Kolaborasi Orang Tua dan Sekolah dalam Pendidikan
Pendidikan adalah fondasi utama yang membentuk karakter dan kemampuan generasi muda. Namun, hubungan antara orang tua dan sekolah kerap diwarnai ketegangan, terutama ketika menyangkut penegakan disiplin. Kasus penolakan orang tua terhadap sanksi sekolah, seperti tugas tambahan atau skorsing, seringkali menjadi bukti betapa miskomunikasi dan perbedaan persepsi dapat merusak sinergi yang seharusnya dibangun demi kebaikan anak.
Sebuah Nostalgia Kecil
Tulisan ini mengajak kita merefleksikan pengalaman pendidikan yang keras yang kami alami di tahun 1980-an dengan dewasa ini. Saat di kampung di selatan kaki Gunung Inerie, Kabupaten Ngada, Flores mendapat kebasan rotan di betis dari guru sudah seperti makanan hari-hari. Apalagi kalau yang sering terlambat tiba di sekolah, seringkali rotan dari ranting lamtoro justru yang lecet-lecet alias patah setelah kena betis. Dan tentu memar merah sudah pandangan lumrah. Orang tua tak ada sedikitpun yang protes atau sampai melaporkan ke polisi karena guru melanggar HAM anak.
Hasil yang diperoleh justru kami dapat jauh di kemudian hari ketiga sudah meningglkan kampung halaman. Kedisiplinan dan tanggung jawab dengan sendirinya terbangun seperti ada alarm pecutan yang akan didapatkan kalau kita melanggar. Rasa malu yang bertumbuh mengiringi karakter kegigihan untuk lebih dan lebih lagi untuk berdisiplin diri. Itulah sepenggal nostalgia yang mungkin saat ini menjadi amat mahal karena tidak pernah "dijual" lagi.
Tulisan lebih lanjut tidak akan membahas nostalgia itu melainkan sebuah potret kekinian yang seringkali muncul namun menemui jalan buntu penyelesaian. Karena masing-masing pihak merasa sebagai yang paling pantas untuk mendidik anak. Akhirnya meski tanpa harus memakai genjatan senjata, orang tua menangani karakter anaknya sendiri sedangkan sekolah menangani masalah pengetahuannya.
Menurut hemat saya, fungsi pendidikan menjadi bias di sekolah. Yang adalah fungsi pengajaran, guru sebagai pengajar dan pembagi ilmu pengetahuan, sekalipun kurikulum gonta berganti, esensinya sepertinya sama. Guru sama dengan pengajar. Orang tua sama dengan pendidik. Dikotomi ini polesan saya saja menyaksikan berbagai kasus kekerasan yang menimpa guru akibat terlalu terlibat sebagai pendidik atau pembentuk karakter. [jangan kaget jika Kompasianer menemukan tulisan ini agak sedikit tidak "nyambung" antara bagian nostalgia dan bagian selanjutnya. Ini hanya untuk pemancing memori bagi kita yang sudah berusia di atas setengah abad, kalau-kalau pernah mengalami nasib seperti kami murid di desa yang akrab dengan rotan dan mistar serta kapur tulis yang singgah di dahi]
Komunikasi yang Terputus
Dinamika hubungan orang tua dan sekolah tidak lepas dari tiga masalah utama. Pertama, komunikasi yang terputus. Banyak orang tua merasa "dikalahkan" ketika sekolah memberikan sanksi tanpa penjelasan memadai. Misalnya, seorang anak dihukum karena terlambat, padahal ia membantu ibu yang sakit. Di sisi lain, guru kerap tak punya waktu untuk menggali konteks di balik pelanggaran siswa. Sementara orang tua merasa tidak perlu menyampaikan kendala itu kepada guru.
Kedua, sanksi yang tidak edukatif. Tradisi menghukum ala reward and punishment masih dominan di sekolah Indonesia. Tindakan seperti membersihkan toilet, berdiri di lapangan, atau skorsing mungkin dianggap solusi instan, tetapi justru memicu trauma, rasa malu, atau penurunan motivasi belajar (UNICEF Indonesia, 2020). Bagi anak desa seperti kami hal-hal yang saya ceritakan tidak membuat kami trauma dan malu karena selepas sekolah kami tetap dimanja dan disayang oleh guru seperti anaknya sendiri. Namanya juga anak desa, mendapat perhatian dari guru saja senang, apalagi hanya rotan kecil hehe.
Ketiga, polarisasi peran. Orang tua cenderung menyerahkan tanggung jawab penuh pada sekolah (parenting outsourcing), sementara sekolah merasa berhak mengambil keputusan sepihak. Akibatnya, anak terjebak di antara dua pihak yang saling menyalahkan, bukan bekerja sama. Saya kira poin ketiga ini sudah mulai jarang terjadi dewasa ini.
Sanksi Bukanlah Solusi, Hanya Alarm
Dari masalah ini, kita belajar bahwa sanksi bukanlah solusi, melainkan alarm. Setiap pelanggaran disiplin seharusnya menjadi sinyal untuk mengevaluasi sistem. Contohnya, jika banyak siswa terlambat, mungkin jadwal sekolah terlalu padat atau akses transportasi tak terjangkau. Selain itu, anak adalah cermin lingkungan. Perilaku mereka dipengaruhi dinamika rumah dan sekolah. Siswa yang sering membolos bisa jadi mengalami tekanan akademik atau konflik keluarga. Menyelesaikan masalah ini memerlukan pendekatan holistik (KPAI, 2021).
Regulasi juga menjadi pembelajaran penting. Permendikbud No. 82 Tahun 2015 mengamanatkan sekolah untuk menghindari kekerasan fisik maupun psikis dalam penegakan disiplin. Sayangnya, implementasinya masih lemah. Banyak guru tidak memahami bahwa sanksi harus bersifat mendidik, bukan menghukum. Sosialisasi dan pengawasan yang minim membuat aturan ini seringkali hanya menjadi wacana (Kemdikbud, 2015). Permendikbud ini juga sering dipakai sebagai cela bagi para orang tua untuk mempidanakan guru atau yang lebih sadis, siswa lalu melakukan tindak kekerasan fisik dan verbal kepada guru.
Solusi Kolaboratif
Untuk mengatasi masalah ini, kolaborasi antara orang tua, sekolah, dan pemerintah daerah menjadi kunci. Pertama, membangun komunikasi proaktif. Sekolah perlu membuka forum rutin seperti parenting class untuk mendiskusikan kebijakan disiplin. Guru wajib mengomunikasikan alasan sanksi secara transparan, dilengkapi bukti seperti catatan pelanggaran atau rekaman CCTV. Di sisi lain, orang tua harus menghindari reaksi emosional. Alih-alih langsung protes, tanyakan detail kejadian pada anak dan guru. Ajarkan anak bertanggung jawab atas kesalahan, tetapi juga berani menyampaikan ketidaknyamanannya.
Kedua, mengganti hukuman dengan konsekuensi edukatif. Contohnya, siswa yang terlambat bisa bertugas membantu merapikan perpustakaan sambil belajar manajemen waktu. Siswa yang bertengkar diwajibkan mengikuti mediasi peer counseling dan menulis refleksi dampak perbuatannya. Untuk pelanggaran serius seperti bullying, penanganan harus melibatkan psikolog sekolah dan orang tua.
Ketiga, memperkuat peran Komite Sekolah dan Dinas Pendidikan. Komite harus menjadi jembatan aspirasi orang tua dan kebijakan sekolah. Sementara itu, Dinas Pendidikan perlu membangun sistem pengaduan terintegrasi untuk memantau praktik disiplin, termasuk memberi sanksi pada sekolah yang melanggar prinsip Permendikbud No. 82/2015.
Keempat, pendidikan karakter berbasis keluarga-sekolah. Sekolah bisa mengadakan parenting workshop tentang teknik disiplin positif, sementara orang tua diajak terlibat dalam proyek kolaboratif seperti membuat konten edukasi anti-bullying atau kampanye kebersihan lingkungan (Studi oleh Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, 2020).
Refleksi Akhir
Masalah disiplin sekolah bukanlah pertarungan antara "benar" dan "salah", melainkan ujian bagi orang tua dan sekolah untuk bersama-sama memahami kebutuhan anak. Ketika sanksi diberikan, yang diperlukan bukanlah perlawanan, tetapi dialog untuk menggali akar masalah. Pendidikan yang humanis hanya terwujud jika kedua pihak bersedia keluar dari ego masing-masing, lalu duduk bersama sebagai tim dengan tujuan sama: membentuk anak yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berempati dan bertanggung jawab.
Pendidikan adalah tanggung jawab kolektif. Daripada saling menyudutkan, mari bangun kemitraan yang berorientasi pada pemecahan masalah. Seperti pesan Ki Hajar Dewantara, "Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah." Kolaborasi ini bukan sekadar solusi, tetapi investasi untuk masa depan bangsa yang lebih inklusif dan berdaya saing.
Referensi
Kemdikbud. (2015). Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
https://positivr.fr/un-parent-peut-il-refuser-une-heure-de-colle-donnee-a-son-enfant/
KPAI. (2021). Laporan Pengawasan Penanganan Kekerasan di Sekolah.
Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan. (2020). Studi Efektivitas Kolaborasi Orang Tua-Sekolah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI