Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Quo Vadis Penegakan Hukum (2): Antara Harapan dan Kenyataan yang Pahit

27 Desember 2024   23:33 Diperbarui: 27 Desember 2024   23:33 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi olahan GemAIBot, dokpri)

Quo Vadis Penegakan Hukum (2):
Antara Harapan dan Kenyataan yang Pahit

 

Di tengah gejolak kasus korupsi yang kian marak, masyarakat Indonesia bergeming dalam kebingungan. Apakah penegakan hukum saat ini berjalan sesuai harapan?

Dengan vonis ringan terhadap pelaku korupsi dan penanganan yang tidak tegas terhadap kasus besar, pertanyaannya pun muncul, "di mana keadilan dalam sistem hukum kita?"

Vonis Ringan: Menyisakan Pertanyaan tentang Keseriusan Penegakan Hukum

Vonis yang ringan terhadap pelaku korupsi seperti yang dijatuhkan pada Harvey Moeis, yang hanya mendapatkan hukuman 6,5 tahun penjara, menyiratkan kegagalan serius dalam penegakan hukum.

Di satu sisi, vonis ringan ini memperlihatkan ketidakmampuan hukum untuk menanggulangi kejahatan besar yang merugikan negara.

Di sisi lain, hal ini menciptakan ketidakadilan bagi masyarakat yang melihat bahwa kejahatan besar yang melibatkan pejabat tinggi negara atau orang berpengaruh bisa lolos dari jerat hukum hanya dengan hukuman yang tidak setimpal.

Lebih jauh lagi, vonis yang rendah ini memunculkan pertanyaan mendalam: apakah hukum hanya berfungsi untuk menekan kalangan lemah sementara kalangan elit tetap kebal terhadap hukuman berat?

 

Kejagung dan KPK: Antara Ikan Paus dan Ikan Teri

Ketika Kejaksaan Agung dan KPK terfokus pada kasus-kasus dengan nama besar, mereka seharusnya menggunakan kesempatan ini untuk memberikan sinyal tegas bahwa tak ada celah bagi koruptor, besar atau kecil.

Namun, kenyataannya, mereka justru terjebak dalam permainan politik dan eksekusi hukum yang tampaknya lebih mengutamakan citra ketimbang substansi.

Kasus besar yang melibatkan pejabat tinggi sering kali terhenti di tengah jalan, sementara perkara kecil justru disorot.

Praktik ini menambah kesan bahwa penegakan hukum di Indonesia lebih didorong oleh kepentingan politis daripada komitmen nyata dalam memberantas korupsi.

Padahal, untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat, fokus utama harus pada penuntasan kasus-kasus besar yang dapat memberikan dampak sistemik terhadap perubahan kultur korupsi di negeri ini.

 

Psikologi Masyarakat: Kehilangan Harapan

Ketidakadilan yang terus-menerus dipertontonkan oleh sistem hukum Indonesia berujung pada menurunnya kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga penegak hukum.

Ketika masyarakat menyaksikan vonis ringan terhadap koruptor, mereka mulai meragukan integritas dan keberpihakan sistem hukum. Kepercayaan yang rapuh ini membuka ruang bagi ketidakpuasan yang meluas, bahkan potensi ketidakpercayaan terhadap negara.

Dalam psikologi sosial, ketidakadilan yang terlihat jelas berpotensi menciptakan apatisme yang lebih luas, di mana masyarakat merasa bahwa berjuang untuk keadilan adalah usaha yang sia-sia.

Dengan demikian, bukan hanya pelaku kejahatan yang merugikan negara yang harus dihukum, tetapi juga ketidakpastian dan ketidakadilan yang meluas dalam masyarakat harus diatasi agar kepercayaan terhadap penegakan hukum dapat dipulihkan.

 

Membangun Kembali Kepercayaan Terhadap Penegakan Hukum

Kepercayaan publik terhadap penegakan hukum dapat diperbaiki hanya dengan tindakan nyata yang lebih transparan dan adil.

Penegak hukum harus memprioritaskan pengusutan kasus-kasus besar yang melibatkan pejabat tinggi dan pengusaha dengan pengaruh besar.

Langkah konkret seperti penyelesaian kasus-kasus besar, transparansi dalam proses penyidikan, dan pengawasan yang lebih ketat terhadap pejabat tinggi yang terlibat dalam korupsi akan menjadi bukti nyata dari komitmen hukum terhadap keadilan.

Pemberantasan korupsi yang efektif tidak bisa hanya mengandalkan retorika, tetapi harus dibuktikan dengan tindakan yang tegas dan tanpa pandang bulu.

Jika langkah ini dapat dilaksanakan, masyarakat akan merasa bahwa mereka tidak hanya menjadi saksi bisu dari proses hukum, tetapi mereka adalah bagian dari perubahan menuju Indonesia yang lebih adil.

Penutup

Kita berada di persimpangan jalan dalam penegakan hukum di Indonesia. Keadilan yang diidamkan tampaknya semakin menjauh, dan ini adalah saatnya bagi semua pihak: baik pemerintah, penegak hukum, maupun masyarakat: untuk bersatu dalam perjuangan melawan korupsi.

Hanya dengan dibangunnya kembali kepercayaan, harapan akan keadilan tidak akan mati.

Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum akan kembali terbentuk, dan dengan demikian, harapan akan terwujudnya keadilan tidak akan pudar dalam gelapnya dunia korupsi.

Sumber Berita

https://news.detik.com/berita/d-7704058/vonis-separuh-tuntutan-harvey-moeis-tuai-banyak-kritik-ini-kata-kejagung?mtype=mpc.ctr.A-boxccxmpcxmp-modelA

https://news.detik.com/berita/d-7702791/pusako-kritik-vonis-6-5-tahun-harvey-moeis-perlemah-pemberantasan-korupsi

https://news.detik.com/berita/d-7700998/alasan-bantu-teman-bikin-vonis-harvey-moeis-jauh-lebih-ringan

https://news.detik.com/berita/d-7704136/ramai-ramai-mengkritik-keras-vonis-6-5-tahun-bui-bagi-harvey-moeis

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun