Sepak Bola Indonesia: Membangun dari Dasar, Bukan Mengandalkan Hasil Instan (2)
Pemecatan Shin Tae-yong dari kursi pelatih Timnas Indonesia oleh PSSI menjadi polemik hangat yang terus diperbincangkan. Keputusan ini menuai berbagai reaksi, mulai dari kekecewaan hingga pertanyaan besar tentang arah sepak bola Indonesia. Apakah ini langkah maju, atau justru pengulangan siklus kegagalan yang sama?
Kubu penggemar sepak bola Indonesia terbelah: antara yang pro STY bertahan dan membiarkan dia membangun filosofi sepak bola Indonesia yang kehilangan arah dari dasar dan kubu yang menekankan hasil instan berupa trophy alias yang mendukung pemecatan STY, karena menurut mereka hampir 4 tahun belum ada trophy di lemari PSSI.
Lalu kita kembali jatuh pada dualism: mau proses atau hasil? Padahal sesungguhnya dengan mengembangkan proses pembinaan yang baik pada semua jenjang usia, kita akan menuai hasil yang diharapkan.
Persoalan Utama: Antara Harapan Tinggi dan Realita yang Sulit
Shin Tae-yong, pelatih asal Korea Selatan, datang dengan harapan besar dari publik sepak bola Indonesia. Dengan rekam jejaknya yang gemilang, ia diharapkan membawa Timnas ke level yang lebih tinggi. Namun, perjalanan Shin tidaklah mulus. Ia harus menangani berbagai kelompok umur sekaligus, dari tim senior hingga kelompok usia muda. Beban tugas yang berat ini tentu memengaruhi kinerjanya.
PSSI mengungkapkan dua alasan utama pemecatan Shin, yaitu kurangnya strategi permainan yang efektif dan lemahnya komunikasi dengan pemain. Namun, kritik terhadap PSSI juga tidak kalah deras. Banyak pihak menilai bahwa federasi lebih mengutamakan hasil instan ketimbang proses pembinaan jangka panjang. Budaya ini membuat prestasi menjadi sesuatu yang sulit diraih secara konsisten.
Dalam sepak bola, strategi permainan yang efektif adalah kunci untuk meraih kesuksesan. Namun, dalam konteks timnas Indonesia di bawah kepemimpinan Shin Tae-yong, tampak adanya kesenjangan antara harapan dan realita. Meskipun ada penerjemah untuk membantu komunikasi antara pelatih dan pemain, efektivitas komunikasi tidak hanya tergantung pada penguasaan bahasa, tetapi juga pada pemahaman mendalam mengenai filosofi permainan dan sistem yang diterapkan.
Hal ini menuntut pemain untuk bukan hanya memahami instruksi, tetapi juga menerapkannya dalam situasi nyata di lapangan. Ketidakmampuan untuk mengimplementasikan strategi yang diinginkan bisa jadi disebabkan oleh kekurangan dalam pelatihan sebelumnya atau mungkin juga karena adaptasi yang sulit terhadap gaya bermain yang berbeda.
Selain itu, kurangnya kejelasan dalam visi jangka panjang dari PSSI menjadi kendala tambahan bagi Shin. Dalam dunia sepak bola modern, konsistensi dan kestabilan manajerial sangat penting untuk mencapai prestasi. Kini, pelatih baru yang akan menggantikan Shin harus menghadapi tantangan yang sama, yaitu mengintegrasikan pemain ke dalam strategi yang baru dan membangun hubungan yang solid.
Perubahan pelatih yang terlalu sering dalam periode pendek justru berpotensi membuat pemain kebingungan dan kehilangan arah. Dengan adanya peralihan yang tidak jelas dalam kebijakan pembinaan pemain, terutama jika PSSI tetap memprioritaskan hasil instan, proses pengembangan yang berkesinambungan akan semakin sulit dicapai. Dengan demikian, tantangan yang dihadapi oleh Shin adalah cermin dari dinamika yang lebih besar dalam sistem manajemen sepak bola Indonesia.
Belajar dari Pengalaman: Jejak Shin Tae-yong di Timnas Indonesia
Di balik kontroversi, Shin Tae-yong telah meninggalkan beberapa jejak positif. Salah satunya adalah keberhasilannya membawa Timnas U-19 tampil solid di turnamen internasional. Ia juga memberikan kesempatan kepada pemain muda untuk berkembang dan tampil di level yang lebih tinggi.
Namun, kegagalan di Piala AFF 2024 dan kekalahan di kualifikasi Piala Dunia melawan China menjadi titik balik yang memicu evaluasi besar-besaran. Apakah kegagalan ini sepenuhnya tanggung jawab pelatih? Ataukah ada masalah mendasar yang lebih besar di tubuh sepak bola Indonesia?
Sejarah mencatat bahwa pergantian pelatih sering kali menjadi jalan pintas yang diambil oleh PSSI ketika hasil tidak sesuai harapan. Sayangnya, langkah ini tidak selalu berbuah manis. Sebaliknya, tim nasional kerap kali mengalami stagnasi atau bahkan penurunan performa setelah pelatih baru mengambil alih. Ini disebabkan oleh kurangnya kontinuitas program yang sudah berjalan, yang pada akhirnya memengaruhi perkembangan pemain dan pola permainan.
Contoh lain adalah ketika pelatih sebelumnya, seperti Luis Milla, diberhentikan meski menunjukkan progres signifikan dalam membangun fondasi permainan tim. Sayangnya, keputusan tersebut justru mengembalikan Timnas Indonesia ke titik nol, memaksa pemain dan staf pelatih baru untuk beradaptasi dari awal. Ini adalah pola berulang yang menunjukkan kurangnya visi jangka panjang dalam pengelolaan sepak bola nasional.
Solusi untuk PSSI Menuju Prestasi Jangka Panjang
Untuk mengatasi permasalahan ini, PSSI perlu mengubah paradigma dalam pengelolaan sepak bola. Sebagai langkah awal, visi jangka panjang harus menjadi prioritas utama, bukan hanya mengejar hasil instan. Program pembinaan usia dini harus diperkuat, dengan memastikan bahwa pelatih-pelatih muda mendapatkan pelatihan berkualitas dan fasilitas yang memadai. Selain itu, konsistensi dalam menerapkan program pengembangan pemain harus dijaga, terlepas dari pergantian kepengurusan atau pelatih.
Selain itu, kolaborasi dengan liga domestik perlu diperbaiki untuk memastikan bahwa pemain yang berlaga di kompetisi lokal memiliki kualitas yang cukup untuk bersaing di tingkat internasional. Liga 1 dan Liga 2 harus menjadi arena yang kompetitif dan mendukung pengembangan bakat lokal. Dengan demikian, pelatih tim nasional tidak perlu lagi bergantung pada pemain naturalisasi untuk menutup celah kualitas.
Evaluasi juga harus dilakukan secara menyeluruh, mencakup seluruh aspek, mulai dari teknis, mentalitas pemain, hingga infrastruktur sepak bola. Dengan pendekatan ini, diharapkan sepak bola Indonesia tidak lagi terjebak dalam pola "cari cepat" tetapi benar-benar membangun pondasi yang kokoh untuk masa depan.
Sekolah Pelatih dan Wasit: Fondasi Sepak Bola Berkualitas
Untuk menunjang tujuan jangka panjang, PSSI juga perlu memberikan perhatian serius terhadap pendidikan pelatih dan wasit. Dengan membangun sekolah pelatih yang berkualitas, Indonesia dapat mencetak pelatih-pelatih lokal yang memiliki kemampuan mumpuni dan mampu bersaing di level internasional. Program pelatihan ini harus mencakup kurikulum yang relevan dengan perkembangan sepak bola modern, serta akses terhadap teknologi dan metode analisis terkini.
Demikian pula, sekolah wasit perlu didirikan untuk memastikan bahwa pertandingan sepak bola di Indonesia dipimpin oleh wasit-wasit yang profesional dan berintegritas. Keberadaan wasit yang kompeten akan meningkatkan kualitas kompetisi domestik sekaligus meminimalkan kontroversi yang kerap mencoreng nama baik sepak bola nasional.
Selain pendidikan, pembinaan usia dini harus masuk dalam skala prioritas. PSSI perlu menggelar berbagai turnamen kompetitif di level akar rumput, dengan fokus pada pengembangan pemain muda di seluruh penjuru Indonesia. Namun, yang lebih penting adalah memastikan bahwa proses ini jauh dari hiruk-pikuk mafia dan politik praktis yang hanya mengutamakan kepentingan sesaat. Dengan langkah-langkah ini, Indonesia dapat membangun ekosistem sepak bola yang sehat dan berkelanjutan, serta meraih hasil maksimal tanpa harus mengandalkan cara-cara instan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H