Ia tak pernah mendengar firman Tuhan selain, "makan dan minumlah seperti penjarah merangsek rumah dan memenuhi kantongnya dengan cepat, ia masukan kedalam kantongnya baik atau buruk, permata atau kacang tiada bedanya".Â
Sungguh disayangkan, kalau sampai kita semua hidup dalam kepoyangan! Lhia masih berpikir panjang, dia masih berpikir keras mengenai persoalan itu. Perlahan satu persatu pertanyaan mulai menghujani pikiran Lhia.
Jika pendidikan kita rumus untuk merefitalisasi moralitas para para pembelajar, kenapa moralitas para pembelajar mengalami degradasi? Kenapa para guru hanya mengejar kemampuan siswa dan menyepelehkan kecintaan siswa terhadap ilmu pengetahuan?
Mengapa bangku pendidikan kadang gagal mengantarkan manusia pada sifat humanisnya? Â Kenapa semakin banyak gelar seseorang semakin membuat dia hidup dalam kepoyangan dan tunduk pada dunia?
Juga disekolah, mengapa seseorang anak banyak di sogokkan dengan materi atau kongnitif ketimbang berapa keteramilan lain seperti Afektif, Prikomotor, dan Spritual?
Bukankah yang dilakukan itu menjurus pada khancuran moral dan martabat bangsa?
Padahal dulu Einstein pernah berpesan bahwa "Agama tanpa ilmu pengetahuan adalah pincang, sedang ilmu pengetahuan tanpa agama adalah buta".Â
Jika demikian, tentu tidak menjadi ukuran keberhasilan pendidikan hanya mengandalkan pada prestasi pendidikan yang diraih, kecerdasan pikiran, atau berkuliah ditempat yang mahal sekalipun.
"Keberhasilan pendidikan yang hakiki itu ketika seorang manusia belajar memahami apa yang benar dan mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari"
Lhia berusaha menjawab berbagai pertanyaan yang menghujani pikirannya itu. Lhia sangat tertarik dengan wasiat yang disampaikan "Ibnu Maskawai" bahwa manusia yang paling sempurna kemanusiaannya ialah manusia yang paling benar aktifitas berpikir dan ikhtiarnya, manusia yang paling mampu mewujudkan pria ku, yang membedakan diri dengan binatang.
Lhia ingin pendidikan yang mampu mengeluarkan manusia dari sifat kebinatangan.Â