Mohon tunggu...
Gatot Prakoso
Gatot Prakoso Mohon Tunggu... karyawan swasta -

mencoba terus menulis, menyibukkan jemari sebagai "printer" yang berkualitas, yang bisa mencetak hasil-hasil yang berguna...

Selanjutnya

Tutup

Money

Gres! Semoga Bukan Berhenti di Slogan dan Seremony Belaka

2 Desember 2013   10:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:25 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Pencanangan Gerakan Ekonomi Syariah yang dilakukan Presiden SBY beberapa waktu lalu mestinya menjadi sebuah kabar gembira buat pelaku usaha di tanah air. Presiden SBY dalam kesempatan itu menilai bahwa sistem ekonomi syariah merupakan sistem ekonomi yang harus diperkuat di Indonesia, mengingat kemampuannya bertahan saat ekonomi dunia mengalami pergolakan. Sistem ekonomi syariah, lanjut SBY, terhindar dari aksi spekulan yang sering menimbulkan gejolak ekonomi dunia.

Pernyataan SBY juga diperkuat Gubernur BI, Agus Martowardoyo dalam kesempatan lain yang menyatakan bahwa ekonomi syariah telah menunjukkan kemampuan bertahan dari krisi global karena nilai-nilai yang terkandung dalam sistem ini menhindarkan(pelaku)nya dari spekulasi. Untuk itu, sudah sepatutnya bahwa pengembangan ekonomi syariah menjadi prioritas dalam pengembangan ekonomi nasional.

Dua pernyataan dari dua orang penting di perekonomian Indonesia tentang ekonomi syariah seharusnya menjadi genderang selamat datang bagi berkembang suburnya perekonomian syariah ditanah air. Dan sudah seharusnya itu disambut gembira oleh semua pelaku usaha di Indonesia.

Kabar Baikkah?

Sekilas, apa yang diungkapkan Presiden SBY dan Gubernur BI Agus Martowardoyo terdengar bagai angin surga yang menyejukkan dunia kewirausahaan. Mengapa? Sudah bukan rahasia lagi, dunia usaha, terutama dunia usaha mikro dan kecil, selalu mengalami masalah klasik ketika akan memulai atau mengembangkan usaha. Mereka selalu terbentur modal. Banyak pengusaha kecil dan mikro yang sudah menggantungkan nasib usaha mereka pada pinjaman di bank komersial biasa.

Tentu, seiring dengan kebijakan pemerintah untuk mengembangkan sektor UKM, perbankan merespon dengan melancarkan berbagai kemudahan di sektor pinjaman untuk UKM, agar pengusaha yang ingin mendapatkan pinjaman modal dapat dengan mudah mendapatkannya, hingga dapat segera memulai usaha atau bisa segera mengembangkan usahanya. Sayangnya, berbagai kemudahan itu juga ditebus dengan harga yang tidak kecil.

Untuk mendapatkan kredit usaha, pengusaha harus diribetkan dengan berbagai macam syarat yang selain rumit, juga memakan waktu yang tidak sedikit. Anda bayangkan, bagi pelaku usaha mikro dan kecil, sudah barang tentu mereka tidak sempat memikirkan berbagai hal seperti ijin usaha, akta perusahaan, neraca rugi laba, dan berbagai hal yang hanya menambah beban pikiran mereka. Bagi mereka, sebuah usaha adalah sesuatu yang dijalankan. Mereka memproduksi sesuatu, mereka jual, lalu mendapatkan uang sebagai pengembalian modal dan sedikit keuntungan. Selesai.

Neraca rugi laba, akta perusahaan, ijin usaha dan berbagai tetek bengek lainnya adalah hal rumit yang tidak pernah terlintas dalam benak pelaku usaha mikro dan kecil. Bukan berarti tidak ada sama sekali yang sudah mengusahakan persyaratan itu, akan tetapi persentasinya mungkin masih sangat sedikit. Seolah belum cukup rumit, mereka masih harus melampirkan berbagai surat keterangan, seperti surat keterangan usaha dari pengurus kampung, termasuk juga fotokopi buku tabungan, biasanya selama 3(tiga) bulan terakhir.

Berbagai syarat yang rumit, membuat pengusaha mikro dan kecil memilih mencari solusi instant yang lebih mudah. Berbagai kemudahan ditawarkan oleh berbagai jenis BPR. Para nasabah dijanjikan kemudahan mendapatkan dana tanpa harus mengajukan berbagai syarat yang super rumit. Jikapun ada syarat, biasanya jauh lebih sederhana ketimbang yang harus diajukan ke bank biasa (bukan BPR). Tentu, ada kompensasi yang harus dibayar, yaitu bunga yang jauh lebih tinggi.

Maka seharusnya, dengan dicanangkannya gerakan ekonomi syariah, banyak (calon) pengusaha dan pengusaha yang berbahagia. Karena dengan demikian mereka memiliki peluang mendapatkan pinjaman dengan pengembalian yang jauh lebih lunak. Pertanyaannya, benarkah demikian?

Perbankan Syariah di Indonesia

Pencanangan gerakan ekonomi syariah di Indonesia tentu harus didukung dengan fasilitas yang siap. Tentu, dalam hal ini, perbankan syariah harus tampil sebagai pendukung terdepan demi suksesnya gerakan ekonomi syariah ini, hingga apa yang sudah dicanangkan oleh Presiden SBY tidak berhenti pada sekedar ceremony semata. Persoalan yang perlu kita pikirkan bersama adalah; bagaimana kinerja perbankan syariah di Indonesia?

Kita akan dengan mudah melihat berbagai jenis Bank Syariah di Indonesia. Dimulai dari munculnya Bank Muamalat, yang kemudian diikuti munculnya berbagai bank Syariah yang berafiliasi ke bank konvensional seperti bank BNI Syariah, BCA Syariah, Syariah Mandiri, dan berbagai Bank-bank syariah lainnya. Tentu kita juga harus menyebutkan berbagai jenis Baitulmaal yang ada ditengah-tengan masyarakat.

Sejauh mana kontribusi kesemua bank syariah dalam pelaksanaan sistem ekonomi syariah? Apakah mereka sudah membuat sebuah gerakan yang memiliki efek signifikan untuk perkembangan perekonomian syariah? Atau justru hanya sekedar memanfaatkan “angin” perekonomian syariah yang sedang menjadi preferensi banyak masyarakat?

Bagi Hasil

Konsep sederhana dalam ekonomi syariah adalah ditiadakannya riba, yaitu pengambilan berbagai jenis bunga yang bisa memberatkan salah satu pihak yang terlibat dalam transaksi tersebut. Dalam konsep ekonomi syariah, ada beberapa jenis konsep kerjasama yang bisa kita ketengahkan. Untuk menyebut dua, ada yang disebut dengan Mudharobah, dan ada yang dinamakan dengan Murabahah.

Murabahah adalah sebuah akad (perjanjian) antara dua pihak untuk pembelian sesuatu hal yang dana pembeliannya ditanggung oleh salah satu pihak (tentu pihak bank) dan nilai keuntungannya ditentukan di awal berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Sedangkan yang berlaku di dunia usaha adalah Mudharobah yaitu perjanjian antara dua pihak atau lebih yang berlaku sebagai pihak pemilik modal dan pihak yang menerima modal.

Pada prinsip aslinya, Mudharobah memberikan konsep bagi hasil, lagi-lagi harus berdasarkan kesepakatan pihak-pihak yang terlibat dengan presentasi yang bisa sama atau setidaknya hampir sama hingga tidak ada satu pihakpun yang akan merasa diberatkan dengan perjanjian tersebut.

Seperti disinggung diatas, tidak ada riba - atau yang identik dengan bunga, di dalam sistem ekonomi syariah. Dalam konteks ekonomi islam, dikenal istilah nisbah, atau yang oleh kebanyakan orang Indonesia disamakan dengan bagi hasil. Persoalannya, nisbah yang diterapkan di banyak Bank Syariah di Indonesia penerapannya nyaris sama dengan sistem bunga. Mengapa bisa disebut nyaris sama?

Bunga diterapkan berdasarkan SBI sebagai acuan. Tentu, suku bunga tersebut bersifat floating tergantung kondisi perekonomian saat itu. Seperti yang terjadi baru-baru ini, SBI naik hingga 50 basis poin yang berarti semua bunga di bank konvensial akan menyesuaikan dengan SBI terbaru. Artinya, jika Anda memiliki akad kredit dengan bank pada saat SBI sedang rendah, maka bunga kredit Anda akan terpengaruh SBI terbaru itu, alias ikut naik. Dalam perbankan syariah yang ada di Indonesia, nisbah ditentukan di awal. Artinya, sefluktuatif apapun SBI, tidak akan memiliki pengaruh apapun terhadap nisbah kredit nasabah yang akan tetap seperti pada saat perjanjian akad kredit ditandatangani.

Belum Se-Ideal Konsep Ekonomi Syariah Sesungguhnya

Konsep ideal ekonomi syariah adalah meniadakan riba melalui bunga yang tidak pasti (floating) dan menggantinya dengan nisbah yang disepakati di awal. Sistem ekonomi syariah juga membebankan kerugian dari hasil usaha (tentu sepanjang tidak ada pelanggaran dari salah satu pihak, dalam hal ini pihak penerima pinjaman), bukan pada penerima dana, jika pada perjalanannya usaha bersama tersebut mengalami kerugian dan disepakati untuk dianggap merugi.

Sayangnya, di tanah Air, perbankan Syariah baru sebatas menerapkan konsep persepakatan  nisbah di awal akad kredit. Sayangnya (lagi), nisbah yang harus dibayarkan oleh pihak penerima dana terkadang justru lebih besar daripada besar bunga (floating) pada bank konvensional. Jangan kaget jika Anda justru harus membayar nisbah dengan angka yang fantastis, yang secara matematis akan sangat memberatkan Anda, dan tentu sangat melanggar prinsip ekonomi syariah.

“Pelanggaran” prinsip ekonomi syariah tidak hanya sampai disitu. Mengingat aturan untuk “mudarobah” yang cukup rumit dan detail, banyak sales Bank Syariah yang “mensiasati” agar pihak nasabah tetap berhasil mendapatkan dana pinjaman tetapi dengan sistem Murabahah. Artinya, kredit usaha yang seharusnya dialirkan dengan prinsip mudharobah, justru dialihkan ke sistem Murabahah. Pengusaha dianggap meminjam uang untuk membeli sesuatu, dalam hal ini aset yang diagunkan, dan pihak Bank Syariah sebagai pihak yang memberikan talangan. Artinya, secara hukum, pihak Bank Syariah memang berhak mengutip keuntungan di awal berdasarkan kesepakatan bersama.

Pada prakteknya, kondisi usaha yang belum tentu sukses membuat banyak pengusaha kerepotan dan keberatan dengan kondisi ini. Penetapan keuntungan di awal yang cukup besar, meski bisa dicicil selama masa peminjaman, tetap saja menjadi beban usaha yang sangat memberatkan dan berpotensi menjadi kredit macet.

Mengembalikan Ekonomi Syariah seperti Seharusnya

Kekacauan yang timbul diatas, menurut penulis – berdasarkan pengamatan pribadi, serta pengalaman sebagai nasabah, ditimbulkan karena sifat kebanyakan Bank Syariah yang masih merupakan anak usaha dari Bank Konvensional. Artinya, sumber dana yang dimiliki tentu berasal dari Bank Konvensional tersebut. Lebih jauh lagi, bisa diartikan bahwa ada tuntutan dari manajemen Bank Konvensional pada Manajemen Bank Syariah (anak usahanya) untuk bisa bergerak sebagai unit bisnis yang menguntungkan.

Dengan situasi ini, tidak bisa disalahkan ketika setiap Bank Syariah yang ada akhirnya bak Bank Konvensional yang berganti baju dan memodifikasi cara pengambilan keuntungannya, dari mengambil bunga menjadi mengutip nisbah berdasar kesepakatan. Hal yang sama juga terjadi pada Baitulmaal. Kita tidak tahu darimana Baitulmaal tersebut mendapatkan suntikan dana. Mungkin, sang pemilik, atau yayasan penyandang dananya mendapatkan dana modal dari pinjaman ke bank konvensional. Mungkin tidak seluruhnya, tetapi boleh jadi sebagian dari modal yang mereka punyai adalah hasil pinjaman, yang konsekuensinya tentu mengharuskan mereka mengembalikan dengan tingkat bunga tertentu.

Jika kondisi ini berlanjut, maka pencanangan Gerakan Ekonomi Syariah yang dilakukan oleh Presiden SBY tidak akan membawa imbas positif apapun pada sektor usaha di Indonesia. Yang ada justru makin banyak pengusaha yang terpuruk karena himpitan utang, hasil dari pinjaman yang gagal dibayarkan.

Untuk itu, perlu dipikirkan sebuah mekanisme besar untuk mendukung Gerakan Ekonomi Syariah, hingga apa yang dicanangkan bisa memberi dampak positif yang signifikan pada sektor usaha di tanah air, khususnya sektor mikro dan kecil. Dengan mengembalikan ekonomi syariah ke konsep asli, maka pengusaha, terutama mikro dan kecil akan memiliki kesempatan mendapatkan pinjaman modal usaha ataupun modal pengembangan usaha yang sangat lunak. Pengawasan ketat dan jujur perlu dilakukan untuk memastikan bahwa pelaku usaha sebagai pihak peminjam dana benar-benar menjalankan “amanah” dengan cara sesuai dengan yang dicantumkan di perjanjian. Lebih jauh lagi, Pemerintah sebagai pemegang keputusan tertinggi, serta BI perlu memikirkan mekanisme sumber permodalan bagi Bank Syariah, hingga Bank Syariah di Indonesia tak sekedar diperlakukan sebagai unit bisnis oleh bank konvensional, memanfaatkan euforia masyarakat pada ekonomi syariah.

Di sisi lain, prinsip kejujuran perlu menjadi perhatian penting, baik dari sisi Bank Syariah sebagai pemegang modal, dan dari sisi pengusaha sebagai peminjam. Hal ini diperlukan hingga tidak ada lagi pengalihan “Asas Mudharobah menjadi Murabahah” semata-mata untuk memenuhi target closing (dari sisi marketing bank) dan memenuhi kebutuhan mendapatkan dana segar (dari sisi pengusaha).

Dengan itu, Gerakan Ekonomi Syariah (Gres!) bukan berhenti pada slogan dan seremony belaka, tetapi mampu memberi kontribusi positif yang signifikan pada sektor wirausaha secara khusus, dan pada perekonomian Indonesia pada umumnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun