dan menghegemoni setiap penyelenggaraan pemilu. Keadaan itu sungguh sangat dilematis. Caleg yang dianggap sebagai seorang calon pemimpin yang memiliki integritas dan kredibiltas tinggi dikalahkan dengan sistem-sistem ‘racun’ dalam siklus kepemimpinan.

Kemudian dalam pendidikan politik, terkait kecerdasaan dan kerasionalan memilih, hanya menciptakan lingkaran tak berujung pangkal. Pasalnya, banyak praktik politik uang (Money Politic) selalu menghiasi warna-warni dalam penyelenggaraan pemilu. Entah sudah sejak kapan praktik politik uang (Money Politic) menjadi  “menu wajib” dalam setiap pengambilan keputusan dalam melakukan hal-hal strategis.

Posisi Strategis Rakyat

Dalam dunia perpolitikan, rakyat sebenarnya memiliki posisi strategis untuk mendidik caleg. Karena, ketentuan hak suara sepenuhnya beada di tangan rakyat. Jadi kita sebagai rakyat  harus berani “mengerjai caleg” agar sadar uang bukan penentu. sehingga para caleg ‘abangan’ akan berhitung, karena kucuran duitnya tidak berbayar dengan keterpilihannya. Kalau perlu korbankan pemilu dengan tingkat partisipasi publik yang rendah, tetapi mendapatkan pendidikan politik yang kuat. Dan, pemilu berikutnyalah yang di harapkan diwarnai oleh partisipasi para pemilih dan para caleg yang cerdas sesuai dengan track record. Karena, baik buruk negara tergantung pemimpinnya.

Disamping itu, kerja keras KPU yanag akan datang dan elemen-elemen masyarakat untuk meningkatkan partisipasi pemilih kiranya perlu di barengi dengan mindset yang determinatif. Kuantitas jangan menjadi ukuran kesuksesan sosialisasi. Yang lebih penting bagaimana menciptakan relasi timbal balik yang mendidik rakyat dan politikus. Kampanye dengan dengan sistem “ terima uangnya, belum tentu pilih orangnya” perlu dibarengi dengan visi kualitatif. Kalau perlu “terima uangnya tidak akan tetapi tidak perlu memilih siapapun”.

Kisah caleg ‘abangan’ yang tanpa menggunakan rasional ‘ndukun’ dengan mengandalkan kekuatan uang, lemah dalam mensosialisasikan program untuk rakyat; adalah warna-warni yang makin menunjukkan pencalegan lebih mirip jobfair (ajang mencari kerja). Kemudian Bagaimana tentang pendewasaan politik untuk rakyat? Apakah hanya sebuah permainan politik belaka. Untuk itu, mari kita sebagai rakyat yang beramai-ramai mendidik calon wakilnya dengan mulai berfikir rasional. Agar dapat melahirkan calon wakil rakyat yang cerdas mengambil kebijakan yang tahu implikasi terhadap rakyat. Bukan caleg abangan yang hanya cerdas dalam berteori. Tetapi tidak cerdas dalam mengambil kebijakan dalam mengambil kebijakan. Apakah caleg abangan indikator  sebagai pemimpin yang  layak kita “Usung” ke gedung perwakilan rakyat?.Wallahu a’lam bis showab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun