Di sekolah tempat saya mengajar acap kali melakukan evaluasi setelah melakukan kegiatan apa saja yang melibatkan orang tua murid. Misalnya saat penerimaaan rapot semester ini.Â
Begitu selesai Kepala sekolah langsung memimpin rapat. Menanyakan kendala apa saja yang ada. Penampilan pembawa acara, Sound system, atau konsumsi apakah semua lancar. Bahkan untuk tata sendal/ sepatu pun di evaluasi. Ini semua semata-mata untuk kepuasan pelayanan orang tua murid.
Bila orang tua murid puas dengan pelayanan sekolah, tentu mereka akan memasukkan anaknya lagi di sekolah kami. Pun  mereka akan merekomendasikan ke kerabat tentang sekolah kami. Buktinya baru 12 tahun berdiri Yayasan sudah mendirikan TK, SD, SMP dan SMA dengan murid sebanyak 800 lebih. Gaji guru meski non PNS setara dengan UMP. Ini bisa terjadi karena adanya evaluasi yang dilakukan secara konsisten di setiap kegiatan.
Dari sekolah saya belajar menerapkan istilah "evaluasi" di rumah. Kebetulan di rumah ada usaha depot air isi ulang yang baru berjalan 2 bulan. Suatu ketika air habis pada saat pengisian. Air hanya sampai di leher galon. Sudah pasti hal ini membuat pelanggan kecewa.
Suami akhirnya membeli tangki air (lagi) sebagai tindak lanjut dari evaluasi. Juga memastikan air baku dan air hasil produksi selalu ada. Alhasil, ada kerabat yang mengatakan kalau usaha kami telah memiliki banyak pelanggan untuk usaha depot pemula.
*ehem... Dari tadi tulisannya melenceng. Inti dari evaluasi kesejahteraan belum dikupas. Hubungannya apa dengan tulisan di atas. Ya.. Efek dari mengevaluasi. Hehe
Oke baik. Teman-teman pasti setuju kalau sejahtera itu relatif. Tergantung dari individu itu menyikapinya. Tapi coba kembali tanya diri sendiri. Apakah sudah benar-benar sejahtera. Saya sendiri merasa belum sepenuhnya. Perlu digaris bawahi bahwa "bukan berarti saya tidak bersyukur" dan hidup missqueen ya. Hehe
Sejahtera menurut kamus bahasa Indonesia adalah aman, makmur, selamat dan atau terlepas dari segala gangguan. Nah.. Sudah bebaskah dari gangguan cicilan alat elektronik, motor, mobil, atau rumah misalnya. Jangan-jangan cicilan lepas resepsi nikah pun masih ada. Waduh. Jangan sampai ya.
Kalau ada yang berkata "Gaji saya mah tiap bulan gini-gini saja. Mau evaluasi bagaimana" Kalau demikian coba dievaluasi kinerjanya. Atasan bisa saja langsung mendongkrak upah bila memberikan kinerja dan kontribusi yang lebih baik kan.
Bila perlu buka usaha kecil-kecilan untuk mendapatkan tambahan income. Jual pulsa, token listrik, atau bisa meniru pedagang-pedagang online disekitar. Kalau gengsi dan malu, selipkan saja rasa itu dalam dompet yang terdalam. Mungkin bisa membayar tagihan sewaktu-waktu. Hehehe. Intinya rasa malu jangan pernah di gantung di hati. Apalagi sampai di bawah ke mana-mana.
Wisata rohani, membangun tempat ibadah, liburan ke luar kota, atau  membeli mobil yang mereknya bukan sejuta umat (ingin saya juga) tentu sangat memungkinkan bila telah mencapai kesejahteraan yang maksimal.
Semua pada bilang "nothing imposibble". Tidak ada yang tidak mungkin. Iya. Benar sekali. Selama mau berusaha, mau mengevaluasi dan memikirkan tindak lanjut, Tuhan pasti memberi kemudahan. Adakah sama antara insan yang pasrah pada keadaan dengan insan yang mau mengubah nasibnya?
Saya rasa tak perlu banyak resolusi di tahun baru ini. Toh itu cuma hangat di triwulan pertama. Satu saja, yang penting membahagiakan. Yakni "Evaluasi Kesejahteraan." Untuk keluarga maupun diri sendiri.
Masalah ekonomi juga mempengaruhi harmonisnya rumah tangga loh. Banyak masalah yang timbul bila pendapatan tidak sesuai harapan. Ups.. Sudah-sudah. Intinya tetap semangat. Semoga di 2019 semua semakin sejahtera. Amin.
Tak lupa tanamkan dalam mindset pepatah bijak ini "Menjadi kaya bukan seberapa besar yang dimiliki, tetapi seberapa besar yang diberi." Sebab apapun agamanya Tuhan mengajarkan untuk saling berbagi.
Salam hangat dari kota Sorong Papua Barat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H