Mohon tunggu...
Cepi Al Hakim
Cepi Al Hakim Mohon Tunggu... Konsultan -

Pekerjaan sehari-hari sebagai konsultan NECTAR Inc, Pemerhati n aktifis lingkungan di LSM Green Community, dan Forum Multipihak Peduli DAS Ciliwung Cisadane, Bogor Go Green " Save Our Jakarta", penulis Lepas dan Fotographer

Selanjutnya

Tutup

Money

FATSOEN : Quo Vadis Kebijakan Pemerintah Tentang Penambangan di Kawasan Hutan Lindung terhadap Kerusakan Lingkungan

12 Desember 2012   04:21 Diperbarui: 17 November 2015   10:02 1504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Tabel 1. Luas Kawasan Hutan Kalimantan Timur 

No.

Fungsi

SK 79/2001 (Ha)

SK 79/2001

Updated (Ha)

1.

KSA/KPA

2.165.198

1.773.804

2.

Hutan Lindung

2.751.702

2.790.890

3.

Hutan Produksi Terbatas

4.612.965

5.288.244

4.

Hutan Produksi

5.121.688

4.531.551

5.

Hutan Produksi Konversi

-

-

Total Kws. Hutan

14.651.553

14.384.489

     

Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah yang mengatur perubahan fungsi kawasan hutan untuk kegiatan diluar kehutanan, seperti pertambangan diharapkan mampu mengurangi kerusakan hutan akibat penambangan. 

Masalahnya adalah banyak perusahaan tambang yang melakukan kegiatan eksplorasi dan produksinya dikawasan hutan lindung dan konservasi, malah ada yang berada di kawasan taman nasional, contohnya PT Aneka Tambang dan Chevron yang melakukan eksplorasi di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak.  Tata Ruang Lokasi Pongkor, dan Pemanfaatan Lahannya.  Rencana Tata Ruang Kabupaten Bogor dalam tata ruangnya menyebutkan bahwa lokasi kecamatan Nanggung ada peruntukan untuk tambang serta kawasan Lindung.  RUTR Jabar menyebut bahwa Daerah Pongkor sebagai Kawasan Lindung, namun Pongkor sebagai kawasan Strategis Propinsi yang bisa dilakukan aktivitas tambang.  Pasca keluarnya Permenhut 175/Kpts-II/2003, perluasan Taman Nasional Gunung Halimin Salak dan perubahan fungsi hutan dengan pengalihan lahan perhutani menyebabkan sebagian besar aktivitas kawasanPongkor berada diareal Taman Nasional, dan pada Keputusan Menteri Kehutanan No 195, tentang Penunjukkan Kawasan Hutan Jabar, intinya mengembalikan fungsi hutan sebagaimana semula. Tahun 2009 ditemukan tambahan cadangan yang memperpanjang umur tambang sampai 2018.

 

Selain diatur tata cara memperoleh kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan, juga pemerintah mengeluarkan kebijakan yang mengatur tentang kegiatan pasca penambangan.  Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2010 Tentang Reklamasi Dan Pascatambang, dalam pasala 4, dijelaskan Prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pertambangan paling sedikit meliputi: a. perlindungan terhadap kualitas air permukaan, air tanah, air laut, dan tanah serta udara berdasarkan standar baku mutu atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. perlindungan dan pemulihan keanekaragaman hayati; c. penjaminan terhadap stabilitas dan keamanan timbunan batuan penutup, kolam tailing, lahan bekas tambang, dan struktur buatan lainnya; d. pemanfaatan lahan bekas tambang sesuai dengan peruntukannya; e. memperhatikan nilai-nilai sosial dan budaya setempat; dan f. perlindungan terhadap kuantitas air tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan 

Kebijakan-kebijakan ini dkeluarkan untuk menjamin stabilitas ekosistem yang diakibatkan oleh kegiatan pertambangan.  Perusahaan pertambangan wajib melakukan kegiatan reklamasi pasca penambangan. Selain pertambangan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar, juga banyak pertambangan yang dilakukan oleh rakyat.  Dengan teknologi yang sangat sederhana, kekuatan modal yang kecil serta dengan pemahaman yang rendah terhadap kelangsungan sumber daya alam, kegiatan Penambangan rakyat sering juga menimbulkan kerusakan alam yang cukup berat.  Disamping itu sering menimbulkan korban nyawa dari para penambang, apalagi jika penambang dilakukan secara illegal atau pertambangan tanpa ijin (Peti).  Untuk mengatasi masalah ini pemerintah mengeluarkan kebijakan berupa Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2000, Tentang Koordinasi Penanggulangan Masalah Pertambangan Tanpa Izin.   Isi dari Inpres tersebut adalah :

1.  Menghormati hak-hak ulayat dan kepentingan masyarakat adat setempat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Mengarahkan kesadaran dan ketaatan hukum masyarakat dalam melakukan kegiatan usaha termasuk kegiatan usaha pertambangan secara benar dan legal sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan apabila diperlukan melakukan tindakan represif secara hukum.

3. Memperhatikan alokasi sumber daya alam bagi masyarakat setempat.

4. Memperhatikan kemitraan usaha dan kesempatan kerja bagi masyarakat setempat berdasarkan prinsip yang saling menguntungkan.

5. Memperhatikan sarana dan prasarana kesejahteraan dan harmonisasi kehidupan antara masyarakat perusahaan dan masyarakat setempat.

6. Menciptakan kemungkinan kemitraan antara koperasi atau usaha kecil dengan pengusaha menengah dan pengusaha besar di luar kegiatan pokok pertambangan.

7. Mengupayakan adanya penegakan hukum (law enforcement) dan pemberlakuan hukum (law in order) guna terjaminnya kepastian usaha pertambangan.

 

Sintesis Terhadap Kebijakan dan Dampak terhadap Lingkungan

Informasi mengenai kerusakan hutan Indonesia berserta dampak buruk yang menyertainya ternyata tidak menyurutkan langkah pemerintah untuk mendukung kebebasan industri tambang guna menghancurkan hutan di Indonesia melalui operasi tambangnya. Keanekaragaman hayati dan keberlanjutan kehidupan masyarakat yang bergantung pada jasa lingkungan alam pun dikalahkan oleh mimpi melambungkan angka pertumbuhan ekonomi yang dijanjikan oleh industri tambang. UU No. 41 /1999 yang melarang adanya kegiatan pertambangan di areal hutan lindung nampaknya tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perbaikan kondisi hutan Indonesia. Setelah tumbangnya kekuasaan Soeharto, setidaknya ada 2 kebijakan public yang dikeluarkan oleh 2 presiden yang berbeda dengan substansi yang sama yaitu memberikan keleluasaan industri tambang melakukan aktivitasnya di hutan lindung tanpa dihantui oleh adanya dampak ekologi dan sosial. Presiden Megawati misalnya saat berkuasa mengeluarkan PP pengganti UU (Perpu) No. 1 tahun 2004 untuk menerobos UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan yang melarang kegiatan penambangan di areal hutan lindung. Setelah Perpu itu, tidak lama kemudian tepatnya tanggal 12 Mei 2004 keluarlah Keputusan Presiden (Keppres) yang mengizinkan 13 perusahaan tambang (dari 22 perusahaan yang diajukan) untuk melanjutkan operasinya di kawasan hutan lindung.

Pemberian keleluasan kepada industri-industri tambang juga dilakukan oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menjelang masa jabatannya berakhir, SBY justru secara tiba-tiba mengeluarkan PP No. 2 tahun 2008 tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan Negara bukan pajak yang berasal dari –penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku di Departemen Kehutanan. Peraturan tersebut semakin menegaskan posisi pemerintah yang menganakemaskan industri pertambangan. Betapa tidak, hanya dengan membeyar Rp. 300 per meternya maka kawasan hutan lindung dapat segera burubah fungsi menjadi kawasan pertambangan. Kemudian sekarang melalui Menteri Kehutanan, pemerintah mengelurkan kebijakan bahwa kegiatan penebangan hutan dan penggunaan hutan lindung sebangai kawasan tambang terbuka tidak boleh dilakukan lagi seiring upaya yang dilakukan Kemenhut untuk memulihkan kondisi hutan Indonesia. Kebijakan ini hendaknya disertai dengan tidakan yang nyata, jangan sampai terjadi seperti yang sudah-sudah bahwa kebijakan hanyalah kebijakan namun kegiatan pertambangan tetap dilakukan. Pencabutan ijin  perusahaan dengan lokasi yang menyalahi aturan harus dilakukan. Pemerintah harus tegas terhadap perusahaan-perusahaan pertambangan walaupun telah mengantongi ijin. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup mengenai audit lingkungan pada Kepmen LH No. 30 tahun 2001 dapat pula digunakan untuk mengevaluasi kepatuhan perusahaan-perusahaan dalam mengelola lingkungan, jika terjadi penyimpangan maka pemerintah harus menindak tegas perusahaan-perusahaan tersebut. Kali ini pemerintah harus lebih serius untuk mengatasi masalah kerusakan hutan yang semakin parah karena selama ini pemerintah dianggap tidak konsisten dalam menerapkan kebijakan dalam menangani permasalan tersebut sehingga menyebabkan hutan lindung semakin terancam. Harus disadari bahwa usaha mengubah fungsi kawasan hutan lindung untuk pertambangan hanya akan mendatangkan kerugian yang jauh lebih besar dimasa yang akan dating dibandingkan dengan manfaat yang bias dicapai saat ini.

 

  
  
  
 

Gambar 2. Kerusakan Hutan Lindung akibat dari Penambangan

Gambar 3. Media Massa sering memberitakan tentang kerusakan Hutan akibat penambangan dalam kawasan

 

Kesimpulan

Adanya kegiatan pertambangan di kawasan hutan baik yang legal maupun illegal, jelas merusaka terhadap kelestarian sumber daya alam dan lingkungan, selain juga membahayakan bagi nyawa khususnya penambang illegal.  Pemahaman terhadap kaidah-kaidah konservasi SDA yang masih rendah dari para operator pertambangan, menyebabkan sering terabaikannya kebijakan-kebijakan yang sudah dikeluarkan pemerintah, baik undang-undang, peraturan presiden, instruksi presiden maupun peraturan menteri dll.

Kebijakan yang dikeluarkan dalam usaha pertambangan, diatur mulai dari tata cara memperoleh kawasan hutan yang akan digunakan pertambanagan, kegiatan pelaksanaan eksplorasi atau produksi pertambangan, sampai bagaimana pasca penambangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun