Mohon tunggu...
Sary Hadimuda
Sary Hadimuda Mohon Tunggu... Guru - Hanya seorang hamba Allah yang sedang memantaskan diri menjadi pengajar

Sedang belajar membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tradisi "Goyang Panta" Saat Tahun Baru

1 Januari 2019   22:40 Diperbarui: 1 Januari 2019   23:07 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini tahun ke sepuluh saya tinggal di Jln. F. Kalasuat halte Malanu kota Sorong. Walaupun dari kecil hingga SMP rumah pertama saya tidak jauh. Lah podoae. Hihi. Lahir dan besar di Papua membuat saya merasa bagian dari orang asli Papua meski orang tua asli bugis.
Hehe

"Hitam kulit keriting rambut aku Papua. Biar nanti langit terbelah..  Aku Papua." nancap banget liriknya. itu lagu dari Kaka Edo Kondologit yang dulu saya kecil sering lewat depan rumahnya. So What?? . Bangga lahir di sini.  Hehe

Di depan jalan rumah saya adalah kompleks rumah orang Papua. Jumlahnya puluhan KK. Setiap kali tahun baru  sebagian dari mereka keluar ke jalan dan melakukan tradisi yang mereka sebut "Goyang Panta". Disebut goyang panta sebab *maaf pantat digoyang mengikuti irama. Jadi pinggulnya digoyang ke kiri dan kanan.

Seperti  gambar, mereka hanya menggunakan tifa, jergen bekas, dan gong kecil. Ketiga benda itu dipukul-pukul hingga membentuk irama. Sepenggal lirik yang keluar secara bersamaan yaitu "Opopeee Orarayooo...." Semoga tidak salah. Takut salah arti.

Mereka sudah pasti mencuri perhatian tetangga sekitar dan pengguna jalan raya. Saya sekeluarga langsung ke luar rumah untuk menonton. Bahkan mama saya keluar malam-malam ketika mendengar suara gong. Dikira mereka goyang lagi.   Padahal ada yang lewat pakai truk. Mungkin dari daerah lain. Maklum. Mama saya sudah berbaur dengan nenek buyut mereka dari tahun 1976. Jadi ya begitulah.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
 Siapa yang tidak tertarik ketika tifa dan gong dibunyikan. Topi indah dari bulu burung cendrawasih dipakai (meski cuma satu orang). Rok khas Papua (rumbai-rumbai) digunakan ibu-ibu. Pun tas-tas noken penuh warna. Pemandangan yang tak bisa dilihat setiap hari walaupun tinggal di Papua. Inilah identitas mereka. Inilah tradisi mereka.

Sayang sekali tradisi ini sudah berkurang jumlah anggotanya. Maksud saya, tahun sebelumnya yang ikut lebih ramai. Lebih banyak. Malukah anak cucu mereka melanjutkan tradisi ini. Jangan sampai. 

Anak saya yang berumur 4 tahun ikutan goyangkan pinggul di teras. Padahal mereka sudah tidak nampak. Hanya suara irama yang sayup-sayup terdengar. Semoga tahun depan lebih ramai lagi.

Hitam kulit keriting rambut... Aku Papua......
Salam Hangat dari pintu masuk Papua, Kota Sorong.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun