Kekerasan pada anak tidak melulu soal kekerasan pada fisik. Melainkan pada hati kecilnya juga. Perih karena dipukul, dicubit, dijewer, atau dijambak, saya kira sama perihnya jika dicaci maki. Apalagi hal itu datang dari orangtua kandung.
Saat berusia 13 tahun, seorang ibu tetangga jualan mama di pasar, selalu mengatakan "Raimu asu!" Â atau "Jancok" pada anaknya. Tentu saja ibu itu sedang kesal. Tapi sampai usia 28 tahun saat ini, saya masih mengingatnya dengan jelas bak saya yang dikatainya. Bagaimana perasaan anaknya sendiri. *huyuuu
Pun sampai sekarang. Masih saja saya nampak seorang ibu mencaci maki anaknya di pinggir jalan dengan kata-kata yang ada di "zoo". Mirisnya, kadang di sertai dengan kata  "ko gila kah? otak mati, gobl*k, tol*l, atau bod*k". Apa mungkin hanya Indonesia timur yang memang di kenal sedikit "kasar" perihal bahasa sehari-hari? Saya rasa daerah lain juga sama. Misal ketika tinggal setahun di Sulawesi Selatan, jika anak salah buat sesuatu, ibunya mengatakan "be'be' na'nak yee!" artinya anak bodoh ini!
Jika membaca kisah imam besar Masjidil haram, yakni syeh Assudais, siapa sangka bahwa beliau dulunya anak yang "aktif". Diceritakan bahwa ketika ibu beliau sudah menyiapkan makanan di atas meja dengan rapih, beliau kecil malah menaburkan pasir di atas makanan itu. . Tapi begitu mulia hati ibu  syeh Assudais. Beliau malah menyumpahi anaknya dengan kalimat "Pergi sana ke Masjidil Haram!! Semoga kau jadi imam Masjidil Haram!".
Rasulullah pernah berpesan dalam sebuah hadits "Jagalah lisan kalian. Jangan ucapkan sesuatu yang bisa saja buruk bagi diri kalian, keluarga kalian, atau harta benda kalian yang kebetulan malaikat lewat lalu mengaminkannya."
Orang bilang kata-kata adalah doa. Benar saja. Syeh Assudais telah menjadi imam di Masjidil Haram. Masjid yang berjuta orang sholat di dalamnya. Sebab ibunya menjaga lisannya dengan kalimat yang baik-baik. Meski sedang marah sekalipun.
Saya tidak mau membahas paragraf 2 dan 3 lagi. Teralu patah jika dikaitkan dengan "kata-kata adalah doa".
Menuliskan tulisan ini bukan berarti saya selalu berkata baik dan lemah lembut pada anak saya. Rempongnya seorang mamak sudah bisa ditebak. Matahari baru naik sedikit, tapi darah mamak sudah jauh melambung tinggi entah karena anak enggan beranjak dari tempat tidur atau  berleha-leha saat mandi pun sarapan.
Namun sebesar apapun hati diuji, dengan tulisan ini saya mengingatkan diri sendiri agar selalu belajar menjaga lisan. Belajar meminimalisir kata-kata yang tidak pantas. Belajar mengontrol emosi kala diambang batas. Karena bisa saja malaikat sedang lewat dan mengucapkan amin lalu dikabulkan Yang Diatas.Â
Sorong, 16 Januari 2019
Semangat belajar tanpa mengenal batas!