Mohon tunggu...
al hafidz _13oke
al hafidz _13oke Mohon Tunggu... Aktor - Pelajar mahasiswa

EDP 🐪🦁👶 We Hope Be the UBERMENSCH. We life for all cityzen of the eart

Selanjutnya

Tutup

Seni

Menyelami Dimensi Musik dalam Kajian Tasawuf

29 November 2022   04:00 Diperbarui: 29 November 2022   04:04 552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seni. Sumber ilustrasi: Unsplash

Menyelami Dimensi Musik dalam kajian Tasawuf 

Al Hafidz Al Khaeri 

Sebagian orang, komunitas, aliran, madzhab, menilai musik atau seni adalah kemegahan tapi sebagian lagi memandang sebagai hal yang tabu dan di hukumi "haram" karena melihat "madorot" (keburukan yang di hasilkan), semisal terlena dengan keasikan memainkannya sehingga meninggalkan kewajiban-kewajiban yang harus di lakukan dari penikmatnya. Jika dilihat dari sisi sejarahnya musik umurnya sudah sangat kolot sekali.

Ibn Abbas (619 M-687 M) mengatakan bahwa, musik pertama kali di dendangkan, oleh “iblis”, dengan menyerupai seorang laki-laki yang mendekati keturunan Nabi Adam. Sementara Abu Ja'far at-Tabari (838 M-923 M) memiliki pandangan yang berbeda terkait sejarah musik, at-Tabari menyatakan orang yang pertamakali memainkan alat musik ialah seorang laki-laki dari keturunan Qabil, bernama Tsaubal keturunan Nabi Syits.

Namun fokus awal kita bukan hanya dari sejarah musik itu sendiri, akan tetapi sebuah bunyi, yang diamati, dicermati, disadari membentuk suatu irama. Dalam pandangan Risa'il Ikhwan Al-Shafa (Abad 10 M.). Termaktub di buku kelima yang berjudul Anatomi, Psikologi dan Bahasa menyuarakan bahwa : 

"suara adalah benturan benda yang bersifat material atau fisik sehingga memiliki bunyi, sementara kata adalah suatu suara yang tersusun dari huruf-huruf, sedangkan kalimat ialah kumpulan-kumpulan kata yang tersusun untuk menyampaikan maksud dan tujuan." Dari bunyi-bunyi yang di konstruk menjadi nada dan irama, atau musik. Dan kata yang disusun rapih menjadi lagu-lagu untuk menyempurnakan panggung orkestra.

Oleh karenanya pada saat itulah manusia mulai menyadari akan adanya irama-irama, nada-nada dari benturan-benturan benda-benda, bersifat alamiah di hantarkan oleh udara, menjadikan tenang dan nyaman bagi para pendengarnya, dalam pandangan Ibnu Sina (980 M-1037 M) "Musik semesta atau suara realitas".

Banyak diantara kita memahami makna musik dan syair hanya permukaan saja, tidak mendalam, radikal dan esensial. Agar bisa mendengar dan memahami musik yang alamiah maupun konstruktur, dalam tradisi tasawuf atau sufi terdapat istilah sama' di dialektika tasawuf sendiri memiliki banyak definisi. Sementara para pakar mengistilahkannya "mendengar serta memperhatikan [isga'], segala bentuk bunyi, suara berirama indah, dan lagu yang terangkai astetik."

Adapun As-Syatibi (1388 M.) mendefinisikan sama’ ialah “mendengar bunyi apapun yang memberi pelajaran penting”. Dalam kajian tasawuf sama' adalah orang yang mampu memahami inti makna yang paling dalam (afada Al-Hikmah), walaupun sama' sifatnya nonfisik beberapa kaum sufi menyatakan, mendengar musik bisa mempengaruhi fisik. Terbukti suara-suara atau musik-musik yang mereka dengar dapat menghaluskan kulit (yalinu al-jilad).

Sementara Ibnu Ajibah (1800 M.) menawarkan fakta terkait musik dalam kajian tasawuf "sama' merupakan minuman segar. Mendengar untaian Kalam hikmah adalah 'minuman' bagi hati yang kering, meneguk senandung lagu, adalah minuman bagi jiwa yang kehausan". Oleh karenanya dimensi musik sangat erat dan kompleks dalam konteks tasawuf. 

