Mohon tunggu...
Nur Alfyfadhilah Rusydi
Nur Alfyfadhilah Rusydi Mohon Tunggu... Guru - Mami Guru

Seorang ibu rumah tangga sekaligus ibu guru yang senang menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ibu Bapakku Tak Tahu "Ini Budi"

10 Desember 2020   13:40 Diperbarui: 10 Desember 2020   14:44 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
twitter.com/lecho_perche

Pandemi tak hanya memengaruhi kesehatan, tapi ternyata memunculkan berbagai macam polemik. Hal yang selama ini tidak begitu menjadi perhatian dapat menjadi sebuah masalah yang menarik timbulnya masalah baru. Di masa pasa pandemi, jangankan berbicara mengenai masalah besar. Gesekan kecilpun bisa menjadi sebuah hal yang sensitif. Misalnya kalimat "guru enak, tidak mengajar tetap digaji."Atau pertanyaan orang tua siswa "Bu guru, kapan anak-anak sekolah kembali? Selama di rumah terus, anak-anak kebanyakan bikin saya ngomel-ngomel!" Keluhan ini lantas memicu tanggapan guru "Itu baru satu atau dua anak. Bagaimana saya dengan puluhan anak yang bapak ibunya berbeda?"

Celotehan-celotehan saling melempar serangan tidak akan memberikan solusi apa pun. Anak adalah satu individu yang membutuhkan manusia dewasa dalam proses pendidikannya. Bukan hanya guru, tri pusat pendidikan menjadi sebuah ikatan yang harus saling menguatkan dalam proses pendidikan yaitu masyarakat, guru dan orang tua. Proses pembelajaran jarak jauh semestinya menjadi ruang refleksi para orang tua bahwa sejatinya pendidikan saat ini kembali ke tempat dia mulai tumbuh yakni di dalam lingkungan keluarga. Keluarga-keluarga yang bertumbuh dengan iklim pendidikan yang kondusif bagi anak, akan memunculkan masyarakat-masyarakat yang terdidik.

Pandemi sebenarnya mengajak para orang tua untuk sejenak memindahkan taman-taman siswa (merujuk Ki Hajar Dewantara) ke halaman rumah masing-masing. Lantas apa yang harus dilakukan para orang tua? Saya mengutip satu dialog dalam sebuah film kontroversial yang pernah saya tonton "mengandung, melahirkan hanya sekali tapi menjadi orang tua adalah tugas seumur hidup." Jika guru yang baik adalah guru yang mau terus belajar, begitu pun dengan orang tua. Memang tidak ada sekolah untuk menjadi orang tua, seperti halnya menjadi guru yang perlu melewati beberapa jenjang dalam pendidikan formal untuk menjadi seorang guru. Tapi, menjadi orang tua bukanlah sebuah profesi melainkan pilihan. Ketika pasangan sudah memutuskan untuk menikah, hendaknya sejak saat itu pula dia harus mempersiapkan mentalnya untuk belajar seumur hidup, bukan untuk memperoleh ijazah melainkan untuk mencetak generasi-generasi yang bermanfaat.

Persoalan belajar seumur hidup saat ini yakni era 4.0 di zaman generasi Z hidup, berhadapan pula pada kondisi pendidikan yang masih sementara berkembang dari pendidikan 1.0, 2.0 hingga 3.0. Hal ini bukan perkara mudah jika kita tidak memiliki dasar pendidikan yang cukup sebagai orang tua. Masa depan bangsa terletak di tangan para generasi, pertanyaannnya generasi seperti apa yang akan hadir di masa depan jika orang tua tak membekali diri? Pernahkah kita memikirkan ada berapa banyak orang tua yang benar-benar mampu menuntun anaknya di lingkungan keluarga? Guru harus di bekali keterampilan dasar mengajar untuk mendidik banyak siswa yang notebene bukan anaknya. Sementara orang tua, tak menelaah keterampilan dasar mengajar pun semestinya memiliki naluri dan intuisi dalam mendidik anaknya

Situasi saat ini memaksa para orang tua untuk menjadi guru dadakan, beberapa sekolah di kota-kota mungkin menganggap bukan hal yang begitu sulit, dengan kualitas guru dan kondisi orang tua siswa yang cukup mendukung. Tapi, pernahkah kita menengok lebih jauh mengenai realita pendidikan Indonesia di tengah pandemi, terlebih lagi bagi sekolah-sekolah yang ada di daerah terpencil. Ini bukan persoalan mampu tidaknya belajar secara online tapi mampukah orang tua mendampingi anaknya selama pembelajaran dari rumah. Ada berapa banyak pasangan yang di masa mudanya mengalami putus sekolah lantas menjadi orang tua? Jika kakek kita juga dahulunya bukan orang yang mengenyam bangku pendidikan, tentunya itu tidak dapat disamakan dengan orang tua zaman sekarang karena kondisinya jelas berbeda. Orang tua zaman dulu menghadapi generasi 60-an hingga 90-an. Sekarang, semua berputar begitu cepat. Apakah orang tua yang tak mengenal "i-n-i b-u-d-i" bisa mendampingi anaknya yang sedang belajar mengejar kehidupan di revolusi 4.0. Apa yang harus dilakukan guru untuk menjelaskan materi literasi kepada para orang tua jika huruf a, b, c dan teman-temannya tak bisa mereka rangkai? Akankah teknologi yang tak memiliki naluri sebagai orangtua menggantikan mereka?

Laju percepatan teknologi semakin tak terbendung, namun tak sebanding dengan kesiapan orang tua di sekolah-sekolah yang terletak di sudut-sudut Indonesia. Jika tak bisa tatap muka di sekolah, lantas apa yang harus mereka lakukan untuk mendampingi anaknya? Siswa sekolah dasar misalnya, di awal kelas rendah setidaknya mereka harus menguasai dasar literasi dan numerasi yaitu membaca dan mengenal angka. Teringat semasa duduk di bangku sekolah dasar, guru mengajarkan kita membaca dengan teks yang sangat familiar "I-ni Bu-di, I-ni i-bu Bu-di". Lantas bagaimana dengan siswa yang ibu bapaknya tak tahu ini budi? Apakah mereka mampu untuk jauh lebih dalam mengenali Budi dan keluarganya di kelas yang lebih tinggi?

Setidaknya untuk menghadapi kondisi seperti ini, bukan hanya siswa yang perlu mendapatkan perhatian melainkan kesiapan untuk menjadi orang tua. Tentunya kita menyepakati bahwa pendidikan adalah hal yang sangat penting untuk kemajuan bangsa. Hal ini bukan berarti orang tua harus dituntut untuk memiliki pendidikan yang tinggi tapi setidaknya ada regulasi khusus atau perhatian dari pemerintah dan kerjasama berbagai pihak dalam menyikapi persoalan ini. Bukan cuma persoalan mengetahui "I-n-I B-u-d-i" tapi pemahaman sebelum menjadi orang tua bahwa modalitas masa depan saat ini terletak pada pendidikan anaknya, setidaknya menaruh harapan bahwa mereka memiliki kesadaran akan pentingnya pendidikan dan dukungan mereka pada pendidikan anaknya.*

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun