Squid Game? Yup serial Korea Selatan yang mendunia sejak September 2021 ini sekarang sudah merilis dua sesion. Serial ini bukan hanya sebuah tontonan mendebarkan tetapi juga cerminan mendalam tentang budaya, kekuasaan, dan ketimpangan kelas sosial. Dengan narasi yang mencekam dan permainan anak-anak yang menjadi ajang bertahan hidup, Squid Game berhasil membahas isu-isu sosial yang relevan secara global.
Siapa yang sudah nonton serialBudaya dalam Squid Game
Serial ini memanfaatkan permainan tradisional Korea Selatan sebagai inti ceritanya. Permainan seperti "Lampu Merah, Lampu Hijau" (Red Light, Green Light), "Ggabang" (lipatan kertas), dan permainan cumi-cumi (squid game) menghidupkan kembali nostalgia masa kecil masyarakat Korea. Namun, ironi muncul ketika permainan yang seharusnya menyenangkan berubah menjadi ajang mematikan.
Budaya Korea Selatan juga tercermin melalui karakter-karakter yang mencerminkan stereotip dan fenomena sosial khas Korea. Gi-hun, tokoh utama, adalah representasi dari masyarakat kelas bawah yang terjebak dalam utang akibat tekanan ekonomi. Karakter Sae-byeok menggambarkan perjuangan pembelot Korea Utara untuk bertahan hidup di lingkungan yang diskriminatif. Kehadiran karakter Ali, seorang pekerja migran dari Pakistan, memberikan perspektif tentang pengalaman minoritas di Korea Selatan.
Melalui elemen-elemen ini, Squid Game tidak hanya memperkenalkan budaya lokal tetapi juga menyoroti ketegangan sosial yang dihadapi masyarakat Korea kontemporer.
Kekuasaan yang Tidak Berimbang
Kekuasaan menjadi tema sentral dalam Squid Game. Para pemain, yang semuanya terjebak dalam krisis ekonomi, dijadikan alat hiburan oleh kaum elit kaya yang menyelenggarakan permainan. Ketimpangan kekuasaan ini mencerminkan bagaimana sistem kapitalis sering kali mengeksploitasi kelompok rentan demi keuntungan segelintir pihak.
Para penjaga permainan dengan seragam dan topeng menjadi simbol dehumanisasi, di mana manusia dipandang bukan sebagai individu tetapi hanya sebagai alat. Hierarki dalam permainan juga mencerminkan sistem sosial yang tidak adil. Bahkan di tengah situasi ekstrem, pemain dipaksa untuk bersaing dan menghancurkan satu sama lain demi bertahan hidup.
Kekuasaan para elit dalam Squid Game memperlihatkan bagaimana ketidakadilan sistemik dapat mempermainkan kehidupan individu, sekaligus mempertanyakan sejauh mana manusia bersedia mengorbankan nilai-nilai moral demi bertahan hidup.
Kritik Terhadap Ketimpangan Kelas Sosial
Isu kelas sosial menjadi inti dari narasi Squid Game. Para peserta permainan berasal dari berbagai latar belakang, tetapi semuanya memiliki satu kesamaan: mereka adalah korban sistem yang tidak adil.
Ketimpangan ekonomi terlihat dari karakter-karakter seperti Gi-hun, yang terlilit utang akibat gagal bisnis, dan Sang-woo, seorang mantan eksekutif yang terlibat dalam skandal keuangan, mencerminkan tekanan ekonomi di Korea Selatan. Tingkat utang rumah tangga yang tinggi dan kompetisi yang sengit untuk mencapai kesuksesan menjadi kritik utama dalam serial ini.
Belum lagi eksploitasi kaum marginal yang tergambarkan olek kehadiran Ali. Sangat menunjukkan bagaimana pekerja migran sering kali dieksploitasi dalam masyarakat kapitalis. Ali, meskipun pekerja keras dan setia, harus menghadapi diskriminasi dan pengkhianatan dalam perjuangannya untuk bertahan hidup.
Permainan yang dilakukan dalam Squid Game menjadi metafora tentang bagaimana kapitalisme memaksa individu untuk saling bersaing. Dalam permainan seperti tug of war (tarik tambang) dan permainan marmer, solidaritas hancur oleh hasrat bertahan hidup. Ini mencerminkan bagaimana masyarakat modern sering kali terpecah akibat tekanan ekonomi dan sosial.
Squid Game lebih dari sekadar serial thriller, ini adalah kritik tajam terhadap ketidakadilan sosial, kekuasaan yang korup, dan budaya kompetisi yang merusak. Dengan menggunakan elemen budaya Korea dan menggambarkan dinamika kelas sosial yang tidak adil, serial ini berhasil menyentuh isu-isu universal yang relevan di berbagai negara.
Pada akhirnya, Squid Game mengajukan pertanyaan penting: apakah kita sebagai masyarakat dapat keluar dari lingkaran ketidakadilan, ataukah kita akan terus terjebak dalam sistem yang mendorong persaingan dan pengorbanan nilai-nilai moral? Jawaban atas pertanyaan ini mungkin terletak pada bagaimana kita memahami dan mengubah sistem yang ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H