Fokus masyarakat dunia saat ini tengah tertuju pada kasus COVID-19 (Coronavirus Disease 2019) atau penyakit berupa sindrom pernafasan akut berat yang disebabkan oleh infeksi virus corona jenis baru (SARS-Cov-2).Â
Diawali pada akhir tahun 2019 Â lalu, COVID-19 dalam waktu yang cukup singkat telah menyebar hampir di seluruh wilayah negara sehingga WHO pun menetapkannya sebagai pandemi global.Â
Masyarakat dunia, termasuk Indonesia pun terus berupaya mengatasi penyebaran penyakit tersebut dengan harapan kasus COVID-19 tidak membawa dampak yang jauh lebih buruk lagi dengan skala yang luas serta dapat segera berakhir tuntas.
Selain COVID-19, penyakit lainnya yang tak kalah menjadi momok menakutkan adalah tuberkulosis (TB atau TBC) yang pada tanggal 24 Maret ditetapkan sebagai Hari Tuberkulosis Sedunia.Â
Bedanya dengan COVID-19, penyakit TB ini telah lama dikenal luas bahkan kuman penyebabnya diduga telah ada sejak ribuan tahun sebelum masehi. Hingga saat ini, kasus TB di dunia masih sangat tinggi.Â
Berdasarkan data dari WHO, Indonesia sendiri pada tahun 2017 menempati urutan ketiga di dunia dengan jumlah kasus TB terbanyak yaitu sekitar 842.000 kasus dengan jumlah kematian diperkirakan sebesar 116.400 kasus.Â
Angka kesembuhan yang rendah, peningkatan kasus HIV/AIDS, serta munculnya kejadian resistensi obat TB (MDR) menyebabkan sebagian besar negara-negara di dunia tidak dapat mengendalikan pertumbuhan penyakit TB.
Berbeda dengan penyakit COVID-19 yang disebabkan oleh kuman (mikroorganisme) jenis virus, TB sendiri disebabkan oleh kuman jenis bakteri, yaitu Mycobacterium tuberculosis yang masih berkerabat dekat dengan kuman penyebab penyakit kusta atau lepra, yaitu Mycobacterium leprae.Â
Umumnya, kuman TB menginfeksi organ paru-paru (disebut TB pulmonal) sehingga orang yang menderita TB biasanya akan menunjukkan gejala umum seperti batuk berdahak lebih dari 3 minggu (kadang disertai darah jika sudah parah), sesak nafas, nyeri dada, sering berkeringat tengah malam, dan dalam kurun waktu lama akan disertai penurunan berat badan.Â
Penyakit TB dapat ditularkan melalui udara dari droplet yang dilepaskan oleh penderita TB saat bersin, batuk, atau meludah sehingga terhirup oleh orang lain saat bernafas yang kemudian dapat menuju organ paru-paru.
Infeksi kuman TB tidak hanya menyerang organ paru-paru, namun juga dapat menyerang organ lainnya (disebut TB ekstrapulmonal) meskipun dengan jumlah kasus lebih sedikit dari TB pulmonal.Â
Baik TB pulmonal maupun TB ekstrapulmonal, orang yang menderita salah satunya disebut sebagai penderita TB aktif. Selain TB aktif, ada pula yang disebut sebagai penderita "TB laten (tuberkulosis laten)".Â
TB laten dapat diartikan sebagai kondisi dimana seseorang di dalam tubuhnya telah terpapar bahkan terinfeksi kuman TB namun tidak menunjukkan adanya gejala menderita TB aktif (asimtomatik). Jadi, secara kasat mata penderita TB laten akan tampak sehat secara fisik meskipun kuman TB telah berada di dalam tubuhnya.
Sekitar 5 -- 10% orang dengan TB laten beresiko untuk berkembang menjadi TB aktif. Hal ini bergantung pada daya tahan tubuh (imunitas) orang tersebut. Apabila imunitas tubuhnya dalam keadaan baik, maka kuman TB yang berada dalam tubuh orang tersebut dapat segera dieliminasi.Â
Namun jika tidak, maka dapat mengarah menjadi TB aktif. Selanjutnya, jika daya tahan tubuh orang tersebut tidak dapat mengatasi kuman TB dengan baik ditambah lagi obat-obatan anti tuberkulosis yang digunakan tidak mampu bekerja secara maksimal, maka berpotensi besar menyebabkan perjalanan penyakit TB yang lebih fatal bahkan dapat berujung pada kematian.Â
Oleh karena itu, daya tahan tubuh sangat penting diperhatikan untuk menekan agresivitas kuman TB di dalam tubuh.
Adapun kelompok yang berpotensi berisiko menderita TB laten, antara lain:Â
(1) Bayi, anak-anak, maupun remaja yang memiliki kontak langsung dengan orang dewasa yang menderita TB,Â
(2) Karyawan yang telah bekerja dalam jangka waktu yang panjang di instansi kesehatan, rumah sakit, klinik, atau laboratorium kesehatan,
 (3) Orang yang tinggal di daerah dengan prevalensi penyakit TB yang tinggi (daerah endemik TB),Â
(4) Orang-orang yang memiliki kontak dekat dengan orang yang diketahui menderita TB aktif minimal selama 12 jam, danÂ
(5) Orang-orang yang  bekerja atau tinggal di tempat seperti penjara, panti jompo, bangsal perawatan, maupun tempat penampungan tunawisma.
Untuk mengetahui apakah seseorang menderita TB laten atau tidak dapat dilakukan dengan melakukan tes tuberkulin atau tes mantoux. Pemeriksaan ini telah lama digunakan dan tersedia di berbagai instansi kesehatan.Â
Pemeriksaan ini biasanya dilakukan sebagai tes penyaring (screening) pada orang-orang yang tinggal di daerah dengan prevalensi kasus TB yang tinggi. Pemeriksaan ini tidak ditujukan pada orang-orang yangtelah  jelas menderita TB aktif karena tidak efisien.
Hasil positif dari tes tuberkulin tidak serta merta menjustifikasi seseorang menderita TB, akan tetapi dapat memastikan bahwa di dalam tubuh seseorang telah terpapar kuman TB atau tidak.Â
Namun, perkembangan penelitian banyak menyatakan bahwa tes ini kurang sensitif pada orang yang mengalami penurunan daya tahan tubuh (imnokompromi) dan kurang spesifik pada orang yang pernah mendapatkan vaksin penyakit TB (BCG).
Perkembangan terbaru telah dihasilkan pemeriksaan yang jauh lebih sensitif dan spesifik dibandingkan dengan tes tuberkulin, yaitu tes IGRA.Â
Meskipun demikian, pemeriksaan ini juga memiliki kekurangn dibalik keefektifannya mendeteksi kuman TB di dalam tubuh, di antaranya harga pemeriksaannya relatif sangat mahal serta dibutuhkan tenaga terlatih untuk mengerjakan pemeriksaan tersebut. Oleh karena itu, pemeriksaan ini masih sangat sulit dijumpai di Puskesmas, Klinik, bahkan Rumah Sakit.
Yang dapat dilakukan saat ini untuk mencegah penularan penyakit TB adalah membatasi interaksi dengan orang yang jelas telah menderita TB dengan tetap memperhatikan kondisinya, terlebih lagi jika kita serumah dengannya.Â
Kita dapat menyarankan keluarga kita yang menderita TB aktif untuk senantiasa memakai masker apabila berkomunikasi, aktif memantau pengobatannya dan menjaga kedisiplinannya untuk minum obat TB hingga tuntas, menyiapkan ruangan khusus untuknya selama masa pengobatan dengan memperhatikan sirkulasi udara dan masuknya sinar matahari, serta senantiasa mendukungnya secara psikis.
Selain itu, kita pun yang tampak sehat perlu menjaga daya tahan tubuh kita dengan baik, mengkonsumsi makanan yang bergizi namun tak perlu mahal, menjaga kebersihan diri dan lingkungan tempat tinggal dengan memperhatikan sirkulasi udara maupun sinar matahari yang masuk ke rumah sebab kuman TB sangat sensitif (dapat mati) oleh panas maupun sinar ultraviolet.Â
Terakhir, jangan pernah merasa takut apabila terdapat gejala-gejala mengarah kepada TB aktif, baik menimpa kita maupun keluarga kita. Dengan demikian, kita pun turut serta mendukung bahkan berperan aktif dalam program pemberantasan TB secara global.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H