Mohon tunggu...
Damara Puteri S
Damara Puteri S Mohon Tunggu... Penulis - Self healing by writing

Seorang ibu yang suka menulis sebagai sarana mencurahkan isi hati dan kepala.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Selamatkan Diri dari Jurang Quarter Life Crisis!

11 April 2022   15:51 Diperbarui: 13 April 2022   12:42 1045
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pinterest/Miss Günsur

Bising. 

Itulah yang saya rasakan ketika sudah memasuki usia 20 tahun ke atas. Babak kehidupan baru dimana orang pada umumnya sudah lulus dari sekolah formal tingkat atas.

Sebagian, ada yang melanjutkan kisah perjalanan hidupnya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yakni di bangku kuliah.

Pun, ada juga di antaranya yang memilih untuk segera bekerja demi menyokong kebutuhan keluarga yang mungkin berada di pundaknya.

Namun, perjalanan melanjutkan lembar cerita kehidupan seorang perempuan di usia 20 tahun ke atas seringkali terasa bising. Bukan hanya bising yang didengar oleh indra pendengaran. Melainkan juga bising di dalam hati. Bising di alam pikiran.

Kebisingan yang saya maksud di sini adalah bising oleh ucapan-ucapan yang dilontarkan oleh kenalan, teman, sahabat, rekan kerja, tetangga, orangtua, keluarga, bahkan orang yang tak terlalu dikenal pun tak luput menyumbangkan kebisingan yang membuat jiwa dan pikiran tak tenang.

Ucapan berbentuk pertanyaan adalah yang paling sering terjadi. Ucapan berbentuk semacam nasihat (namun menggurui) pun berada di urutan selanjutnya.

Dan ucapan yang mengandung judgement atau penghakiman sepihak oleh mereka yang mungkin tidak benar-benar memahami konteks yang melingkupi. Berbagai macam pertanyaan, nasihat-nasihat yang cenderung menggurui, dan judgement itulah yang senantiasa mengiringi langkah seseorang perempuan khususnya mereka yang memasuki babak 20 tahun kehidupannya. Bising!

Mengapa perempuan? Karena sudah sejak zaman dahulu kala, perempuan mengalami penindasan baik dari segi fisik, mental, bahkan dijajah sedemikian rupa hingga menjadi budak kebodohan.

Rantai ini sangat panjang. Pun, perjuangan untuk memutusnya masih belum usai. Perjuangan yang digunakan mulai dari cara rasional sampai radikal, dirasa masih belum cukup kuat untuk membebaskan perempuan dari rantai yang gemericiknya membuat bising jiwa dan raga seorang hawa. Bahkan hingga saat ini, sadar atau tidak, diakui atau tidak, perilaku-perilaku yang demikian masih banyak dipraktikkan. 

Menurut Departemen Kesehatan RI (2009), usia 17-25 tahun dikategorikan masa remaja akhir. Yeah, mungkin masa-masa remaja yang terkesan menyenangkan itu akan benar-benar berakhir pada golongan usia tersebut. Dapat disimpulkan di sini bahwa perempuan usia 20 tahun ke atas sudah memasuki masa remaja akhir.

Zaman nenek-kakek kita dulu, banyak perempuan yang sudah menikah bahkan ketika usianya masih belasan tahun. Sekitar usia 15 tahun ke atas, umumnya mereka sudah memiliki seorang anak.

Banyak dari mereka yang tidak mengenyam pendidikan, sebab kondisi ekonomi keluarga yang tidak mendukung. Sehingga melalui pernikahan, perempuan pada saat itu dianggap telah menyelamatkan dirinya dari status "perawan tua" yang dimaknai negatif oleh masyarakat.

Selain itu, perempuan dianggap menyelamatkan keluarganya dari jerat kemiskinan. Karena biasanya, kebutuhan hidup keluarga ditanggung bersama. Bahkan, jika sang laki-laki berasal dari keluarga yang lebih mapan ekonominya, maka boleh jadi keluarga perempuan cenderung tertolong oleh keberadaan pihak laki-laki.

Sampai di sini, apakah sudah tahu arah tulisan ini? Ya. Kebiasaan tersebut masih terbawa hingga kini.

Di zaman IPTEK, ekonomi, dan demokrasi sudah lebih maju dibandingkan zaman nenek kakek kita dulu. Perempuan kini, masih saja diperlakukan sama layaknya perempuan pada zaman penjajahan dulu. Akhirnya, muncullah kebiasaan bertanya atau berpendapat yang bersifat curious tanpa ada niat untuk ikut turun tangan.

Pertanyaan-pertanyaan itu seperti, "Kapan menikah? Sudah bekerja dan berpenghasilan. Apalagi yang membuatmu menunda pernikahan?"

Saat yang ditanya sudah menikah, "Sudah isi belum? Kok sudah sekian bulan belum isi juga?"

Ketika yang ditanya sudah melahirkan anak pertama, muncullah pertanyaan berikutnya. Yang membuat saya bingung, justru ditanyakan pada si anak sulung, "Kapan kamu punya adik? Minta sama mama ya... Bikinin adik, ma. Gitu...". Bagaimana? Bising, bukan?

Belum lagi dengan ucapan yang bentuknya menggurui. "Kamu kan perempuan. Jangan ngejar karir terus. Nanti nggak ada yang mau sama kamu." Ketika sudah menikah, "Kalau sudah menikah, jangan nunda untuk punya anak ya. Nanti kebablasan akhirnya malah tidak dikasih lho!", begitu pertanyaan sejenis dan seterusnya.

Hal di atas masih bicara seputar pernikahan dan masalah membangun keluarga. Belum lagi masalah pekerjaan. Masalah penghasilan. Masalah kepemilikan harta benda material semacam rumah, kendaraan, gadget, dan sebagainya. Bahkan, hal yang berkenaan dengan penampilan pun tak luput untuk dipermasalahkan.

Seorang perempuan masa kini tidak lagi dinilai cantik bila: hidungnya tidak mancung, tubuhnya tak semampai, wajahnya tak berbentuk oval, rambutnya tidak tebal, terlalu kurus atau terlalu gemuk, kulitnya berwarna, dan sebagainya. Maksud saya, memiliki kulit berwarna di sini adalah ketika ada perempuan yang memiliki warna kulit eksotis seperti sawo matang atau bahkan berkulit gelap.

Di negara +62 ini, perempuan dengan pigmen warna kulit yang cenderung lebih gelap sering dicap tidak memenuhi kualifikasi perempuan cantik yang entah bagaimana landasan yang digunakan untuk menetapkan standar semacam itu. 

Hal di atas masih diperparah dengan laju perkembangan IPTEK khususnya di bidang teknologi komunikasi yang membuat jagat dumay alias dunia maya sangat ramai.

Banyak akun yang kerap "memamerkan" standar perempuan sukses masa kini. Banyak hal yang dipamerkan. Mulai dari penampilan wajah dan tubuh. Rumah mewah. Barang branded. Kegiatan para hedonis seperti clubbing, shopping, party, travelling abroad atau hangout bareng squad. Pernikahan megah. Ulang tahun yang spektakuler. Aksi-aksi nyeleneh di luar nalar untuk cari sensasi, dan begitulah seterusnya dan sejenisnya.

Hal-hal demikian, sekarang ini sangat masif dilakukan oleh netizen. Hal yang membuat miris adalah sesuatu yang bersifat materiil sangat diagung-agungkan. Secara masif. Melibatkan para influencer. Harta, benda, tahta (jabatan atau popularitas) dan keluarga (terutama suami dan anak) ikut serta diekspos terus-menerus. Semakin ke sini, semakin dijadikan standar suksesnya seorang perempuan.

Jika sesuatu yang sejatinya bernilai salah namun diiringi oleh banyaknya pengulangan serta banyaknya orang yang melakukan, maka lama-kelamaan akan dianggap sebagai sesuatu yang benar. Akhirnya berpotensi diyakini dan dianut oleh lebih banyak orang. Kebenaran yang sepi (pengikutnya), lama-lama akan mati (ditinggalkan). Sedangkan kesalahan yang ramai (pengikutnya), bertransformasi menjadi kebenaran baru yang sejatinya semu.

Dalam menghadapi fenomena ini, sebagai perempuan kita harus waspada. Terutama yang masih berusia remaja akhir. Bahaya krisis laten di babak kehidupan usia 20 tahun yang saya kemukakan di awal.

Kesetiaan gadget di sisi kita, nyaris tidak ada yang menandingi. Begitu murahnya kuota data sekian puluh gigabyte. Begitu kuatnya jaringan 5G yang sebentar lagi di depan mata. Semuanya akan sangat memudahkan kita untuk mengakses nilai-nilai kebenaran yang semu itu tadi. Nilai-nilai yang menjadikan kekayaan materi sebagai standar perempuan dikatakan sukses.

Seringkali kita sendiri merasakan dampaknya. Ketika membuka akun media sosial dan melihat banyak gambar maupun video yang memamerkan materi, maka alam bawah sadar kita secara perlahan akan mencoba memahami situasi.

Alam bawah sadar akan mulai membanding-bandingkan keadaan diri kita dengan apa yang kita lihat. Alam bawah sadar akan mulai memberi penilaian, bahwa diri kita tidak cantik. Diri kita masih belum sukses dalam pekerjaan. Penghasilan masih belum bisa memenuhi hasrat hedonis. Merasa gagal karena tak mampu mendapat pasangan yang ideal menurut standar hedonis. Merasa rendah ketika rumah masih belum dimiliki sendiri. Merasa gagal karena belum juga dikaruniai buah hati. Begitulah seterusnya dan sejenisnya.

Apabila penilaian semacam itu masih dipelihara, maka tinggal menunggu waktu saja, ketika diri seorang perempuan akan mulai merasakan kondisi yang sangat tidak nyaman.

Saking tidak nyamannya, perasaan itu akan membuatnya terjerumus dalam pikiran-pikiran atau persepsi-persepsi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya dan berujung perasaan tertekan. Stres. Depresi. Jiwanya semakin rapuh digerogoti pemikiran materialisme. Bahkan, jika sampai terjadi bullying, bisa berujung pada bunuh diri.

Akhirnya, yang menjadi fokus adalah ketika berbagai standar hidup yang dianggap benar, padahal tak berdasar rasionalitas seperti yang dijabarkan di atas. Kemudian, standar hidup yang dianggap benar tersebut seolah berubah menjadi senjata yang ditodongkan ke arah perempuan masa kini.

Lantas, kita sebagai salah satu perempuan itu, justru dengan suka dan rela menyengaja untuk menyerahkan diri di hadapan senjata itu.

Membiarkan pikiran kita dirasuki oleh nilai-nilai yang justru membuat hidup kita tidak tenang. Membuat kita berada pada kondisi hobi membandingkan diri sendiri dengan orang lain yang kita anggap ideal untuk dijadikan panutan hidup dari segi materi belaka.

Ujung-ujungnya, membuat kita merasa jauh rendah di bawah garis standar hidup yang kita buat sendiri tanpa pendasaran logis. Krisis. Ya. Saat itu semua terjadi, kita berada pada pusaran krisis diri. 

Kita mulai mempertanyakan dan menggugat kepada entah siapa. Atas kehidupan yang kini kita jalani. Mulai bertanya-tanya dalam diri. Siapa aku? Kenapa aku di sini? Kenapa aku diberi fisik yang begini? Kenapa hidupku tak seperti si dia? Kenapa hidupku tak sesuai dengan harapanku? Andaikan aku menjadi dia. Pasti aku bisa begini dan begitu. Betapa enaknya.

Pinterest/Miss Günsur
Pinterest/Miss Günsur

Saudariku, segeralah sadari bahwa itu adalah gejala krisis. Yang dikenal dengan istilah Quarter Life Crisis. Sejalan dengan pendapat Dr Oliver Robinson (Amelia Hill, 2011), bahwa quarter life crisis sering terjadi pada rentang usia 25 tahun ke atas. Batas umumnya sekitar usia 35 tahun dan krisis ini paling sering dirasakan oleh seseorang yang usianya sekitar 30 tahun.

Pendapat dari seorang psikolog klinis Dr Alex Fowke menerangkan lebih lanjut tentang quarter life crisis sebagai masa dimana seseorang mengalami keraguan maupun kekecewaan pada bidang karir yang akan/sedang/akan dijalani, hubungan interpersonal maupun hubungan sosial yang terjalin, serta masalah kondisi keuangan yang dialami.

Rachel Hosie (2017) menyebutkan beberapa gejala yang sedikit banyak menggambarkan tentang kondisi seseorang sedang berada pada masa krisis ini. Di antaranya:

  • Menanyakan tentang apakah yang menjadi tujuan hidup manusia.
  • Khawatir dan merasa diri telah gagal dalam banyak hal dan belum mampu mewujudkan keinginan-keinginan di masa remaja.
  • Terpengaruh sehingga membanding-bandingkan nasib diri dengan nasib orang lain yang senantiasa disaksikan melalui media sosial.

Semakin dibiarkan kondisi pikiran yang tak menentu dan merutuki nasib, maka semakin kita berjalan pada kehampaan yang berujung pada kehancuran. Kehancuran pikiran, mental, bahkan bisa melemahkan fisik kita. Sadarilah gejala krisisnya. Kenalilah penyebabnya, dan bersiaplah untuk menghadapinya. Segera. Ini darurat.

Seorang perempuan memiliki fitrah atau bawaan lahir. Salah satunya adalah kepekaan perasaan yang tinggi. Setidaknya lebih peka terhadap perasaan dibandingkan laki-laki. Perempuan memiliki emosi yang terkadang menjadi pendasaran mengapa ia melakukan sesuatu.

Pernahkah teman-teman mengalami kejadian membeli suatu barang hanya karena barang itu imut/lucu? Sekarang bayangkan jika kita merasa bahwa hidup ini sangat tidak adil dan kita tidak bisa merubahnya. Maka kira-kira, apa yang akan dilakukan?

Perempuan yang kesulitan mengendalikan perasaan atau emosinya, cenderung berperilaku mengikuti perasaannya. Jika perasaannya mengarah pada hal yang benar, maka beruntung. Jika perasaannya justru mengarah pada hal yang salah, maka celakalah. 

Ibarat telur yang jika diberikan tekanan dari luar yang akan hancur, namun tekanan dari dalam oleh usaha anak ayam itu sendiri justru akan menghasilkan kehidupan baru.

Dari sini kita bisa mengambil pelajaran, bahwa seharusnya kita bisa memberikan pengaruh yang lebih kuat dari dalam ke luar untuk menghidupkan sebuah kehidupan yang meredup sehingga bisa ke arah yang lebih menyegarkan.

Pengaruh dari dalam yang saya maksud di sini adalah kekuatan pikiran dan mental dalam mengatasi tekanan dari luar yang menjadikan kita mengalami quarter life criris. Kekuatan itu saya bagi menjadi empat: hati yang ikhlas, hati yang bersabar, hati yang bersyukur, dan meyakini janji Tuhan.

Hati yang Ikhlas

Istilah bahasa Jawa dikenal dengan legowo. Hati yang legowo. Yakni penerimaan diri kita seutuhnya. Apa adanya. Saat ini. Lengkap dengan segala kelemahan dan kekuatan. Kekurangan dan kelebihan yang kita miliki. Termasuk menerima keberadaan luka masa lalu yang mungkin masih membekas. Menerima dan memaafkan masa lalu mungkin tak semudah ucapan di lidah. Tapi itulah cara terbaik demi bisa menerima dan mencintai diri kita seutuhnya.

Kalau bukan kita yang mencintai diri kita sendiri, lantas siapa lagi? Betapapun banyaknya orang yang mencintai, namun jika hati sendiri tidak mencintai diri kita, maka cinta dari pihak luar tak akan pernah ada artinya. Hidup kita akan tetap merasa tidak diterima oleh siapapun.

Maka, terimalah diri kita yang sekarang ini. Peluklah jiwa dalam diri. Agar tidak merasa sepi dan sendiri. Agar cinta menjadi arti. Agar kita semakin menerima diri. Setelah itu, barulah berusaha legowo pada keadaan eksternal.

Hidup itu dinamis. Hidup itu menyimpan misteri. Yang terkadang kita tak memiliki kuasa untuk mengendalikannya. Dalam hidup, berlaku hukum alam yang meniscayakan bahwa tak semua harapan menjadi kenyataan. Bukan sama sekali tidak bisa. Namun, tidak semuanya menjadi kenyataan. Sadari dan terimalah hukum tersebut. Itu sudah menjadi ketetapan alam.

Legowo atau ikhlaslah pada diri dan ketetapan alam bahwa hidup tak selalu berjalan sesuai dengan harapan. Bahwa hidup penuh misteri namun, juga ada kejutan. Kita bisa berusaha mengikuti jalan-jalan kesuksesan.

Namun, apabila datang suatu hal yang tidak kita duga sebelumnya, maka ikhlaslah. Jiwa akan lebih damai menerima kenyataan. Karena, damainya jiwa membawa kejernihan akal. Dengan akal jernih, perempuan mulai mampu melihat persoalan lebih terang dan jelas.

Hati yang Bersabar

Setelah hati mampu menerima diri seutuhnya dan menerima ketetapan hukum alam yang meniscayakan kenyataan tak selalu sesuai dengan harapan, sikap bijak selanjutnya adalah tegarkan hati untuk tetap teguh pada komitmen atau tujuan yang hendak dicapai. Jika ternyata terdapat kondisi diri yang tak memiliki tujuan yang jelas, maka menentukan tujuan hidup adalah hal yang mendesak untuk dilakukan.

Tujuan hidup adalah sesuatu yang memberikan kebahagiaan. Tidak hanya berupa materi semata. Melainkan juga kebahagiaan yang bersifat non materi seperti kenikmatan menjalani karir, kedamaian saat membantu sesama, kejujuran, dst. Perlu menjadi perhatian di sini adalah jalan mencapai tujuan tidaklah selalu mudah. Semakin tinggi potensi kebahagiaan yang ada pada tujuan, maka akan semakin tinggi juga tingkat kesulitan dan semakin banyak tantangannya.

Maka melatih kesabaran dalam mencapai apa yang dituju adalah salah satu kuncinya. Dunia boleh terbolak-balik. Tapi tidak untuk keteguhan hati dalam berproses meraih kebahagiaan. Bersabar bukan berarti do nothing atau sekedar waiting. Bersabar itu sikap tangguh hati dalam menghadapi berbagai aral melintang dan tetap melangkah ke arah tujuan.

Saat ini, mungkin kita sedang berada di kelokan yang tajam. Atau jalan yang naik turun amat curam. Maka bersabarlah. Ada kemudahan di balik kesulitan. Ada jalan selama ada kemauan. Ada bahagia di ujung kesabaran. Setiap kebahagiaan, ada masanya. Dan tiap manusia memiliki masanya masing-masing.

Hati yang Bersyukur

Melihat rumput tetangga dan menilainya lebih hijau dibanding rumput kita adalah perumpaan yang cukup mewakili. Sebagai manusia kita kerap terjebak dalam pusaran sawang-sinawang atau gemar melihat kelebihan orang lain hingga kita lupa untuk melihat potensi diri kita sendiri.

Sering, kita menjadi merasa jauh lebih rendah dibandingkan orang yang kita sawang. Sehingga tak jarang kita justru menjadi pribadi yang rendah diri dan pesimis terhadap kesuksesan hidup kita sendiri.

Hati yang hobi menyawang tak akan pernah damai dan tak akan pernah merasa cukup atau puas pada keadaan diri. Hati yang demikian akan senantiasa merutuki nasib daripada memikirkan bagaimana mengubahnya agar menjadi lebih baik. Hati akan menjadi buta pada potensi kelebihan diri. Karena pandangannya tertutup oleh persepsi gambaran kehidupan milik orang lain. Lama-kelamaan, inilah yang menjadikan diri kita mengalami krisis. Quarter Life Crisis.

Berhenti membandingkan diri. Karena setiap manusia memiliki potensinya sendiri, yang tak mesti sama satu sama lainnya. Bersyukurlah dengan apa adanya diri.

Kelebihan dan kelemahan dijadikan satu paket yang tak terpisah. Fokus mengembangkan potensi kelebihan akan jauh lebih baik daripada fokus membandingkan diri dengan nasib orang lain. Bersyukurlah atas pemberian Sang Pencipta yang selalu memberi arti pada setiap ciptaan-Nya.

Kenali dirimu, pahamilah, dan asahlah hingga waktu membuktikan bahwa dirimu mampu menjadi pribadi yang lebih baik dari dirimu di masa lalu.

Meyakini Janji Tuhan

Karena Tuhan tahu kita mampu. Sepenggal lirik sebuah lagu motivasi yang sangat menggugah, yang selalu mampu menyadarkan kita tentang kuasa Tuhan yang tak akan memberikan ujian melebihi kemampuan setiap hamba-Nya. Karena Tuhan telah mengukur diri ini. Adalah penggalan lain dari lagu yang sama, yang mengingatkan kita bahwa Tuhan selalu presisi di setiap hal dalam kehidupan ini.

Bagi umat beragama yang meyakini betapa agungnya Tuhan Sang Pencipta dan Pengatur Kehidupan, tidaklah patut rasanya jika diri meyakini hidup akan selalu di bawah. Roda berputar. Waktu pun berputar. Jika hati saja bisa terbolak-balik. Pun, demikian dengan kehidupan. Tak akan selalu di atas. Juga tak akan selalu di bawah. Ingatlah janji Tuhan atas pertolongan bagi hamba yang yakin dan berusaha untuk memutar kehidupannya dengan seimbang.

Menurut pendapat penulis pribadi melalui serangkaian pemahaman yang telah dipaparkan di muka, fenomena quarter life crisis sejatinya muncul akibat ketidakmampuan seseorang untuk menerima kondisi diri, tidak jelasnya arah tujuan hidup, memiliki keinginan instan untuk mendapat kebahagiaan dengan minim perjuangan minim penderitaan, terbiasa untuk membandingkan diri dengan pembanding yang tak seimbang, dan kurang melibatkan Tuhan Yang Maha Esa dalam setiap sendi kehidupannya.

Krisis diri tidak akan pernah selesai tanpa adanya keseimbangan antara hati (perasaan) dengan pikiran rasional kita dalam memandang segala hal di kehidupan ini.

Dalam menilai suatu keadaan, krisis akan tertangani jika kita tenang dan tetap menjaga kesadaran tentang nilai-nilai universal dalam kehidupan.

Lantas, sebagai perempuan, untuk mengendalikan hati (perasaan) sebagai syarat keluar dari kiris adalah hal tidak mudah untuk dilakukan.

Butuh latihan dan pengulangan agar mampu menguasai hati (perasaan). Butuh pembiasaan menyelesaikan persoalan dengan kejernihan pikiran.

Mengasah hati (perasaan) agar ikhlas, bersabar, bersyukur, dan tidak ragu pada janji Tuhan adalah beberapa cara yang menurut penulis cukup efektif bagi perempuan dalam rangka usaha keluar dari zona quarter life crisis. Selamat mencoba.

Semoga sukses. Dan semoga Tuhan merahmati.

***

DAFTAR RUJUKAN

  1. Hill, Amelia. 2011. The quarterlife crisis: young, insecure and depressed. Link ini diakses pada 14 September 2019.
  2. Wong, Fiona. Quarter Life Crisis! Now affecting 75% of people between 25 and 33. Link ini diakses pada 14 September 2019.
  3. Hosie, Rachel. 2017. 15 SIGNS YOU'RE HAVING A QUARTE-LIFE CRIRIS. Link ini diakses pada 14 September 2019.
  4. Hosie, Rachel. 2017. THE AGE YOU'RE MOST LIKELY TO HAVE A QUARTER-LIFE CRISIS. Link ini diakses pada 14 September 2019.
  5. Ryandini. 2019. Mengenal Quarter Life Crisis : Penyakit Mental yang Berbahaya Fase Transisi Menuju Dewasa. Link ini diakses pada 14 September 2019.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun