STY dan "Karut Marut" Persepakbolaan Indonesia: Antara Ambisi dan Realitas
Dalam riuh rendah isu makan siang gratis dan gosip tekanan mafia, nama Shin Tae-yong (STY) mencuat sebagai korban terbaru dari kekacauan persepakbolaan Indonesia. Pelatih yang berjasa menaikkan peringkat FIFA Indonesia dari 173 (Desember 2019) ke 125 (November 2024) itu harus angkat kaki, meninggalkan pertanyaan besar: apakah keputusan ini adalah solusi atau sekadar cermin masalah mendalam sepak bola nasional?
Saya bukan pengamat sepak bola apalagi penggemar sepak bola dalam negeri. Saya menyukai sepak bola (liga-liga Eropa) yang kadang rela begadang untuk menonton tim kesukaan sedang bertanding, terutama tim-tim yang dilatih oleh Jose Morinho. Saya ngefans berat sama pelatih ini karena filosofi sepak bolanya, bukan pada cara timnya bermain. Dia kadang mengorbitkan pemain yang oleh orang lain dianggap tidak layak. Contohnya Didier Drogba, sebelum ke Chelsea dan diberi peran sebagai penyerang tidak ada yang kenal dia, juga beberapa pemain muda lain yang berkembang di tangannya.
Dulu sewaktu tim Persipura masih berlaga di Liga 1 saya masih suka menonton liga Indonesia, meski sesekali saja. Tetapi Persipura juga menjadi "korban" yang harus diturun-kastakan dari Liga 1 sehingga tidak menarik lagi ditonton.
Tulisan berikut murni gerundelan pribadi sebagai seorang yang suka dengan gaya pendekatan dan filosofi sepak bola STY yang mirip dengan Jose Mourinho.
Karut Marut Sepak Bola Indonesia: Ambisi Tanpa Fondasi
Sepak bola Indonesia adalah dunia yang penuh gairah sekaligus paradoks. Antusiasme masyarakat begitu besar, namun sayangnya tidak diimbangi oleh pengelolaan yang profesional.
Kasus pemutusan hubungan kerja dengan STY hanyalah puncak gunung es. Di balik layar, terdapat tekanan dari berbagai pihak, mulai dari klub, asosiasi, hingga isu "mafia bola" yang mencemari semangat olahraga ini.
STY datang dengan visi besar, membangun tim yang tangguh dari nol. Namun, visi tersebut seringkali berbenturan dengan kenyataan: infrastruktur yang belum memadai, politik dalam federasi, hingga ekspektasi publik yang tak realistis.
Keputusan menggantinya, meskipun belum jelas motivasinya, terasa seperti mengorbankan individu atas sistem yang bermasalah.
Perjalanan STY: Dari Korea ke Indonesia
Shin Tae-yong bukanlah sosok asing dalam dunia sepak bola. Sebagai pemain, ia adalah gelandang serang andal yang memperkuat tim nasional Korea Selatan di Piala Dunia FIFA 1998.
Karier kepelatihannya pun cemerlang, membawa Seongnam Ilhwa Chunma meraih gelar Liga Champions Asia pada 2010.