Kata bung Akhmad Kusaeni dalam artikelnya yang berjudul Revolusi Digital:
Komputer membunuh mesin ketik
Youtube membunuh DVD
BBM membunuh Whatsapp
Google membunuh kamus
Uber dan Grabcar membunuh ojek dan taksi.
Intinya kita harus siap pada perubahan yang begitu cepat.
Lalu. . . .
Saya ingin menambahkan sebagian Youtuber secara tidak langsung juga membunuh literasi. Mengapa demikian. Karena generasi milenial lebih memilih mengembangkan channel di youtube atau menontonnya dibanding membaca dan menulis.
Anak-anak yang bahkan belum pubertas ketika ditanya cita-cita malah jawab "jadi youtuber" (bedasarkan pengalaman ketika mengajar di kelas. Bukan hanya satu anak dan itu membuat saya *speechless). Mereka berdalih akan mendapatkan "income" yang menjanjikan. Apakah itu artinya anak-anak tahu ilmu bagaimana mendapatkan penghasilan dari youtube?. Bukan dari banyak membaca buku. (Jangan bilang ya namanya juga generasi milenial)
Perlu dicatat. Saya tidak mengatakan semua youtuber. Karena banyak juga youtuber yang memberikan informasi, ilmu, dan motivasi yang bermanfaat di channelnya. Tutorial keterampilan, kecantikan, resep masakan, atau cara memperbaiki benda yang rusak  jauh lebih bermanfaat. Wajar kalau diapresiasi.
Hanya saja ada banyak youtuber dengan modal "over confidence", ditambah lisannya  yang "tidak disaring" terlebih dulu, membuat konten yang menurut saya tidak bermanfaat.
Viewer juga seakan-akan terhipnotis menontonnya. Lebih betah berlama-lama melihat ajang pamer kekayaan dibanding harus membaca buku. Seolah tidak ingin "memaksa" imajinasinya untuk memahami isi tulisan.
Oke baik. Ilustrasi sederhananya begini. Ini benar-benar ilustrasi. Kalau ada kesamaan hanya kebetulan.
...........
Ala Youtuber
"Halo gaes, Siang ini panes banget . Nyengat banget. (sambil kipas-kipas). Jadi siang ini gua mau nyobain es jeruk peras yang lagi ngehits banget. Penasaran gimana rasanya. Yuk ikutan terus ya gaes."
Tiba di penjual,
"Nah ini dia penjualnya..Halo mas. Maap ni sambil ngerekam.. Say hai mas. Masuk yutub loh mas." Penjual yang senyum malu-malu nurut.
"Berapaan ni mas." sambil rekam mas lagi nyiapin.
"Lima ribu dek. Nih dek minumnya."
"Oke makasih ya mas. (sambil jalan lagi) Jadi gaes ni harganya murah banget. Trus tadi kalian bisa lihat jeruknya asli. Air gulanya asli. Tanpa pemanis buatan. Trus kalian bisa liat tadi mesinnya kek bulat-bulat gitu. Trus tinggal di pencet. Air jeruknya langsung masuk ke dalam Gelas. Â (nunjuk gelas). Sruuup.. Hmm..anjir, rasanya tuh seger banget gais, manis. Trus kek ada kecut-kecutnya gitu. Kalian harus coba deh. Oke."
.............
Ilustrasi dalam tulisan
Matahari tepat di atas ubun-ubun. Peluh sudah membanjiri tubuh. Akan sangat nikmat bila sesuatu yang segar melewati tenggorokan. Orang-orang merekomendasikan es jeruk peras. Aku harus mencobanya kali ini.
Diantara beberapa pedagang kaki lima, penjual es jeruk peras tepat di sudut. Sesegera aku menghampiri. Nampak penjual memakai topi biru dongker sedang lincah memotong jeruk. Lalu meletakkan Potongannya di alat yang mampu menyaring air jeruknya saja.
Giliranku tiba. Harganya tak seberapa. Hanya lima ribu  rupiah sudah menghilangkan dahaga. Rasa dingin, manis dan asam bercampur jadi satu kesegaran yang tak terkira. Wajar bila direkomendasikan.
..............
Nah. Lebih mudah mana. Memahami tulisan atau video.
Pecinta literasi tetap memilih hanyut dan menari-nari dalam diksi. Menjadikan setiap huruf yang ditulis atau dibaca bak es kepal milo dan martabak manis yang lezat. Sementara yang lain mungkin lebih senang membuat video karena para penonton juga senang disuguhkan gambar yang nyata. Tapi tolonglah. Videonya yang bermanfaat saja.
Dari kota Sorong Papua Barat, Salam Literasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H