Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. Editor, penulis dan pengelola Penerbit Bajawa Press. Melayani konsultasi penulisan buku.

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

[horormalamsabtu]: Hujan yang Tak Pernah Usai

31 Januari 2025   22:16 Diperbarui: 31 Januari 2025   22:16 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hujan yang Tak Pernah Usai

Hujan deras kembali turun di Kampung Cibatulang. Aroma tanah basah bercampur lumpur memenuhi udara. Warga menutup pintu rapat-rapat, sebagian menyalakan dupa dan membaca doa dalam gumaman lirih. Mereka tahu, setiap kali hujan turun deras, sesuatu akan datang.

Bencana besar pernah melanda kampung ini satu dekade silam. Hujan deras selama tiga hari menyebabkan banjir dan longsor yang menelan separuh kampung. Rumah-rumah hancur, nyawa melayang, dan hanya sedikit yang selamat. Namun, yang lebih mengerikan bukan hanya bencana itu sendiri, melainkan apa yang terjadi setelahnya.

Malam itu, Ratmi, seorang ibu tua yang masih mengingat kejadian tragis itu, menutup tirai jendelanya dengan tangan gemetar. Ia ingat suara jeritan yang datang dari bukit setiap kali hujan deras mengguyur. Jeritan itu terdengar seperti rintihan orang-orang yang tertimbun longsor bertahun-tahun lalu.

"Mak, suara itu lagi..." bisik cucunya, Sete, yang berdiri di dekat pintu. Mata anak itu membesar ketakutan. Ratmi mengangguk pelan. Ia menarik Sete ke dalam dekapan, berusaha menenangkan bocah itu, meski hatinya sendiri dipenuhi ketakutan.

Di rumah lain, Sarman, seorang pemuda yang baru saja kembali ke kampung setelah bertahun-tahun merantau, memutuskan untuk mencari tahu kebenaran. Ia tidak percaya takhayul yang diceritakan orang-orang. Dengan jas hujan dan senter di tangan, ia berjalan ke arah bukit yang pernah longsor.

Semakin dekat, angin bertiup lebih kencang. Pepohonan berderak, seakan ada sesuatu yang bergerak di antara mereka. Tiba-tiba, terdengar suara tawa samar, bercampur dengan rintik hujan. Sarman berhenti. Cahaya senternya menyapu sekitar. Tidak ada siapa-siapa.

"Siapa di sana?!" serunya.

(olahan GemAIBot, dokpri)
(olahan GemAIBot, dokpri)

Tawa itu berubah menjadi rintihan panjang. Samar-samar, di balik pepohonan, ia melihat sosok-sosok berlumuran lumpur dengan mata kosong menatapnya. Mereka adalah wajah-wajah yang dikenalnya sejak kecil. Wajah-wajah yang seharusnya sudah lama mati.

Sarman terhuyung mundur. Napasnya tersengal. Tubuhnya gemetar saat sosok-sosok itu mulai melangkah mendekat, meninggalkan jejak lumpur yang perlahan menghilang di antara genangan air hujan. Ia berbalik, berlari secepat mungkin menuju kampung. Namun, suara langkah itu tetap mengikutinya.

Ketika sampai di rumah, ia menggedor pintu dengan panik. Ibunya, yang melihat anaknya basah kuyup dengan wajah pucat, segera menariknya masuk. Tapi sebelum pintu tertutup, samar-samar ia mendengar bisikan, "Kami belum selesai..."

Keesokan paginya, hujan berhenti. Kampung tampak seperti biasa, seakan tidak terjadi apa-apa. Tapi Sarman tahu, mereka masih ada di sana, menunggu hujan berikutnya untuk kembali menghantui. Sejak malam itu, ia tak pernah lagi menantang hujan. Karena ia tahu, di Kampung Cibatu, hujan bukan sekadar air yang jatuh dari langit, melainkan pintu bagi mereka yang tak pernah benar-benar pergi.

Beberapa hari kemudian, sebuah fakta mengejutkan terungkap. Ternyata, dana sumbangan bencana yang dikumpulkan setelah longsor besar dulu tidak pernah benar-benar digunakan untuk membangun kembali kampung. Perangkat desa menggelapkan sebagian besar uang itu, meninggalkan korban yang seharusnya mendapatkan bantuan.

Desas-desus mulai menyebar bahwa sosok-sosok yang menghantui kampung adalah arwah mereka yang kehilangan nyawa akibat kelalaian dan keserakahan. Setiap kali hujan turun deras, mereka datang bukan hanya untuk menjerit, tetapi untuk menuntut keadilan yang tidak pernah mereka dapatkan. Warga mulai sadar bahwa hukuman sejati bagi mereka yang telah berkhianat tidak hanya datang dari hukum dunia, tetapi juga dari arwah mereka yang tak tenang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun