Mohon tunggu...
Alfridho Yuliananda
Alfridho Yuliananda Mohon Tunggu... mahasiswa -

That I know is that I dont know everything. But, Sceptic is me. alfridhoyuliananda.blogspot.com @alfridho12 Alfridho Yuliananda (fb)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sampai Kapan Jadi Penonton Pasif?

2 Juli 2015   02:33 Diperbarui: 2 Juli 2015   02:33 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Di antara berbagai media massa, kini televisi memainkan peran yang terbesar dalam menyajikan informasi bagi masyarakat. Televisi bukan hanya sarana media semata, tetapi telah menjadi sebagai sarana sosial, budaya, ekonomi maupun politik.Pantas saja, televisi dikatakan memiliki pengaruh besar (powerful) dibanding media lain. Sebuah survei menyebutkan rata-rata masyarakat Indonesia menonton televisi kurang lebih 3 hingga 5 jam perhari. Ini untuk semua kategori umur. Namun khusus anak-anak di bawah 10 tahun, rata-rata mereka menghabiskan waktu di depan televisi lebih dari empat jam.

Di Amerika,  anak-anak menggunakan waktunya untuk menonton televisi berkisar 4 jam dalam sehari. Tak heran, televisi selalu ada di dalam kehidupan manusia sehari-hari. Kehadirannya bisa ditemui dalam ruang kelurga, ruang kerja,  dan bahkan di ruang privat atau kamar tidur, yang disaksikan oleh mungkin tidak saja para orang tua, dan dewasa, tetapi juga anak-anak. Hal tersebut membuktikan bahwa televisi menjadi salah satu kebutuhan yang diperlukan banyak orang untuk memperoleh berbagai informasi.

Televisi yang merupakan salah satu bentuk media massa elektronik tentu memiliki fungsi awal yang baik seperti media massa yang lain. Namun saat ini banyak tontonan yang ditayangkan tidak memenuhi fungsinya sebagai sarana pendidikan, informasi, dan pengembangan mental yang baik. Tayangannya pun hampir 80% bersifat hiburan. Hal itu terlihat ketika kita melihat tayangan-tayangan seperti tayangan komedi yang mem-bully, cinta-cintaan, kekerasan, dan syarat pornografi juga mistik.

Kreatifitas para pekerja industri media dipertanyakan, apakah mereka hanya mampu membuat program-program seperti itu? Apakah mereka rela membodohi para penontonnya dengan terus mencekoki mereka untuk menonton tayangan-tayangan tersebut? Apakah mereka tidak berfikir bagaimana jika anaknya yang menonton tayangan-tayangan yang tidak baik tersebut? Atau mereka terlalu mementingkan rating untuk meraih keuntungan yang sebanyak-banyaknya? Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang harus mereka jawab dengan pemikiran kreatifnya jika mereka mengaku bekerja di industri kreatif.

Di Indonesia, tidak sedikit pekerja kreatif industri media yang berkecimpung didalamnya, namun hingga saat ini belum ada lagi program-program atau tayangan-tayangan yang mampu memberikan dampak positif yang signifikan di bidang pendidikan kita. Kalaupun ada program atau tayangan televisi yang sifatnya mendidik seperti program-program di Tve, jarang sekali yang menonton, bukan hanya itu, bahkan akses untuk menonton tayangan tersebut saja terbatas karena channelnya tidak berbentuk PT yang artinya masih harus menumpang pada channel TV lain. Ini bukti tidak adanya dukungan pemerintah untuk membantu menumbuh kembangkan tayangan-tayangan yang bersifat mendidik tersebut untuk dapat dengan mudah diakses atau ditonton seperti mudahnya menonton sinetron cinta.

Memang penonton sekarang ini lebih cerdas, sehingga mereka tahu mana tayangan amoral dan mana tayangan mendidik. Namun, terasa percuma jika program-program di hampir semua media menayangkan genre yang sama yang tidak mendidik. Penonton kita pun akan kesulitan untuk mendapatkan tontonan yang bersifat positif dan mendidik, karena terbiasanya kita menonton tayangan-tayangan tersebut sejak lama yang membuat kita membiarkannya menjamur dan menjadikan kita penonton pasif yang berusaha menutup mata saja atas program-program televisi yang ada.

Dibalik masalah-masalah tersebut, saya fikir ada orang yang sangat memiliki wewenang atas rancangan dan penayangan program-program televisi yang non edukasi tersebut. Dialah pemilik perusahaan dimana program-program dan tayangan-tayangan televisi tersebut beredar. Mungkin inilah akarnya, kalangan kapitalis yang selalu mencari untung besar dalam industri media yang nihil edukasi, yang mementingkan rating untuk menimbun untung yang besar. Dialah yang mungkin membuat para pekerja media lebih mementingkan tanggung jawabnya sebagai karyawan daripada mementingkan tanggung jawabnya sebagai pelayan masyarakat dengan program dan tayangan-tayangan yang diberikan.

Sudah saatnya kita bangun untuk ‘melek’ terhadap situasi yang membahayakan generasi penerus kita. Media sudah kehilangan jati dirinya hanya untuk menguntungkan pemiliknya. Sampai kapan menjadi penonton pasif yang hanya menonton tayangan yang tidak memiliki mutu hanya karna suka melihat ‘anu’? Mari kita adukan setiap tayangan yang tidak memiliki nilai yang baik untuk kita dan keluarga kita terutama anak cucu kita. Jangan tunggu siapa yang mengkordinir, tapi mulai dari sikap-sikap yang peduli untuk mengadukannya ke KPI dari diri sendiri!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun