Tanpa Presidential Threshold: Peluang dan Tantangan dalam Pencalonan Presiden di Era Demokrasi
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menghapus ambang batas (Presidential Threshold) pencalonan presiden menciptakan suasana baru dalam politik Indonesia. Dalam putusannya, MK menegaskan bahwa ambang batas pencalonan presiden bertentangan dengan konstitusi karena dianggap membatasi hak partai politik dalam mengusulkan calon.
Hal ini membuka peluang lebih luas bagi partai politik untuk berpartisipasi penuh dalam proses demokrasi. Namun, keputusan ini juga memunculkan tantangan besar dalam menjaga kualitas dan stabilitas demokrasi di Indonesia.
Kali ini saya belum bicara soal peluang untuk ikut menjadi kader yang bisa dicalonkan, tetapi saya mencoba melihat permasalahan, situasi konkret (pengalaman yang terjadi) dan solusi secara filosofis dampak dari keputusan MK ini.
Dan jika masih tertarik menuliskannya, saya akan mencoba menggali secara subjektif soal peluang kader-kader seperti saya maupun teman-teman kompasianer lainnya untuk ikutan maju mencalonkan diri.
Bagi saya yang lebih penting adalah melihat efek domino yang terjadi sebagaimana yang akan saya uraikan berikut ini.
Menjaga Kualitas Calon di Tengah Dinamika Baru
Penghapusan ambang batas pencalonan presiden membawa risiko fragmentasi suara, di mana lebih banyak calon tanpa kapasitas atau rekam jejak yang memadai dapat mencalonkan diri.
Dalam putusannya, MK berargumen bahwa ambang batas melanggar prinsip kesetaraan dalam demokrasi. Namun, tanpa mekanisme pengganti, ada potensi meningkatnya populisme dan lemahnya kepemimpinan nasional.
Apakah kita siap negara sebesar ini dipimpin oleh tokoh populis yang sebenarnya tidak punya kapasitas untuk mengemban tanggung jawab besar sebagai presiden dan wakil presiden? Siapkah kita menghadapi kekacauan tata pemerintahan hanya karena salah urus oleh mereka yang dipilih karena populer bukan kemampuannya dalam manajemen negara yang demikian besar?
Kualitas calon presiden menjadi kunci untuk mengelola urgensi dan kompleksitas jabatan ini. Oleh karena itu, masyarakat dituntut untuk lebih kritis dalam menilai calon yang muncul, agar tidak terjebak pada janji-janji politik yang tidak realistis. Pemilih perlu mempertimbangkan kompetensi, pengalaman, dan integritas calon sebagai kriteria utama.