Manusia dan Alam: Renungan dari Kebakaran California yang Menghancurkan
Kebakaran dahsyat yang melanda California, khususnya kawasan Hollywood Hills, mengguncang hati banyak orang di seluruh dunia. Peristiwa ini bukan hanya menghanguskan bangunan, tetapi juga menyisakan trauma mendalam dan menjadi pengingat akan betapa rentannya manusia di hadapan kekuatan alam.
[Intermezo 1: Tulisan ini sudah saya mulai sore hari ketika berita kebakaran hebat terjadi pada tanggal 8 Januari tapi tidak rampung-rampung karena terus bergesernya fokus perhatian saya. Siang ini, selepas makan siang usai jeda pelatihan menulis untuk para mahasiswa calon imam di Komunitas Sacra Familia Malang, saya kembali duduk menekuni draftnya. Saya alihkan fokus pada ketidakberdayaan manusia di hadapan bencana.
Dari pagi sampai siang, saya bersama para frater sedang fokus "menambang" segala kekayaan diri yang bisa dibagikan kepada orang lain dalam bentuk tulisan. Di awal pertemuan, saya mengajak peserta untuk menuliskan apa yang dirasakan dan apa yang dipikiran (perasaan dan pikiran, emosi dan rasio) dengan memakai tangan yang tidak lazim. Kalau lancar tangan kanan, maka ia menulis dengan tangan kiri, begitu sebaliknya). Lalu digali apa harapan dan target dari pelatihan ini.
Di sela-sela keasyikan "menambang" kekayaan diri, saya teringat bahwa hari ini saya belum menulis untuk Kompasiana. Semoga ini bisa menjadi artikel pertama dan sebelum istirahat malam ada 1 artikel lagi (jika raga memungkinkan, karena semalam dari Yogyakarta dan tiba subuh belum cukup untuk memanjakan diri, langsung tancap dinamika bersama frater.]
Ketidakberdayaan di Tengah Bencana
Mari kita fokus ke tulisan ini. Kebakaran hutan yang melanda California, khususnya kawasan Hollywood Hills, adalah pengingat memilukan akan rapuhnya keberadaan manusia di hadapan kekuatan alam. Peristiwa ini tidak hanya menghancurkan rumah-rumah mewah para selebriti Hollywood, tetapi juga mengancam kehidupan banyak orang yang tinggal di wilayah tersebut. Dalam menghadapi kobaran api yang semakin tak terkendali, meskipun telah dikerahkan teknologi tercanggih dan tim pemadam kebakaran terbaik, manusia tampak kecil dan tak berdaya.
Peristiwa macam ini terjadi di banyak tempat, bahkan mungkin pembaca Kompasiana juga mengalami betapa rapuhnya kita di hadapan alam. Segala kesombongan dan sesumbar kita seperti terlipat di dalam laci brankas. Manusia hanya bisa sombong di hadapan sesamanya, atau yang paling sering sombong di hadapan orang yang paling lemah. Seperti pemerintah begitu digdaya "menghabisi" rakyat dengan menunggangi aturan.
[Intermezo 2: Mari saya ajak terlibat dalam dinamika penulisan setengah hari tadi. Setelah peserta menuliskan kembali segala kekayaan diri: segala luka entah masa lalu (termasuk ketika dalam kandungan ibu) maupun masa kini, ketika mereka mengalami ketakberdayaan sebagai seorang anak manusia, perasaan paling ditolak dan tidak dianggap; juga segala cinta dan berkat yang mereka terima, kebahagiaan, sukacita dan perasaan paling dicintai, saya mengajak peserta untuk meramu-rangkainya menjadi sebuah tulisan (minimal menjadi sebuah antologi yang bisa memberi kekuatan kepada pembaca akan pengalaman mereka sendiri.
Seperti ketakbedayaan orang-orang California dan sekitarnya di Amerika di hadapan api yang membakar segala, para peserta diajak untuk berusaha bangkit dan meniti jalan baru dengan berpijak pada kedua pengalaman yang paling dirasakan di dalam hidup: paling dicintai dan paling dibenci, paling membahagiakan dan paling menyusahakan agar tetap membentuk dirinya sebagai pribadi yang unik dan mutiara yang berkilau bagi dunia].
Kekuatan Alam yang Tak Tertandingi
Kembali ke laptop! Manusia sering kali membanggakan pencapaiannya dalam teknologi dan infrastruktur, tetapi bencana seperti kebakaran di California menunjukkan batas kemampuan kita. Dengan helikopter pemadam kebakaran, pesawat khusus untuk menjatuhkan bahan kimia pemadam, dan ribuan personel di lapangan, api tetap meluas. Perubahan iklim, suhu tinggi, dan angin kencang menjadi faktor yang membuat kebakaran semakin sulit dikendalikan.
Kejadian ini mencerminkan bahwa seberapapun canggihnya teknologi yang kita miliki, ada batasan nyata dalam menghadapi kekuatan alam. Sebuah badai, angin panas, atau percikan kecil saja dapat memicu kehancuran yang meluas. Betapa rentannya kita di hadapan dinamika alam yang bergerak tanpa kompromi. Kecanggihan teknologi tetaplah berada di bawah "telapak kaki" alam.
Dampak yang Melampaui Fisik
Kebakaran ini bukan hanya tentang habisnya rumah-rumah yang terbakar atau hutan yang musnah. Ini tentang bencana yang meninggalkan luka psikologis mendalam bagi para korban (tak terkecuali para artis yang berkelimpahan harta), terutama ibu dan anak. Banyak keluarga kehilangan tempat tinggal, barang-barang berharga, dan kenangan yang tak tergantikan. Ibu sering kali menghadapi beban ganda sebagai penjaga stabilitas emosional keluarga, sementara anak-anak yang masih rentan secara emosional dapat mengalami trauma mendalam, termasuk mimpi buruk, kecemasan, dan ketakutan yang terus-menerus.
Pertolongan yang harus diberikan mencakup penyediaan layanan konseling trauma bagi ibu dan anak. Dukungan psikososial sangat penting, termasuk menyediakan ruang aman untuk anak-anak bermain dan belajar guna memulihkan rasa normalitas mereka. Selain itu, sesi terapi keluarga dapat membantu membangun kembali rasa aman dan kepercayaan di antara anggota keluarga yang terdampak.
Selain itu, dampak ekologis dari kebakaran ini juga sangat serius. Hutan yang terbakar memusnahkan habitat satwa liar, memperparah emisi karbon di udara, dan merusak ekosistem secara keseluruhan. Pemulihan lingkungan setelah kebakaran semacam ini dapat memakan waktu puluhan tahun, jika tidak lebih.
Renungan dan Tindakan ke Depan
Peristiwa ini seharusnya menjadi momen refleksi mendalam bagi kita semua. Kita harus menyadari bahwa hubungan manusia dengan alam perlu diperbaiki. Eksploitasi berlebihan, perubahan iklim akibat aktivitas manusia, dan ketidakpedulian terhadap konservasi lingkungan adalah faktor-faktor yang memperburuk frekuensi dan intensitas bencana alam.