Mohon tunggu...
Hafid Algristian
Hafid Algristian Mohon Tunggu... Dokter - Psikiater. Temen ngobrol.

Psikiater, Urban Mental Health. Temen curhat plus ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Orang Desa atau Kota Akan Bebas dari Depresi jika...

9 April 2017   22:36 Diperbarui: 10 April 2017   18:00 1191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Masih) dalam rangka memperingati World Health Day 2017, yang mengambil tema, “Depression, Let’s Talk (Depresi, Yuk Curhat).”

Seorang kawan, Fazil Abdullah, mengatakan bahwa warga desa tetap berpeluang menderita depresi, jika mengalami perasaan kosong (emptiness) sebagaimana warga kota. Penulis fiksi “Yang Terluka di Belakang Rumah” ini menulis artikel berjudul “Apakah Masyarakat Desa Tak Mengalami Perasaan Kosong (Emptiness)?” sebagai tanggapan terhadap artikel “Benarkah Masyarakat Kota Lebih Rentan Depresi?” yang ditulis bertepatan dengan Hari Kesehatan Sedunia 7 April 2017 kemarin.

Beberapa fakta ditunjukkannya. Betapa warga desa tidak “memiliki apa-apa” sebagaimana warga kota. Hanya ada sarana hiburan berupa sekotak televisi dan internet masuk desa, pekerjaan yang kurang “wah”, yakni “hanya” sebagai petani dan pedagang, belum lagi uang makan yang pas-pasan yang harus dikorbankan untuk musim tanam bulan depan. Kesemuanya inilah yang membuat warga desa “terpaksa” menerima segala sesuatu apa adanya. Tak bisa berharap banyak, alias hopeless.

Namun, menurut Fazil, warga desa memiliki sesuatu yang tidak dimiliki warga kota. Yakni kebersamaan. Kebersamaan inilah yang memberikan perlindungan, rasa aman, dan nyaman bagi setiap warga desa. Inilah yang langka bagi warga kota seperti Mbak Ani, sebagaimana dituturkan dalam artikel sebelumnya.

Jika kebersamaan warga desa ini terusik, mereka berpeluang mengalami emptiness sebagaimana warga kota. Ketika warga desa mulai sibuk mengejar pekerjaan kantoran, penghasilan tinggi, uang dan harta banyak, hingga orang-orang terdekat menjadi berjarak satu sama lain, maka segala gambaran ideal akan warga desa itu akan “pecah.” Inilah yang membuat mereka juga lebih rentan depresi daripada warga kota.

Studi Dinamika Desa

Faktanya, warga desa yang sangat rentan mengalami depresi adalah yang berbatasan paling dekat dengan kota. Lho, kok bisa?

Secara statistik, sebuah penelitian meta analisis pada negara-negara Skandinavia memang menunjukkan angka depresi dan masalah mental-emosional lainnya cukup berbeda bermakna antara desa dengan kota, dimana warga kota lebih rentan mengalami masalah mental-emosional dibanding warga desa.

Apabila kategori desa/kota ini dipecah menjadi satuan lebih kecil, yakni pusat kota, pinggiran kota, perbatasan desa, dan tengah desa, maka angka depresi dan masalah mental emosional itu justru terkumpul pada pinggiran kota dan perbatasan desa. Malah, tidak ada perbedaan bermakna antara pusat kota dan tengah desa itu sendiri.

Sebelum melangkah lebih jauh, hendaknya kita menyejajarkan pemahaman tentang siapakah yang disebut “warga kota” dan “warga desa.”

Koentjaraningrat (1977) menjelaskan dengan apik bagaimana dinamika suatu desa, dari sudut pandang psikokultural. Secara sederhana, desa diartikan sebagai “komunitas kecil” yang menetap di suatu tempat. “Komunitas kecil” ini terbentuk karena setiap warganya saling melayani satu sama lain. Mereka tidak memiliki pengaruh apapun terhadap daerah di sekitarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun