Quo Vadis Penegakan Hukum (1):
Kejagung dan KPK di Persimpangan Integritas?
Vonis ringan terhadap Harvey Moeis, seorang terdakwa kasus korupsi besar, menjadi sorotan tajam publik. Ketika harapan masyarakat terfokus pada penegakan hukum yang adil dan tegas, realitas yang terjadi justru mempertontonkan paradoks: ikan paus ditangkap hanya untuk dilepas kembali, sementara ikan teri terus menjadi target utama. Apa yang sebenarnya terjadi dalam penegakan hukum di Indonesia?
Menakar Vonis Harvey Moeis: Cermin Buram Penegakan Hukum
Vonis 6,5 tahun penjara bagi Harvey Moeis memicu kritik dari berbagai pihak. Kejaksaan Agung yang digadang-gadang sebagai "penangkap ikan paus" justru dianggap gagal menunjukkan taringnya dalam menuntaskan kasus-kasus besar.
Alasan "membantu teman" yang meringankan hukuman Harvey menjadi preseden buruk bagi pemberantasan korupsi. Lalu, bagaimana masyarakat bisa berharap pada sistem hukum yang tampak semakin longgar terhadap koruptor?
KPK: Harun Masiku dan Hilangnya Fokus pada Kasus Besar
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun tak luput dari sorotan. Hingga kini, Harun Masiku masih menjadi teka-teki tanpa ujung. Sementara itu, kasus-kasus besar yang menyeret nama-nama pejabat tinggi seakan lenyap terbawa angin.
Publik mempertanyakan, apakah KPK masih memiliki independensi dan keberanian yang sama seperti dulu, atau telah terjerembap dalam permainan politik tingkat tinggi? Sehingga hanya sibuk pada kasus suap di bawah 1 miliar (yang keluar dari kantong sendiri untuk memperkaya pejabat), sedangkan kasus-kasus kerugian negara, gratifikasi pejabat dan anak pejabat seperti luput dari mata pisau hukum mereka yang tumpul ke atas (ke pejabat dan pemerintah) tetapi tajam ke bawah (ke lawan pemerintah dan rakyat biasa)
Psikologi Masyarakat: Dari Harapan ke Kekecewaan
Realitas ini tidak hanya berdampak pada kepercayaan terhadap institusi hukum, tetapi juga pada psikologi masyarakat. Kekecewaan terhadap vonis ringan bagi koruptor besar menciptakan apatisme, bahkan sinisme terhadap hukum.
Masyarakat mulai merasa bahwa hukum hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas. Jika kondisi ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin masyarakat kehilangan kepercayaan total terhadap supremasi hukum.
Rasa frustrasi ini diperburuk oleh realitas bahwa korban utama dari korupsi adalah masyarakat luas yang harus menanggung beban ekonomi, sosial, dan moral. Ketika keadilan gagal ditegakkan, rasa tidak berdaya melanda masyarakat, menguatkan keyakinan bahwa hukum hanya menjadi alat bagi elit untuk mempertahankan status quo.
Dalam kondisi ini, masyarakat tidak hanya kehilangan kepercayaan, tetapi juga semangat untuk terlibat dalam upaya kolektif memperjuangkan perubahan.