Pernahkah Anda menanyakan pendapat seorang wisatawan asing tentang bagaimana sikap orang Indonesia? Satu kata yang sering muncul dalam benak turis asing tentang orang Indonesia, friendly. Ya, keramahtamahan masyarakat Indonesia nampaknya telah menjadi suatu hal positif yang cukup membanggakan di mata kebanyakan “orang bule”.
Secara etimologis, kata ramah berasal dari kata friendly dalam bahasa Inggris. Menurut jenis katanya, jelas friendly menunjukkan sifat, karena mendapatkan akhiran -ly. Jika akhiran itu digabung dengan kata friend, maka friendly dapat dimaknai secara harafiah, dengan teman. Merujuk pada kata teman, ramah dapat didefinisikan sebagai suatu sikap yang mudah berteman. Secara umum, memang pengertian kata ini bernilai positif. Namun, faktanya, ada sejumlah pihak menyalahgunakan arti kata ramah menjadi berkonotasi negatif. Kenyataan inilah yang kini menyeruak di berbagai lembaga penyelenggara negara, seperti POLRI dan Dirjen Pajak dengan kehadiran para markus.
Bahayanya “friendly”
Menyoal kasus Gayus Tambunan dkk., dapat dikatakan bahwa latar belakang timbulnya kasus ini adalah suatu keramahtamahan yang menyimpang. Persoalan suap-menyuap menjadi permulaan, kemudian diikuti perasaan sang penerima suap baik sebagai homo economicus yang selalu haus dan tak pernah puas akan uang untuk pemenuhan kebutuhan hidup yang tidak terbatas maupun sebagai teman yang ingin menunjukkan solidaritasnya. Uang seolah menjadi sarana yang mere[resentasikan sikap keramahtamahan itu. Rangkaian proses itu pun berujung pada terjadinya nepotisme (karena perasaan) dan korupsi (karena penyalahgunaan uang). Alhasil, terjadilah simbiosis mutualisme antarpelaku, dan - yang paling disayangkan - simbiosis parasitisme antara pelaku dengan rakyat Indonesia.
Seluruh rakyat Indonesia tentunya mengecam perilaku Gayus. Perkara nepotisme dan korupsi yang memang bukan perkara baru dalam dunia politik tanah air seakan-akan menjadi aplikasi budaya “friendly”. Tak dapat dipungkiri lagi, kasus Gayus dkk. turut mendukung nama Indonesia untuk menduduki peringkat pertama dalam tingkat korupsi di seantero Asia. Sungguh ironis.
Bicara soal dampak, bukan hanya uang rakyat saja yang menjadi korban. Dalam jangka panjang, bukan tidak mungkin terjadinya kembali krisis kepercayaan terhadap lembaga-lembaga negara tersebut. Rakyat Indonesia era reformasi merupakan rakyat yang kritis. Dengan kekritisan itu, banyak orang mulai menanyakan eksistensi dan kekuatan POLRI sebagai pengayom masyarakat serta Dirjen Pajak sebagai pengelola sumber pemasukkan negara(pajak).
Kalau pada pemilu 2009 lalu, banyak pihak mengelu-elukan SBY-Boediono untuk memegang tampuk pemerintahan, kini tidak sedikit yang menanyakan janji-janji pemilunya. Jika kekritisan masyarakat tidak ditanggapi dan berbuah hasil, masyarakat pun akan menjadi malas dan tidak peduli untuk menyampaikan aspirasinya. Lebih jauh lagi, bukan mustahil, krisis kepercayaan akan menjelma menjadi apatisme. Sikap apatis ini layak menjadi suatu kekhawatiran utama mengingat keberadaan sikap ini akan mematikan jalannya demokrasi di Indonesia.
Satu bahaya lagi yang mungkin timbul adalah terlupakannya kasus Bank Century. Spekulasi adanya beberapa pihak yang memanfaatkan pers sebagai wadah demokrasi untuk mengalihkan perhatian dengan pengangkatan kasus baru sangat mungkin terjadi. Oleh karena itu, semua kalangan harus tetap bersikap kritis dan cermat dalam rangka penyelesaian berbagai kasus yang terjadi.
Solusi, solusi apa?
Sebagai solusi, suatu frase “reformasi birokrasi” nampaknya muncul sebagai solusi yang paling populer dan terkesan bijak, namun itu (reformasi birokrasi) hanyalah soal jawaban atas pertanyaan pandangan sejumlah pihak mengenai solusi masalah markus ini. Isu reformasi birokrasi telah muncul sejak lama mengacu pada berbagai perkara korupsi. Namun, kenyataannya isu ini tidak lebih hanyalah sebuah retorika.