Regulasi juga menjadi pembelajaran penting. Permendikbud No. 82 Tahun 2015 mengamanatkan sekolah untuk menghindari kekerasan fisik maupun psikis dalam penegakan disiplin. Sayangnya, implementasinya masih lemah. Banyak guru tidak memahami bahwa sanksi harus bersifat mendidik, bukan menghukum. Sosialisasi dan pengawasan yang minim membuat aturan ini seringkali hanya menjadi wacana (Kemdikbud, 2015). Permendikbud ini juga sering dipakai sebagai cela bagi para orang tua untuk mempidanakan guru atau yang lebih sadis, siswa lalu melakukan tindak kekerasan fisik dan verbal kepada guru.
Solusi Kolaboratif
Untuk mengatasi masalah ini, kolaborasi antara orang tua, sekolah, dan pemerintah daerah menjadi kunci. Pertama, membangun komunikasi proaktif. Sekolah perlu membuka forum rutin seperti parenting class untuk mendiskusikan kebijakan disiplin. Guru wajib mengomunikasikan alasan sanksi secara transparan, dilengkapi bukti seperti catatan pelanggaran atau rekaman CCTV. Di sisi lain, orang tua harus menghindari reaksi emosional. Alih-alih langsung protes, tanyakan detail kejadian pada anak dan guru. Ajarkan anak bertanggung jawab atas kesalahan, tetapi juga berani menyampaikan ketidaknyamanannya.
Kedua, mengganti hukuman dengan konsekuensi edukatif. Contohnya, siswa yang terlambat bisa bertugas membantu merapikan perpustakaan sambil belajar manajemen waktu. Siswa yang bertengkar diwajibkan mengikuti mediasi peer counseling dan menulis refleksi dampak perbuatannya. Untuk pelanggaran serius seperti bullying, penanganan harus melibatkan psikolog sekolah dan orang tua.
Ketiga, memperkuat peran Komite Sekolah dan Dinas Pendidikan. Komite harus menjadi jembatan aspirasi orang tua dan kebijakan sekolah. Sementara itu, Dinas Pendidikan perlu membangun sistem pengaduan terintegrasi untuk memantau praktik disiplin, termasuk memberi sanksi pada sekolah yang melanggar prinsip Permendikbud No. 82/2015.
Keempat, pendidikan karakter berbasis keluarga-sekolah. Sekolah bisa mengadakan parenting workshop tentang teknik disiplin positif, sementara orang tua diajak terlibat dalam proyek kolaboratif seperti membuat konten edukasi anti-bullying atau kampanye kebersihan lingkungan (Studi oleh Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, 2020).
Refleksi Akhir
Masalah disiplin sekolah bukanlah pertarungan antara "benar" dan "salah", melainkan ujian bagi orang tua dan sekolah untuk bersama-sama memahami kebutuhan anak. Ketika sanksi diberikan, yang diperlukan bukanlah perlawanan, tetapi dialog untuk menggali akar masalah. Pendidikan yang humanis hanya terwujud jika kedua pihak bersedia keluar dari ego masing-masing, lalu duduk bersama sebagai tim dengan tujuan sama: membentuk anak yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berempati dan bertanggung jawab.
Pendidikan adalah tanggung jawab kolektif. Daripada saling menyudutkan, mari bangun kemitraan yang berorientasi pada pemecahan masalah. Seperti pesan Ki Hajar Dewantara, "Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah." Kolaborasi ini bukan sekadar solusi, tetapi investasi untuk masa depan bangsa yang lebih inklusif dan berdaya saing.
Referensi
Kemdikbud. (2015). Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
https://positivr.fr/un-parent-peut-il-refuser-une-heure-de-colle-donnee-a-son-enfant/
KPAI. (2021). Laporan Pengawasan Penanganan Kekerasan di Sekolah.
Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan. (2020). Studi Efektivitas Kolaborasi Orang Tua-Sekolah.