(Masih) dalam rangka memperingati World Health Day 2017, yang mengambil tema, “Depression, Let’s Talk (Depresi, Yuk Curhat).”
Seorang kawan, Fazil Abdullah, mengatakan bahwa warga desa tetap berpeluang menderita depresi, jika mengalami perasaan kosong (emptiness) sebagaimana warga kota. Penulis fiksi “Yang Terluka di Belakang Rumah” ini menulis artikel berjudul “Apakah Masyarakat Desa Tak Mengalami Perasaan Kosong (Emptiness)?” sebagai tanggapan terhadap artikel “Benarkah Masyarakat Kota Lebih Rentan Depresi?” yang ditulis bertepatan dengan Hari Kesehatan Sedunia 7 April 2017 kemarin.
Beberapa fakta ditunjukkannya. Betapa warga desa tidak “memiliki apa-apa” sebagaimana warga kota. Hanya ada sarana hiburan berupa sekotak televisi dan internet masuk desa, pekerjaan yang kurang “wah”, yakni “hanya” sebagai petani dan pedagang, belum lagi uang makan yang pas-pasan yang harus dikorbankan untuk musim tanam bulan depan. Kesemuanya inilah yang membuat warga desa “terpaksa” menerima segala sesuatu apa adanya. Tak bisa berharap banyak, alias hopeless.
Namun, menurut Fazil, warga desa memiliki sesuatu yang tidak dimiliki warga kota. Yakni kebersamaan. Kebersamaan inilah yang memberikan perlindungan, rasa aman, dan nyaman bagi setiap warga desa. Inilah yang langka bagi warga kota seperti Mbak Ani, sebagaimana dituturkan dalam artikel sebelumnya.
Jika kebersamaan warga desa ini terusik, mereka berpeluang mengalami emptiness sebagaimana warga kota. Ketika warga desa mulai sibuk mengejar pekerjaan kantoran, penghasilan tinggi, uang dan harta banyak, hingga orang-orang terdekat menjadi berjarak satu sama lain, maka segala gambaran ideal akan warga desa itu akan “pecah.” Inilah yang membuat mereka juga lebih rentan depresi daripada warga kota.
Studi Dinamika Desa
Faktanya, warga desa yang sangat rentan mengalami depresi adalah yang berbatasan paling dekat dengan kota. Lho, kok bisa?
Secara statistik, sebuah penelitian meta analisis pada negara-negara Skandinavia memang menunjukkan angka depresi dan masalah mental-emosional lainnya cukup berbeda bermakna antara desa dengan kota, dimana warga kota lebih rentan mengalami masalah mental-emosional dibanding warga desa.
Apabila kategori desa/kota ini dipecah menjadi satuan lebih kecil, yakni pusat kota, pinggiran kota, perbatasan desa, dan tengah desa, maka angka depresi dan masalah mental emosional itu justru terkumpul pada pinggiran kota dan perbatasan desa. Malah, tidak ada perbedaan bermakna antara pusat kota dan tengah desa itu sendiri.
Sebelum melangkah lebih jauh, hendaknya kita menyejajarkan pemahaman tentang siapakah yang disebut “warga kota” dan “warga desa.”
Koentjaraningrat (1977) menjelaskan dengan apik bagaimana dinamika suatu desa, dari sudut pandang psikokultural. Secara sederhana, desa diartikan sebagai “komunitas kecil” yang menetap di suatu tempat. “Komunitas kecil” ini terbentuk karena setiap warganya saling melayani satu sama lain. Mereka tidak memiliki pengaruh apapun terhadap daerah di sekitarnya.
Sementara kota adalah “komunitas yang lebih besar”, dimana mereka melayani tidak hanya warga yang ada di dalamnya, namun juga warga yang ada di sekitarnya. “Komunitas besar” ini seringkali terbentuk karena adanya “daerah transaksional” yang berkembang semakin ramai semacam pasar, tempat ibadah, atau tempat wisata.
“Daerah transaksional” ini menjanjikan sebuah harapan baru. Mereka bisa melakukan transaksi ekonomis maupun transaksi ideologis. Tukar-menukar ide. Tukar-menukar gaya hidup. Semua hasil transaksi itu kemudian terbawa ke daerah asalnya, sehingga semakin banyak warga “komunitas kecil” yang terpengaruhi.
Anda Lebih Bahagia, Jika..
Harapan-harapan baru, ide-ide baru, dan gaya hidup baru itu memberikan dua dampak sekaligus. Keberuntungan, juga kebuntungan. Beruntung, bagi mereka yang mampu beradaptasi. Buntung, bagi mereka yang sebaliknya.
Kemampuan adaptasi itulah yang mampu mendekatkan antara harapan dan kenyataan. Pilihan warga “komunitas kecil” itu hanya ada dua: (1) Bersikap legowo untuk menurunkan harapan, atau; (2) Bersikap pantang menyerah untuk mendongkrak kenyataan. Kedua pilihan ini punya goal yang sama, yaitu mendekatkan jarak antara harapan dan kenyataan.
Gap yang terlalu tinggi, akan memicu depresi dan masalah mental-emosional lainnya. Orang akan merasa tertekan dengan keadaannya sendiri, mengapa tidak mencapai seperti apa yang dicita-citakan (hopeless). Atau, mereka akan merasa lelah dengan kompetisi, karena apapun yang dia kerjakan tidak pernah memuaskan dirinya (emptiness).
Lalu, mengapa tidak ada perbedaan bermakna antara angka depresi di pusat kota dan di tengah desa? Karena mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. Tidak disibukkan dengan angan-angan seperti mereka yang berada di daerah perbatasan. Orang di pusat kota berfokus dengan pekerjaannya, sementara yang di tengah desa berfokus pada kebersahajaannya.
Inilah bahayanya berada di daerah perbatasan antara desa dan kota: Anda terlalu jauh dengan kedamaian di tengah desa, juga terlalu jauh dengan impian di pusat kota.
Maka, pesan ini tidak hanya untuk para warga desa, namun juga semua pembaca budiman yang ingin membuat hidupnya lebih bahagia, bebas dari depresi:
Janganlah terjebak pada angan-angan. Sadarilah dimana Anda berada sekarang, dan fokuslah pada apa yang sedang Anda kerjakan sekarang.
Kejarlah impian, buang saja angan-angan! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H