Hujan yang Tak Pernah Usai
Hujan deras kembali turun di Kampung Cibatulang. Aroma tanah basah bercampur lumpur memenuhi udara. Warga menutup pintu rapat-rapat, sebagian menyalakan dupa dan membaca doa dalam gumaman lirih. Mereka tahu, setiap kali hujan turun deras, sesuatu akan datang.
Bencana besar pernah melanda kampung ini satu dekade silam. Hujan deras selama tiga hari menyebabkan banjir dan longsor yang menelan separuh kampung. Rumah-rumah hancur, nyawa melayang, dan hanya sedikit yang selamat. Namun, yang lebih mengerikan bukan hanya bencana itu sendiri, melainkan apa yang terjadi setelahnya.
Malam itu, Ratmi, seorang ibu tua yang masih mengingat kejadian tragis itu, menutup tirai jendelanya dengan tangan gemetar. Ia ingat suara jeritan yang datang dari bukit setiap kali hujan deras mengguyur. Jeritan itu terdengar seperti rintihan orang-orang yang tertimbun longsor bertahun-tahun lalu.
"Mak, suara itu lagi..." bisik cucunya, Sete, yang berdiri di dekat pintu. Mata anak itu membesar ketakutan. Ratmi mengangguk pelan. Ia menarik Sete ke dalam dekapan, berusaha menenangkan bocah itu, meski hatinya sendiri dipenuhi ketakutan.
Di rumah lain, Sarman, seorang pemuda yang baru saja kembali ke kampung setelah bertahun-tahun merantau, memutuskan untuk mencari tahu kebenaran. Ia tidak percaya takhayul yang diceritakan orang-orang. Dengan jas hujan dan senter di tangan, ia berjalan ke arah bukit yang pernah longsor.
Semakin dekat, angin bertiup lebih kencang. Pepohonan berderak, seakan ada sesuatu yang bergerak di antara mereka. Tiba-tiba, terdengar suara tawa samar, bercampur dengan rintik hujan. Sarman berhenti. Cahaya senternya menyapu sekitar. Tidak ada siapa-siapa.
"Siapa di sana?!" serunya.
Tawa itu berubah menjadi rintihan panjang. Samar-samar, di balik pepohonan, ia melihat sosok-sosok berlumuran lumpur dengan mata kosong menatapnya. Mereka adalah wajah-wajah yang dikenalnya sejak kecil. Wajah-wajah yang seharusnya sudah lama mati.