"Laut kan bukan milik nenek moyang kalian! Pagar itu investasi masa depan!" seru yang lain.
Yang lebih aneh, ada juga akun dengan nama @BambuBersuara yang menuduh nelayan merusak ekosistem laut karena tak mau merawat pagar.
"Aku rasa akun itu dibuat sama bambu-bambu yang nganggur," bisik Pak Surip ke temannya.
Puncaknya terjadi ketika seorang anak kecil, Siti, bertanya polos, "Kenapa pagar laut bikin ayahku jadi nggak bisa cari ikan?"
Entah bagaimana, komentar Siti viral di media sosial. Ada yang mendukung, tapi banyak juga yang mencaci.
"Anak kecil kok ikut-ikutan ngomong politik?" tulis @KipasProyek.
Namun, keajaiban terjadi seminggu kemudian. Tiba-tiba, para bambu mulai bergerak sendiri!
"Cukup sudah! Kami ingin kembali ke gunung atau dijadikan hal lain yang lebih bermanfaat!" teriak si Bambu Tua sambil melompat dari posisinya di laut.
Dalam semalam, semua pagar bambu menghilang. Ternyata mereka berkumpul di balai desa.
"Kami menyerah jadi pagar laut. Silakan jadikan kami apa saja, asal bukan pagar lagi!" ujar si Bambu Kecil sambil meringis.
Warga desa pun setuju. Bambu-bambu itu akhirnya diubah menjadi berbagai kerajinan tangan, tiang bendera, bahkan gazebo di taman. Desa jadi makin ramai turis, dan para nelayan kembali melaut tanpa hambatan.