Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. Editor, penulis dan pengelola Penerbit Bajawa Press. Melayani konsultasi penulisan buku.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memaknai Ritual Tii Ka Pati Inu, Memberi Makan Leluhur

26 Januari 2025   13:25 Diperbarui: 26 Januari 2025   13:25 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi tentang harmoni dengan Tuhan dan alam, foto olahan GemAIBot, dokpri)

Memaknai Ritual Ti'i Ka Pati Inu: Harmoni Tradisi dan Kehidupan Modern

Di tengah perubahan zaman yang semakin mengglobal, keberadaan ritual adat menjadi pengingat akan akar budaya dan identitas suatu masyarakat. Setiap kelompok suku atau daerah memiliki ritual adat yang tertentu yang dirayakan atau dilakukan dengan tujuan tertentu. Salah satu yang masih terus penulis lakukan sampai saat ini adalah ritual TII KA PATI INU. 

Ritual Ti'i Ka Pati Inu, yang berasal dari masyarakat Nage khususnya dan Nagekeo umumnya, adalah salah satu tradisi yang mengandung makna mendalam, menghubungkan manusia dengan Tuhan, leluhur, dan alam semesta.  Berikut saya kutipkan sebuah penjelasan tentang ritual ini dari seorang yang memang paham secara filosofis dan teologisnya, yaitu Bapa Cerilus Bau Engo almarhum.

[Masyarakat Nage khususnya dan masyarakat Nagekeo umumnya mengenal sebuah ritual yang disebut Ti'I ka pati inu. Arti harafiahnya adalah memberi makan dan minum. Namun ritual ini adalah upaya menyampaikan persembahan kepada Tuhan penguasa langit dan bumi dan memberi makan kepada arwah para leluhur yang telah mendahului kita. Ritual ti'I ka pati inu biasanya dilakukan menjelang melakukan sebuah pekerjaan atau upacara adat (tau buku gua). Buat rumah (teka sa'o), kerja kebun (kema uma) dan lain-lain yang melibatkan orang banyak dan membutuhkan anggaran besar. Kegiatan ti'I ka pati inu dilakukan pada malam sebelum kegiatan berlangsung. Dengan rangkaian kegiatan adalah pagi atau siang anak babi dibunuh. Dalam kegiatan ini akan dilakukan juga ritual kela 'ua 'ate/kela 'ate wawi. Untuk itu pada saat membunuh anak babi (wela ana wawi), didahului dengan weca zea (menaburkan beras sedikit demi sedikit) ke tubuh babi yang akan dibunuh diiringi kata-kata:


Zi'a kau 'ua wawi, ta wela tanga tau tei 'ua
'Ua kau ba modhe, zala kau mo'o dega gea
Li'e seko bhia wua deu
Wiwi kau nipi-nipi
Nata kau ma'e haga
"Au lepe kau masa
Keli kau tego nemo/ledhi lewa
Adi kau tepu nemu
Pedhu kau mo'o benu jenu
Zia wau papa kami, e'e wau papa 'ata
Gate goe e'e aba mata wai kau wawi

Setelah dibunuh, sebagaimana biasanya babi dibakar (ngae wawi) dan dibelah untuk dijadikan daging yang siap dimakan (po sae). Untuk kepentingan ti'i ka pati inu, maka dari daging itu, setelah melihat petunjuk Tuhan dan leluhur melalui hati babi (kela 'ua 'ate) maka diambil hatinya (ala ta 'ate), ambil salah satu tulang rusuk (ala ta toko 'asa), ambil dagingnya (ala ta isi), ambil lemaknya (ala ta wozo), ambil sedikit tulang (ala ta toko), dan bagian2 yang diambil ini dimasak tersendiri terpisah dengan masakan daging lainnya (nasu me'a). Kalau sudah masuk dicampur dengan sambal yang diracik dari darah babi (ghao ne'e a) maka siaplah bahan untuk ti'i ka pati ini.
Malam harinya dilakukan ritual ti'i ka pati inu dengan tata caranya adalah sebagai berikut:
1. Semua pemangku adat yang ikut dalam acara ti'I ka pati inu duduk melingkar di tempat ritual biasanya di dalam rumah dekat dengan tempat menaruh persembahan (podhu zeta tolo ghili pu'u dudhe)
2. Makanan persembahan ditaruh sebagai berikut: nasi di tempat tersendiri di piring adat (nika ena kula), daging juga disimpan di piring tersendiri (posa ena kula), moke ditaruh di tempat khusus dari tempurung yang sudah dibuat tempat minum (tua ena he'a) dan air minum ditaruh di tempat minum yang dibuat dari bambu (ae bheka ena tobho). Untuk para peserta ritual setelah makan minum moke dari tempat khusus yang disebut "baso aso"
3. Kemudian bahan persembahan diletakan di tempat yang telah ditentukan (pu'u nebu 'ena pu'u dudhe) diiring doa adat.
4. Sesudah ritual ti'I ka pati inu, para peserta ritual bisa makan dan minum bersama.
5. Setelah makan acara bisa diisi dengan sedikit permbicaraan agar para pemangku adat ikut mejaga dan membimbing anak-anak untuk erkaitan dengan adat dan memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan benda-benda adat sebaagai pu'u ka 'owo inu. Disusun oleh Cyrilus Bau Engo, diambil dari: cylbauengo.blogspot.com]

Bagi kami yang masih percaya adanya ikatan dengan para leluhur, tradisi ini bukan sekadar ritual seremonial, melainkan cerminan filosofi kehidupan yang kaya nilai-nilai sosial, spiritual, psikologis, dan antropologis.

(olahan GemAIBot, dokpri)
(olahan GemAIBot, dokpri)

Penguatan Identitas dan Kebersamaan

Dari perspektif psikologis, ritual Ti'i Ka Pati Inu memiliki fungsi penting dalam menciptakan rasa keterhubungan antarindividu. Saat para pemangku adat dan masyarakat duduk melingkar, menikmati makanan persembahan, dan melantunkan doa-doa adat, tercipta suasana kebersamaan yang mendalam.

Aktivitas kolektif ini menumbuhkan rasa memiliki dan solidaritas. Bagi individu yang jauh dari kampung halaman, melaksanakan ritual ini di perantauan menjadi cara menjaga hubungan dengan leluhur dan tradisi, sehingga mengurangi perasaan keterasingan.

[Dalam arti yang lebih sempit dengan anggaran yang amat minim, ritual ini (semacam sesajen dalam tradisi Jawa dan Bali) saya lakukan di dalam rumah kami ketika kami memiliki intensi atau ujub tertentu. Karena tidak terpisah dari leluhur dan sebagai tanda ikatan kami sering -setiap kali menyembelih ayam kampung yang kami pelihara sendiri- berusaha menyajikan terlebih dahulu sedikit nasi dan hati ayam sambil memohon bantuan doa para leluhur atas ujub atau niat yang sedang kami perjuangkan. Dengan Bahasa daerah yang kadang jatuh bangun, saya berusaha berkomunikasi dengan para leluhur kira-kira demikian bunyinya, "Ya para leluhur yang telah menyiapkan jalan bagi kami dari generasi ke generasi, terimalah persembahan kami yang matang ini sebagai tanda cinta dan terima kasih kami. Kami memohon berkat para leluhur semua untuk memberkati apa yang sedang kami upayakan. Kami beri yang matang, berilah kami yang mentah secara berlimpah ruah. Semoga kalian semua boleh beristirahat dalam damai serta pelukan Penguasa bumi dan langit." Pengalaman penulis]

Proses seperti menyembelih babi, membakar, hingga menyajikan hati dan bagian tubuh lainnya sebagai persembahan juga memiliki dimensi terapeutik. Melalui tindakan simbolis ini, individu diajak untuk melepaskan kekhawatiran dan mencari kedamaian batin. Dalam dunia modern yang serba cepat, ritual ini menawarkan momen refleksi yang langka, membawa kebersatuan yang bersifat tremendum et fascinosum, sesuatu yang tak terlukiskan namun dirasa ada dan dekat. Garis darah kita tak terputus, meski tak bersama secara fisikal.

(ilustrasi perempuan Nagekeo dalam balutan pakaian adat, foto: menit.co.id)
(ilustrasi perempuan Nagekeo dalam balutan pakaian adat, foto: menit.co.id)

Menguatkan Jaringan Sosial

Secara sosiologis, ritual Ti'i Ka Pati Inu adalah medium penguatan jaringan sosial. Keterlibatan banyak pihak, mulai dari penyedia bahan ritual hingga peserta upacara, menunjukkan pentingnya gotong royong dalam budaya Nage dan Keo di kabupaten Nagekeo. Tradisi ini juga menjadi sarana pendidikan informal, di mana para pemangku adat berperan sebagai mentor yang mewariskan nilai-nilai kepada generasi muda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun