Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. Editor, penulis dan pengelola Penerbit Bajawa Press. Melayani konsultasi penulisan buku.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Kolaborasi Orang Tua dan Sekolah dalam Pendidikan

30 Januari 2025   21:30 Diperbarui: 30 Januari 2025   21:05 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: positivr.fr)

Kolaborasi Orang Tua dan Sekolah dalam Pendidikan

Pendidikan adalah fondasi utama yang membentuk karakter dan kemampuan generasi muda. Namun, hubungan antara orang tua dan sekolah kerap diwarnai ketegangan, terutama ketika menyangkut penegakan disiplin. Kasus penolakan orang tua terhadap sanksi sekolah, seperti tugas tambahan atau skorsing, seringkali menjadi bukti betapa miskomunikasi dan perbedaan persepsi dapat merusak sinergi yang seharusnya dibangun demi kebaikan anak.

Sebuah Nostalgia Kecil

Tulisan ini mengajak kita merefleksikan pengalaman pendidikan yang keras yang kami alami di tahun 1980-an dengan dewasa ini. Saat di kampung di selatan kaki Gunung Inerie, Kabupaten Ngada, Flores mendapat kebasan rotan di betis dari guru sudah seperti makanan hari-hari. Apalagi kalau yang sering terlambat tiba di sekolah, seringkali rotan dari ranting lamtoro justru yang lecet-lecet alias patah setelah kena betis. Dan tentu memar merah sudah pandangan lumrah. Orang tua tak ada sedikitpun yang protes atau sampai melaporkan ke polisi karena guru melanggar HAM anak.

Hasil yang diperoleh justru kami dapat jauh di kemudian hari ketiga sudah meningglkan kampung halaman. Kedisiplinan dan tanggung jawab dengan sendirinya terbangun seperti ada alarm pecutan yang akan didapatkan kalau kita melanggar. Rasa malu yang bertumbuh mengiringi karakter kegigihan untuk lebih dan lebih lagi untuk berdisiplin diri. Itulah sepenggal nostalgia yang mungkin saat ini menjadi amat mahal karena tidak pernah "dijual" lagi.

Tulisan lebih lanjut tidak akan membahas nostalgia itu melainkan sebuah potret kekinian yang seringkali muncul namun menemui jalan buntu penyelesaian. Karena masing-masing pihak merasa sebagai yang paling pantas untuk mendidik anak. Akhirnya meski tanpa harus memakai genjatan senjata, orang tua menangani karakter anaknya sendiri sedangkan sekolah menangani masalah pengetahuannya.

Menurut hemat saya, fungsi pendidikan menjadi bias di sekolah. Yang adalah fungsi pengajaran, guru sebagai pengajar dan pembagi ilmu pengetahuan, sekalipun kurikulum gonta berganti, esensinya sepertinya sama. Guru sama dengan pengajar. Orang tua sama dengan pendidik. Dikotomi ini polesan saya saja menyaksikan berbagai kasus kekerasan yang menimpa guru akibat terlalu terlibat sebagai pendidik atau pembentuk karakter. [jangan kaget jika Kompasianer menemukan tulisan ini agak sedikit tidak "nyambung" antara bagian nostalgia dan bagian selanjutnya. Ini hanya untuk pemancing memori bagi kita yang sudah berusia di atas setengah abad, kalau-kalau pernah mengalami nasib seperti kami murid di desa yang akrab dengan rotan dan mistar serta kapur tulis yang singgah di dahi]

Komunikasi yang Terputus

Dinamika hubungan orang tua dan sekolah tidak lepas dari tiga masalah utama. Pertama, komunikasi yang terputus. Banyak orang tua merasa "dikalahkan" ketika sekolah memberikan sanksi tanpa penjelasan memadai. Misalnya, seorang anak dihukum karena terlambat, padahal ia membantu ibu yang sakit. Di sisi lain, guru kerap tak punya waktu untuk menggali konteks di balik pelanggaran siswa. Sementara orang tua merasa tidak perlu menyampaikan kendala itu kepada guru.

Kedua, sanksi yang tidak edukatif. Tradisi menghukum ala reward and punishment masih dominan di sekolah Indonesia. Tindakan seperti membersihkan toilet, berdiri di lapangan, atau skorsing mungkin dianggap solusi instan, tetapi justru memicu trauma, rasa malu, atau penurunan motivasi belajar (UNICEF Indonesia, 2020). Bagi anak desa seperti kami hal-hal yang saya ceritakan tidak membuat kami trauma dan malu karena selepas sekolah kami tetap dimanja dan disayang oleh guru seperti anaknya sendiri. Namanya juga anak desa, mendapat perhatian dari guru saja senang, apalagi hanya rotan kecil hehe.

Ketiga, polarisasi peran. Orang tua cenderung menyerahkan tanggung jawab penuh pada sekolah (parenting outsourcing), sementara sekolah merasa berhak mengambil keputusan sepihak. Akibatnya, anak terjebak di antara dua pihak yang saling menyalahkan, bukan bekerja sama. Saya kira poin ketiga ini sudah mulai jarang terjadi dewasa ini.

Sanksi Bukanlah Solusi, Hanya Alarm

Dari masalah ini, kita belajar bahwa sanksi bukanlah solusi, melainkan alarm. Setiap pelanggaran disiplin seharusnya menjadi sinyal untuk mengevaluasi sistem. Contohnya, jika banyak siswa terlambat, mungkin jadwal sekolah terlalu padat atau akses transportasi tak terjangkau. Selain itu, anak adalah cermin lingkungan. Perilaku mereka dipengaruhi dinamika rumah dan sekolah. Siswa yang sering membolos bisa jadi mengalami tekanan akademik atau konflik keluarga. Menyelesaikan masalah ini memerlukan pendekatan holistik (KPAI, 2021).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun