Mohon tunggu...
Alfredsius Ngese Doja Huller
Alfredsius Ngese Doja Huller Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis adalah salah satu mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang dari Seminari San Giovanni xxiii Malang

Berbagi sembari belajar.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Absurditas Bom Bunuh Diri dalam Mengejar Kebahagiaan Ditinjau dari Logika Aristotelian dan Thomas Aquinas

10 Februari 2022   16:31 Diperbarui: 10 Februari 2022   16:34 1121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Absurditas Bom Bunuh Diri dalam mengejar kebahagiaan ditinjau dari logika Aristotelian dan Thomas Aquinas

Saya memiliki keprihatinan dengan fenomena yang terjadi di negara kita tercinta ini, dengan adanya terorisme dan pelaku bom bunuh diri. Semoga teman-teman mahasiswa atau siapapun yang membaca artikel ini tidak terpapar paham terorisme dan paham yang keliru tentang radikailme yang mengesampingkan sisi kemanusiaan. Saya mencoba menunjukkan mengapa paham tersebut keliru dari sudut pandang filsafat.

Orang yang bijaksana dapat kita katakan sebagai yang berbahagia. Karena orang yang bijaksana dalam hidupnya tidak akan memiliki kekurangan apa pun. Dalam filsafat kebijaksanaan menjadi tema yang sangat menarik, karena filsafat sendiri adalah ilmu yang mengejar kebijaksanaan. 

Seorang filsuf pendiri sekolah filsafat Academia memasang sebuah tulisan di depan pintu gerbang, "know yourself". Hal ini menunjukkan bahwa proyek dalam mengejar kebijaksanaan itu dimulai dari pengenalan diri sendiri.

Apakah orang yang mengenal dirinya sendiri berbahagia? Apakah bahagia berarti sehat dan kuat? ataukah bahagia berarti memiliki istri atau suami idaman? Ataukah bahagia berarti suatu hadiah yang kita terima karena melakukan sesuatu, ganjaran atas aktivitas yang kita lakukan? Dalam konteks pembahasan kali ini apakah bom bunuh diri diyakini mendapat kebahagiaan di surga? 

Filsafat tidak menghantar setiap individu pada definisi bahagia yang melegakan batin. Tetapi menggerakkan segenap akal budi manusia untuk bersikap kritis dan tidak lega dengan apa pun yang dianggap sudah cukup.

Kebahagiaan adalah kerinduan semua orang dan menjadi gol kita dari peziarahan hidup ini. Menurut Aristoteles kebahagiaan bukanlah keadaan fisik atau status jiwa. Ia tidak menunjukkan secara persis disposisi bahagia, karena kebahagiaan bukanlah suatu disposisi. Baginya bahagia adalah identik dengan aktivitas mengejar kebahagiaan itu sendiri.

Logika Aristotelian menegur cara pandang kita yang selama ini kerap kali memandang atau memahami bahwa kebahagiaan adalah sebuah produk, hasil atau ganjaran. 

Maaf, teman-teman pelaku bom bunuh diri saya katakan kurang berpikir luas. Sebab mereka yang melakukan bom bunuh diri, yang melaksanakannya dengan penuh keyakinan bahwa nantinya akan mendapat kebahagiaan di surga. Dalam pemikiran filsafat Aristotelian ini aneh dan absurd. Kebahagiaan tidak dapat disamakan dengan aktivitas melakukan keburukan.

Thomas Aquinas yang merupakan seorang murid Aristoteles mengungkapkan logika Aristoteles dengan baik. ia berpendapat bahwa kebahagiaan identik dengan produk aktivitas virtus (keutamaan) dan bukan kejahatan, haruslah dapat diandaikan aktivitas untuk mengejar virtus adalah aktivitas yang membahagiakan. 

Menurutnya lagi keutamaan bukanlah sebuah capaian melainkan perbuatan berkali-kali dan menjadi sebuah kebiasaan (habitus) pendek kata kebahagiaan dengan kata lain terletak pada aktivitas itu sendiri.

Maksud filsafat Aqunias nampak jelas dalam kehidupan sehari-hari. Ketika kita memberi makan kepada orang yang miskin atau memberi sumbangan kepada orang yang kekurangan tentu dalam hati akan merasa bahagia karena dapat menolong orang-orang kecil dan sederhana ini. 

Namun kebahagiaan ini tidak dapat hanya kita lakukan sekali saja lalu memproduksi kebahagiaan sepanjang hidup. Kebahagiaan adalah aktivitas keutamaan yang harus kita kejar terus-menerus dalam hidup kita. Jika sekali saja kita berhenti untuk tidak melakukan kebaikan kepada orang lain, kita telah kehilangan momen aktivitas yang membahagiakan, artinya kita kehilangan kebahagiaan itu sendiri.

Sumber: Buku Menjadi Mencintai (berfilsafat teologis sehari-hari) oleh Armada Ryanto CM

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun