Mohon tunggu...
Alfredo Pance Saragih
Alfredo Pance Saragih Mohon Tunggu... Pembelajar -

"Seseorang yang memilih untuk diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan" Kunjungi blog pribadi saya: https://alfredopance.blogspot.co.id

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Berkaca dari Kasus Tolikara

1 Oktober 2015   12:15 Diperbarui: 6 Juni 2016   02:24 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa waktu lalu, berita mengenai konflik agama kembali mencuat di bumi Nusantara. Dimana, bentroknya jemat Gereja Injil di Indonesia (GIDI) dengan Jemaat Muslim yang sedang melakukan sholat Ied di Lapangan Makoramil 1702-11 Karubaga, Kabupaten Tolikara. Semua media aktif untuk meliput dan mempublikasikannya kepada khalayak umum. Tanggapan dari masyarakat muncul melalui komentar atau opini di media, baik media cetak maupun non cetak. Seluruh masyarakat kita harapkan tidak mudah terprovokasi karena kasus Tolikara.

Selain Kasus Tolikara, ada banyak peristiwa konflik agama yang terjadi di Indonesia. Beberapa konflik itu misalnya Pembakaran 5 Gereja oleh 10.000 massa di Situbondo pada tahun 1996, Amuk Massa di Kupang 30 November 1998 yang bermula dari aksi perkabungan dan aksi solidaritas warga Kristen NTT atas peristiwa Ketapang, Amuk Massa di Mataram Nusa Tenggara Barat, sampai kepada Konflik Poso yang merupakan potret buram hubungan Islam dan Kristen di Indonesia.

Konflik tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya minimnya penghayatan dan pengamalan Pancasila dan UUD 1945 yang mengakibatkan masyarakat kurang menghormati antar agama, timbulnya kesalahpahaman karena kurangnya komunikasi, mengingkatnya konservatisme dan fundamentalisme agama, sampai kepada kehausan akan kekuasaan.

Di sisi lain, pemerintah belum mampu membentuk ruang publik yang memadai sebagai wadah komunikasi berbagai agama. Ke depannya, kita mengharapkan pemerintah lebih mampu sebagai fasilitator dalam upaya terjalinnya komunikasi yang baik antar agama. Tidak cukup hanya dengan seremonial atau perayaan-perayaan semata. Tetapi lebih kepada esensi pemikiran bersama untuk melakukan pembangunan. Terjalinnya komunikasi yang baik antar agama akan semakin mempererat rasa kekeluargaan, terwujudnya saling pengertian, hingga lahirnya identitas bersama (common identity) berupa nasionalisme yang kuat dan integratif.

Terkait belum terinternalisasinya Pancasila dan UUD 1945 di segenap jiwa bangsa Indonesia disimpulkan dengan melihat kondisi kekinian, Pancasila yang seharusnya menjadi ideologi atau pandangan hidup segenap bangsa Indonesia namun kenyataannya hanya menjadi simbol yang harus dihafalkan mulai Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi. Jika diminta untuk menyebutkan kelima sila Pancasila, mungkin semua kita dapat hapal, mulai dari SD kita sampai ke tingkat dewasa. Tapi jika menilik realisasinya, sangat minim. Seharusnya, Pancasila harus mampu menjadi jiwa diri setiap warga negara Indonesia. Jika tidak, maka kita akan tetap jauh dari cita-cita yang dimuat dalam UUD 1945.

 

 

Bhineka Tunggal Ika

Sebagai pemersatu bangsa yang plural, Indonesia memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika, yang artinya walaupun berbeda-beda tetap satu juga. Suku Jawa, Sunda, Batak, Melayu, dan semua suku lainnya yang berada di wilayah Indonesia adalah satu. Agama Islam, Agama Katolik, Agama Kristen, Agama Hindu, Agama Buddha dan agama lainnya adalah satu. Kita semua adalah satu. Satu dalam nasib dan cita-cita.

Tahun 1945, Bung Hatta ragu untuk bisa menyatukan Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau dengan identitas kedaerahan masing-masing. Namun, Bung Karno dengan begitu optimis, mengatakan bahwa “Satu-satunya hal yang mampu mempersatukan kita adalah nasib. Nasib sama-sama bangsa terjajah, kita semua senasib seperjuangan dalam membebaskan bangsa dari penjajahan bangsa asing”. Hingga akhirnya Bung Hatta menerima pendapat Bung Karno.

Menjelang usia yang ke-70, Indonesia masih penuh dengan kasus-kasus yang berbau SARA. Hal ini ditimbulkan dari adanya fanatisme suatu pihak tertentu yang merugikan pihak lain. Sehingga timbul pergesekan yang dapat merugikan kedua pihak. Kerugian kedua pihak tersebut adalah kerugian Indonesia sendiri. Di samping itu, masih banyak masyarakat cenderung ke sifat-sifat primordialisme. Dimana saja watak primordialisme akan memunculkan gap pemisah antara satu dengan lainnya.

            Menjaga Kerukunan Antar Umat Beragama

           Ke depannya kita harus lebih berupaya menjunjung tinggi toleransi antar umat beragama di Indonesia. Baik yang merupakan pemeluk agama yang sama maupun yang berbeda agama. Selain sikap toleransi, antar umat beragama harus siap untuk saling membantu dalam keadaan apapun tanpa harus melihat status orang tersebut. Dialog antar umat beragama juga tidak kalah penting sebagai upaya menciptakan kerukunan. Dialog yang rutin akan semakin mempererat persaudaraan antar umat beragama.

            Dengan semangat, penulis mengajak kita semua untuk melihat perbedaan sebagai kekuatan yang indah, bukan sebagai jurang pemisah. Karena tidak selamanya persamaan membawa kebaikan. Salam.

Oleh ALFREDO PANCE SARAGIH, Penulis adalah Ketua Presidium PMKRI Pematangsiantar-Simalungun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun