Harapan yang tidak mengecewakan ini juga melibatkan pengakuan atas penderitaan, bukan untuk meromantisasi rasa sakit, tetapi untuk menghadirkannya di hadapan Tuhan yang turut menderita bersama umat-Nya. Melalui peristiwa Natal, kita diingatkan bahwa Allah menjadi manusia dan masuk ke dalam dunia yang penuh luka, untuk membawa penyembuhan.
Dalam cara yang sama, refleksi atas tsunami Aceh bukan hanya tentang mengenang tragedi, tetapi juga tentang merangkul panggilan untuk menjadi terang bagi sesama di tengah kegelapan dunia.
Sebagai penutup, refleksi ini mengajak kita untuk merenungkan kembali panggilan Natal dan pesan Fratelli Tutti sebagai undangan untuk hidup dalam persaudaraan sejati. Tsunami Aceh menunjukkan betapa rapuhnya hidup, tetapi juga betapa kuatnya harapan dan kasih ketika diwujudkan dalam solidaritas.
Dalam terang Natal, kita dipanggil untuk menghidupi Spes Non Confundit, harapan yang tidak mengecewakan, dan menjadi saudara bagi semua, sehingga dunia yang penuh luka dapat menemukan jalan menuju penyembuhan dan damai sejati.
Mari kita mengenang para saudara kita yang telah menjadi korban keganasan tsunami dua puluh tahun silam. Beristirahatlah dalam damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H