Perubahan pelatih yang terlalu sering dalam periode pendek justru berpotensi membuat pemain kebingungan dan kehilangan arah. Dengan adanya peralihan yang tidak jelas dalam kebijakan pembinaan pemain, terutama jika PSSI tetap memprioritaskan hasil instan, proses pengembangan yang berkesinambungan akan semakin sulit dicapai. Dengan demikian, tantangan yang dihadapi oleh Shin adalah cermin dari dinamika yang lebih besar dalam sistem manajemen sepak bola Indonesia.
Belajar dari Pengalaman: Jejak Shin Tae-yong di Timnas Indonesia
Di balik kontroversi, Shin Tae-yong telah meninggalkan beberapa jejak positif. Salah satunya adalah keberhasilannya membawa Timnas U-19 tampil solid di turnamen internasional. Ia juga memberikan kesempatan kepada pemain muda untuk berkembang dan tampil di level yang lebih tinggi.
Namun, kegagalan di Piala AFF 2024 dan kekalahan di kualifikasi Piala Dunia melawan China menjadi titik balik yang memicu evaluasi besar-besaran. Apakah kegagalan ini sepenuhnya tanggung jawab pelatih? Ataukah ada masalah mendasar yang lebih besar di tubuh sepak bola Indonesia?
Sejarah mencatat bahwa pergantian pelatih sering kali menjadi jalan pintas yang diambil oleh PSSI ketika hasil tidak sesuai harapan. Sayangnya, langkah ini tidak selalu berbuah manis. Sebaliknya, tim nasional kerap kali mengalami stagnasi atau bahkan penurunan performa setelah pelatih baru mengambil alih. Ini disebabkan oleh kurangnya kontinuitas program yang sudah berjalan, yang pada akhirnya memengaruhi perkembangan pemain dan pola permainan.
Contoh lain adalah ketika pelatih sebelumnya, seperti Luis Milla, diberhentikan meski menunjukkan progres signifikan dalam membangun fondasi permainan tim. Sayangnya, keputusan tersebut justru mengembalikan Timnas Indonesia ke titik nol, memaksa pemain dan staf pelatih baru untuk beradaptasi dari awal. Ini adalah pola berulang yang menunjukkan kurangnya visi jangka panjang dalam pengelolaan sepak bola nasional.
Solusi untuk PSSI Menuju Prestasi Jangka Panjang
Untuk mengatasi permasalahan ini, PSSI perlu mengubah paradigma dalam pengelolaan sepak bola. Sebagai langkah awal, visi jangka panjang harus menjadi prioritas utama, bukan hanya mengejar hasil instan. Program pembinaan usia dini harus diperkuat, dengan memastikan bahwa pelatih-pelatih muda mendapatkan pelatihan berkualitas dan fasilitas yang memadai. Selain itu, konsistensi dalam menerapkan program pengembangan pemain harus dijaga, terlepas dari pergantian kepengurusan atau pelatih.
Selain itu, kolaborasi dengan liga domestik perlu diperbaiki untuk memastikan bahwa pemain yang berlaga di kompetisi lokal memiliki kualitas yang cukup untuk bersaing di tingkat internasional. Liga 1 dan Liga 2 harus menjadi arena yang kompetitif dan mendukung pengembangan bakat lokal. Dengan demikian, pelatih tim nasional tidak perlu lagi bergantung pada pemain naturalisasi untuk menutup celah kualitas.
Evaluasi juga harus dilakukan secara menyeluruh, mencakup seluruh aspek, mulai dari teknis, mentalitas pemain, hingga infrastruktur sepak bola. Dengan pendekatan ini, diharapkan sepak bola Indonesia tidak lagi terjebak dalam pola "cari cepat" tetapi benar-benar membangun pondasi yang kokoh untuk masa depan.
Sekolah Pelatih dan Wasit: Fondasi Sepak Bola Berkualitas
Untuk menunjang tujuan jangka panjang, PSSI juga perlu memberikan perhatian serius terhadap pendidikan pelatih dan wasit. Dengan membangun sekolah pelatih yang berkualitas, Indonesia dapat mencetak pelatih-pelatih lokal yang memiliki kemampuan mumpuni dan mampu bersaing di level internasional. Program pelatihan ini harus mencakup kurikulum yang relevan dengan perkembangan sepak bola modern, serta akses terhadap teknologi dan metode analisis terkini.