Tak habis akal, ibu menjawab demikian bahkan dengan menyungging sebuah senyuman yang menenangkan. Ibu lantas bergegas menarik tangan adik dan mulai beranjak mengikuti imbauan dari aparat tadi. Menyusul ayahku di belakang. Tetapi kakiku gentar. Napasku menderu cepat dan mulai tak beraturan. Tidak. Aku belum mau berakhir hari ini, Tuhan.Â
Otakku yang mulai kebanjiran adrenalin, mengambil keputusan nekat. Bukankah lebih baik aku berlari sejauh mungkin ke kota sebelah? Menghindar dari rudal-rudal yang dikirim lawan. Memohon suaka pada pemimpin di kota lain atau bahkan negara lain yang lebih aman.Â
Baiklah. Keputusanku final. Aku akan berpamitan pada ayah ibu dan berpesan agar kembali ke rumah ini jika mereka berhasil selamat. Dengan begitu, lebih mudah bagiku untuk pulang dan kembali berkumpul bersama mereka kelak saat situasi menjadi lebih kondusif.Â
Namun, belum sempat suaraku keluar, adrenalin membuat tubuhku tersentak. Terbangun di tengah-tengah kasur yang tak seberapa empuk milikku di rumah. Aku terjaga. Terengah-engah dengan sisa degup jantung yang masih berdegup kencang.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H