Judulnya Aku, Isinya Mereka: Perebutan Spotlight Istana
Dalam ruangan megah di Istana Ambanilanitra, para pembantu presiden berkumpul dalam rapat khusus. Topiknya serius, tetapi penuh drama: menentukan judul autobiografi presiden. Semangat para pembantu begitu menggebu, bahkan lebih besar dari semangat mereka saat mengurus masalah negara.
"Saya punya usul!" kata seorang staf dengan penuh percaya diri. Ia berdiri, menatap rekan-rekannya sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi. "Judulnya: 100 Hari Pertama Sang Penyelamat Negeri dan Tim Hebat. Ini akan menunjukkan bahwa kita semua punya peran penting dalam kesuksesan beliau."
Namun, belum sempat semua orang mengangguk setuju, staf lain langsung menyela. "Mohon maaf, tapi itu kurang personal. Bagaimana kalau: Aku dan 100 Kisah Tak Terlupakan? Lebih menyentuh, dan---yang penting---bisa menonjolkan kontribusi kita masing-masing."Â Ia menyelesaikan kalimatnya dengan senyum kemenangan, yakin usulnya tak bisa ditandingi.
Diskusi mulai memanas. Ada yang setuju, ada yang diam-diam menyusun ide judul yang lebih mencuri perhatian. Seorang staf dengan suara kecil menyarankan, "Dalam 100 Bayangan Presiden: Tim yang Tak Tergantikan." Namun, saran itu tenggelam di antara suara-suara yang lebih lantang.
Salah satu menteri mencoba mengambil kendali. "Kita harus ingat, ini autobiografi presiden, bukan autobiografi kita. Judulnya harus tetap fokus pada beliau." Tapi, upaya bijaksananya justru memancing debat lebih sengit.
"Justru karena ini tentang beliau, kita harus ada di dalamnya! Siapa yang mendukung beliau kalau bukan kita?" ujar staf yang sebelumnya mengusulkan judul pertama.
Sang presiden yang sejak awal hanya tersenyum, akhirnya angkat bicara. Suaranya tenang, tetapi cukup untuk membuat semua orang terdiam. "Kenapa kita tidak langsung saja: Sang Presiden yang Sabar dengan 100 Drama Tim Pembantu? Bukankah itu mencerminkan kebenaran?"
Ruangan langsung hening. Beberapa orang menunduk malu, sementara yang lain tersenyum kecut. Sang presiden melanjutkan, "Kalau terus begini, autobiografi saya bisa jadi dua jilid. Satu untuk kisah saya, satu lagi untuk drama kalian selama 100 hari kerja kita."
Tawa kecil mulai terdengar, dan suasana rapat yang tegang berubah menjadi lebih santai. Akhirnya, keputusan pun diserahkan kembali pada presiden, seperti seharusnya sejak awal.