Proses ini tidak hanya melibatkan penyusunan data statistik, tetapi juga mendengarkan suara masyarakat affected dan menciptakan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Dengan pemetaan yang jelas, BBT dapat merancang strategi pemanfaatan kembali lahan yang tidak hanya mengedepankan aspek ekonomis, tetapi juga melestarikan nilai-nilai sosial dan budaya lokal.
Selain itu, BBT harus berperan sebagai penghubung antara berbagai kementerian dan lembaga pemerintah yang terkait dalam upaya pemulihan. Dengan mengkoordinasikan program rehabilitasi dan rekolonisasi, BBT bisa memastikan bahwa setiap langkah yang diambil memberi manfaat nyata bagi masyarakat.
Tanggung jawab ini mencakup perencanaan relokasi yang tepat, penyediaan infrastruktur yang memadai, serta pengembangan kawasan yang berkelanjutan. Dengan demikian, melalui amanat undang-undang yang dijunjung tinggi, BBT tidak hanya mengembalikan lahan dan tempat tinggal bagi warga terdampak, tetapi juga membangun kembali kepercayaan serta harapan masyarakat untuk masa depan yang lebih baik.
Pemulihan Lahan Tambang: Kalimantan, Morowali, dan Papua
Wilayah Kalimantan dan Papua, yang memiliki potensi tambang besar, sering kali mengalami degradasi lingkungan akibat aktivitas penambangan. Morowali sebagai pusat tambang nikel juga menghadapi dampak sosial dan ekologi yang signifikan. Badan Bank Tanah dapat berperan dengan: 1) Mendukung proses reklamasi lahan untuk mengembalikan fungsi ekologisnya. 2) Menggalang kemitraan dengan perusahaan tambang untuk mendorong tanggung jawab sosial perusahaan dalam pemulihan lingkungan dan pemberdayaan masyarakat lokal. Dan 3) Memastikan perlindungan hak-hak masyarakat adat agar tidak terdampak secara negatif oleh ekspansi industri tambang.
Badan Bank Tanah (BBT) beroperasi sesuai dengan amanat undang-undang yang mengatur pengelolaan sumber daya tanah dan pemulihan lingkungan di Indonesia, termasuk Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dalam konteks pemulihan lahan tambang di wilayah Kalimantan, Morowali, dan Papua, BBT memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa proses reklamasi lahan dilakukan dengan standar yang tinggi dan berkelanjutan. Langkah ini tidak hanya berarti mengembalikan lahan kepada kondisi awalnya tetapi juga mengupayakan pembentukan ekosistem fungsional yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat setempat dan melindungi keanekaragaman hayati yang ada.
Selain mendukung reklamasi, BBT juga bertindak sebagai fasilitator dalam menggalang kemitraan antara pemerintah dan perusahaan tambang. Melalui pendekatan berbasis kerjasama ini, BBT mendorong perusahaan untuk menjalankan tanggung jawab sosial mereka, baik dalam pemulihan lingkungan maupun dalam pemberdayaan masyarakat lokal.
Ini sejalan dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 8 Tahun 2016 yang menekankan pentingnya partisipasi masyarakat dalam kegiatan pertambangan. Dengan melindungi hak-hak masyarakat adat dan memastikan mereka terlibat dalam proses pengambilan keputusan, BBT turut menciptakan keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan, sehingga masyarakat tidak hanya menjadi penonton dalam pengelolaan sumber daya alam, tetapi juga menjadi bagian integral dari pembangunan yang berkelanjutan.
Studi Kasus Newmont NTB: Reklamasi dan Pendekatan Berkelanjutan
Tambang Newmont di Batu Hijau, NTB, sempat menjadi sorotan karena dampak lingkungannya. Pendekatan terpadu yang melibatkan pemerintah dan perusahaan menunjukkan bahwa reklamasi dan pemulihan lingkungan dapat berjalan efektif. Badan Bank Tanah dapat mengadopsi praktik ini dengan: Merencanakan pemanfaatan lahan secara jangka panjang yang mempertimbangkan aspek lingkungan dan sosial secara holistik; dan Mengadopsi pendekatan berkelanjutan dalam setiap kebijakan terkait lahan tambang.