Lalu hadir Zun Nun al-Misriy (859 M.) Mengatakan bahwa "musik merupakan suatu yang nyata dapat menggerakkan hati untuk sampai Dzat yang Maha Nyata, Allah SWT. Barangsiapa yang benar-benar memperhatikannya dengan sungguh-sungguh, serta tetap menjaga aturan yang dibenarkan oleh Syara', maka kebenaran akan terkuak darinya, dan jika mendengar karena nafsu, sejatinya ia meniti jalan kebohongan."

Adapun Abu Bakar As-Syibli (946 M.) berpendapat "Secara lahiriah musik adalah fitnah. Dan secara batiniah adalah ibrah (pemberi pelajaran)." Musik dianggap fitnah menurut As-Syibli karena kebanyak memandang secara fisik atau dzohir yang potensial salah dalam memaknainya. Alasannya, dengan mendengar nyanyian indah, diiringi alunan musik dianggap tidak etis dalam perspektif syari'at. Walupun didalamnya terdapat hal yang esensial, memberikan pelajaran serta mengantarkan kerinduan akan Tuhan. 

Namun, dari stetmen para sufi tersebut ada yang menarik dan unik salah satunya Ibrahim Al-Khawas (904 M.) Ia ditanya, bagaimana mungkin para sufi bisa lebih khusu, tergugah, dan ekstase mendengarkan pembacaan syair-syair, musik-musik dan suara-suara selain Al Qur'an?. Menurutnya "mendengarkan Al Qur'an dapat menimbulkan goncangan yang maha dahsyat di dalam hati, maka teramat sulit tubuh akan tergerak, berbeda dengan mendengar alunan-alunan, lagu atau musik yang datap menghibur hati sehingga tubuh akan terayun-ayun oleh nya."

Namun yang memiliki pengaruh eksplisit dan progresif serta masyhur, dalam kajian sufi tentang musik ialah Maulana Jalaluddin Rumi (1207 M-1273 M.) Puisi-puisi, syair-syair Rumi banyak di kenal oleh umat beragama, selain mashur dalam agama Islam, Rumi sendiri akrab dalam orientalime yang ingin memahami apa yang di maksud dalam syair-syairnya. Salah satu syair yang dapat menggugah jiwa adalah :

“Kisah Lagu Seruling” 

Dengan alunan pilu seruling bambu

Sayu sendu lagunya menusuk kalbu

Sejak ia bercerai dari batang pokok rimbun

Sesaklah hatinya dipenuhi cinta dan kepiluan

Walau dekat tempatnya laguku ini 

Tak seorang tahu serta mau mendengar 

O kurindu kawan yang mengerti perumpamaan ini 

Dan mencampur rohnya dengan rohku 

Api cintalah yang membakar diriku

Anggur cintalah yang memberiku cita menawan 

Inginkah kau tahu bagaimana pencinta luka? 

Dengar, dengar alunan lagu seruling bamboo

Terlepas dari sisi eksoteris dan isoteris musik, dari para ulama banyak yang melarang bahkan mengharamkannya. Karena dimensi musik banyak mengandung unsur-unsur keburukan serta fitnah, oleh karenanya problematika itu tidak pernah selesai diperdepatkan sampai sekarang. Junaid al-Baghdadi (901 M.) Mengatakan bahwa “musik merupakan fitnah bagi orang yang sengaj mencarinya, dan menjadi penyejuk bagi yang tidak sengaja mendengarnya”. 

Dalam menafsirkan"fitnah" al-Arusi mendedikasikan keterangan. Musik dianggap fitnah bagi mereka yang terlarut-larut mencarinya sementara yang substansial dia palingkan, demi mencari selainNya. Krena ia sendiri keluar dari yang seharusnya ia lakukan artinya meninggalkan yang intinNya. Sementara arti "penyejuk" ialah anugrah atau hikmah yang hadir atas kehendakNya, sehingga dapat menenangkan hati bagi yang mendengarkannya. 

Hikmah musik dalam kajian tasawuf atau sufi memiliki banyak dimensi oleh karenanya Junaid al-Baghdadi menegaskan “segala sesuatu yang bisa mendekatkan diri kepada Tuhan diangap baik dan dianjurkan.” Maka secara intinstik mengoriantasikan musik sebagai jalan alternatif untuk berkontemplasi kepada Maha Eksotis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun