Mohon tunggu...
Alfredsius Ngese Doja Huller
Alfredsius Ngese Doja Huller Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis adalah salah satu mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang dari Seminari San Giovanni xxiii Malang

Berbagi sembari belajar.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Memahami Hukum Kehidupan (Perubahan) dari Perspektif Filsafat Kosmologi

8 Februari 2022   16:41 Diperbarui: 8 Februari 2022   17:02 665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hidup adalah perubahan dan tidak ada sesuatu pun yang tidak berubah, artinya bahwa semua yang ada di bawah kolong langit ini tunduk pada hukum perubahan. Barang kali argumentasi ini sudah tidak asing lagi ditelinga para pembaca yang budiman. 

Kerap kali para motivator dan orang-orang sukses menyuarakan ini dimana-mana, seolah-olah semua orang harus tahu dan paham sebelum menyesal karena ketidaktahuannya itu. Hidup di dunia ini tidak ada sesuatu hal pun yang patut sangat disayangi seolah-olah menjadi milik selamanya, nyawa manusia sekalipun. 

Apa yang selama ini ada pada diri kita masing-masing merupakan aksiden atau hanya sekedar menempel pada diri ini bukan merupakan eksistensi yang hakiki. Oleh karena itu sudah saatnya di dunia digital yang serba instan ini semua orang sadar akan keberadaannya di dunia. Sebab kerap kali dengan tawaran-tawan duniawi membuat manusia lupa akan hakikat dari keberadaannya. 

Manusia dengan semua potensi yang ada berusaha mencapai kebahagiaan indrawi, yakni kekuasaan, kehormatan, kekayaan, pangkat, barang-barang mewah agar keberadaannya diakui, dimaknai, dihargai, dicintai dan disayangi oleh semua orang. Pada titik ini orang sudah sedikit keliru dalam memandang hidup yang sebenarnya hanya sekedar lewat saja. 

Saudara-saudara saya orang Jawa biasanya mengatakan bahwa "urip iku mampir ngombeh" yang artinya kurang lebih hidup itu hanyalah mampir minum. Sebagai seorang manusia kita harus berani meninggalkan, berani kehilangan dan berani berubah dengan suatu pemahaman hidup yang benar atau memiliki cara pandang yang benar tentang realitas hidup.

Dalam pembahasan kali ini. Saya mencoba menyampaikan sepercik air segar tentang hukum perubahan jika dilihat dari sudut pandang filsafat kosmologi.  Filsafat itu sendiri jika dipahami dari segi isinya tujuannya adalah untuk mengetahui dan menjelaskan keseluruhan ada dan kejadian dalam alam semesta. 

Permenungan filosofisnya hendak mencari prinsip, hakikat dan sebab dari seluruh ada. Sasaran permenungan filsafat adalah kebenaran dan kebijaksanaan. Dalam hal ini penulis mencoba menguraikan suatu prinsip perubahan dari pemikiran filosof.  

Hal ini dimulai dengan pertanyaan mengapa saya ada? Mengapa ada buku? Mengapa ada air? Mengapa kayu bisa lapuk? Mengapa manusia tumbuh dan dapat berkembang? Dan sebagainya.

Menurut para filosof alam Yunani klasik, Plato misalnya ia berpendapat bahwa fenomena tetap dan berubah tidak hanya berkisar pada dunia aktual manusia.  

Apa yang ada di dunia ini, baik manusia, hewan dan semua yang ada di dunia materi dan badani bukan satu-satunya realitas terdapat semesta lain yang merupakan realitas sejati, abadi dan tidak dapat binasa. 

Secara hakiki dunia materi dan badani adalah sementara, fana, oleh karena itu tiada muatan rasional-intelektual atau tidak dapat mengajarkan apa pun pada manusia. sedangkan menurut Aristoteles yang juga merupakan murid dari Plato ia mencoba medeskripsikan perubahan yang berangkat dari peristiwa empiris. 

Menurutnya setiap perubahan secara hakiki ditandai dengan adanya pergantian dua situasi atau entitas yang saling berlawanan misalnya, air dingin menjadi air panas, kayu yang dibakar menjadi abu, manusia lahir lalu meninggal.

Ini merupakan prinsip perubahan dari segala yang ada, dalam pengertian menjadi terminus a quo (titik berangkat) dan terminus ad quem (titik capai-tiba). Lalu kita sebagai manusia titik berangkatnya adalah kelahiran tentunya akan berubah untuk mencapai titik tiba. 

Apakah yang menjadi titik tiba kita sebagai manusia? Itulah yang perlu kita cari dan kita refleksikan setiap hari. Kata Socrates (469 SM-399 SM) dalam pemikiran filosofisnya mengatakan bahwa hidup yang tidak direfleksikan tidak layak untuk dihidupi. Jika kita hanya mengejar kebahagiaan indrawi dan tidak pernah berefleksi tentang kehidupan kita sendiri sebenarnya kita tidak layak untuk hidup.

Hal penting yang patut kita ingat bahwa selama perubahan berlangsung terjadi proses pe-negatifan, penyangkalan atas status lama, tidak lagi berada seperti semula atau privatio. Menurut aristoteles titik berangkat perubahan disebut materia dan prinsip dari titik capai disebut forma. 

Forma ini menggambarkan seluruh eksistensi realitas yang timbul dari perubahan dan sekaligus merupakan hal terpahami dari suatu entitas. Materi dan forma merupakan prinsip bersama ada yang memperlihatkan bahwa hakikat perubahan terletak pada pergantian derajat eksistensial ada. 

Pergantian ini menunjukkan bahwa ada memiliki potensi atau kemampuan untuk berubah. Sebagai manusia pada hakikatnya akan berubah dan tidak tinggal tetap. Kita pun memiliki potensi untuk berubah, lihat saja perkembangan hidup kita sampai saat ini yang awalnya hanya seorang anak kecil kini telah menjadi manusia dewasa yang berbudi, lalu tidak lama lagi uzur dan meninggalkan dunia ini. Menurut Aristoteles bahwa tingkatan ada menggambarkan perubahan di dalam ada itu sendiri. 

Dalam hal ini, ia membagi perubahan ada menjadi dua sudut pandang. Pertama adalah perubahan substansi dan aksidental. Pada prinsipnya perubahan mempunyai kedalaman yang berbeda. Perubahan yang menghasilkan entitas baru disebut perubahan substansi, misalnya dari sperma menjadi manusia, dari kayu menjadi abu, perubahan kombinasi kimiawi. Lalu yang hanya menyebabkan modifikasi pada entitas disebut perubahan aksidental, misalnya perubahan bentuk, warna, pertumbuhan dan penurunan mutu pada makhluk hidup. Manusia misalnya yang dulunya muda lama-lama semakin tua. 

Juga pikiran kita misalnya ketika kita stres atau sedang dalam masalah dalam waktu tertentu perlu disadari bahwa hal tersebut bukanlah realitas otonom. Oleh karena itu manusia perlu tetap tenang sambil berusaha melakukan yang terbaik dalam hidupnya. Kedua, perubahan dalam relasi substansi dengan aksiden, dalam realitas substansi dan aksiden berada dalam satu entitas obyektif.

Dari pembahasan singkat ini saya ingin menyimpulkan bahwa, sebagai manusia yang masih berziarah di semesta ini. Maka ada baiknya terus belajar dan memaknai keberadaan serta tujuan hakiki dari ada kita di dunia ini. 

Di dunia digital dan yang serba instan ini banyak hal yang kerap kali mendorong kita untuk mencapai pada realitas indrawi bukan yang ilahi. Lupa akan prinsip hidup yang melekat pada diri yang fana ini. Bahwa kita semua tanpa memandang suku dan agama semuanya tunduk pada hukum perubahan. Orang-orang kerap kali mempersoalkan sesuatu yang sebenarnya bukan yang harus dipersoalkan. 

Hidup yang singkat ini alangkah indahnya jika diisi dengan saling mengasihi satu sama lain sebagai saudara, indah jika saling toleransi antar suku dan agama yang berbeda. 

Indah jika semuanya hidup berdampingan dan menjunjung tinggi harkat dan martabat sebagaimana hakikat adanya manusia. Sebab semuanya ada dan berubah, muncul lalu sebentar saja lenyap. Hidup ini adalah perubahan dan tidak ada sesuatu yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun