KPK: Komisi Pemilihan Kasus atau Pemberantasan Korupsi?
Ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tiba-tiba mementaskan drama baru dengan menjadikan Hasto Kristiyanto sebagai tersangka, muncul pertanyaan: Apakah ini murni penegakan hukum, ataukah episode lain dari seni pengalihan isu? Di tengah panasnya wacana kenaikan PPN menjadi 12%, "penangkapan" ini terasa seperti kebetulan yang terlalu indah untuk diabaikan.  Sungguh menarik, ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lebih sibuk mengejar "ikan teri" dibandingkan "hiu" yang jelas-jelas berenang bebas di lautan uang rakyat. Kasus demi kasus yang disorot justru kerap tercium aroma politik, mengaburkan tujuan utama lembaga ini sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Selektifitas yang Membingungkan
Ketika kabar Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, menjadi tersangka mencuat, sorotan publik kembali mengarah pada pola kerja KPK. Bukan soal apakah Hasto bersalah atau tidak, tetapi lebih pada bagaimana KPK tampaknya selektif dalam memilih kasus. Apakah ini murni penegakan hukum, ataukah ada tangan-tangan tak terlihat yang mengarahkan fokus lembaga ini?
Lihat saja kasus-kasus korupsi besar yang sudah bertahun-tahun mandek. Dari proyek mangkrak hingga penyalahgunaan anggaran triliunan rupiah, nama-nama besar yang seharusnya menjadi prioritas justru seperti "hilang" dalam daftar target KPK.
Sebaliknya, kasus-kasus yang menyentuh figur tertentu di waktu-waktu politis mendadak menjadi headline utama. Wajar saja jika publik mulai bertanya, apakah ini lembaga anti-korupsi atau alat anti-oposisi?
Menangkap "Ikan Teri," Membiarkan "Hiu" Bebas
Tidak bisa dipungkiri, KPK memang berhasil mengungkap beberapa kasus besar di masa lalu. Namun, belakangan, kinerjanya lebih sering dipertanyakan. Dalam konteks Hasto, PDIP bahkan menuding adanya politisasi. Terlepas dari tuduhan itu benar atau tidak, fakta bahwa KPK sering kali "tebang pilih" sudah cukup membuat kredibilitas lembaga ini tercoreng.
Apakah KPK lupa pada tugas utama mereka? Korupsi bukan hanya soal menangkap orang; ini soal memberantas sistem yang korup. Jika yang ditangkap hanya tokoh-tokoh tertentu tanpa menyentuh akar masalah, maka apa bedanya KPK dengan panggung drama politik? Bukannya memulihkan kepercayaan rakyat, KPK malah berpotensi menjadi bahan sindiran: "Komisi Pemilihan Kasus," bukan "Komisi Pemberantasan Korupsi."
Di tengah kepincangan yang terjadi, isu terkait kenaikan PPN 12% juga menunjukkan bagaimana kebijakan publik dapat dipolitisasi untuk kepentingan tertentu. Dengan pengalihan perhatian pada kasus-kasus tertentu, akan lebih mudah bagi para pengambil keputusan untuk meloloskan legislatif yang kontroversial seperti kenaikan pajak.Â
Rakyat dihadapkan pada dilema: menyaksikan "hiu" besar pemangsa anggaran yang terus berkuasa, sementara "ikan teri" yang dipilih hanya menjadi pemenangan semu di tengah ketidakpuasan publik. Ini menunjukkan betapa pentingnya bagi masyarakat untuk tetap kritis dan fokus pada isu-isu nyata yang berdampak langsung pada kehidupan sehari-hari.
Dalam situasi ini, jika KPK tidak berani menangkis korupsi pada level yang lebih tinggi dan lebih serius, maka ia akan terus dituduh melakukan tebang pilih. Rakyat berhak menuntut agar penegakan hukum tidak hanya hadir sebagai alibi politik, tetapi benar-benar memberikan keadilan dan transparansi.Â
Jika tidak, lembaga ini akan semakin kehilangan legitimasi dan kepercayaan yang diharapkan oleh masyarakat. Ketika penegakan hukum menjadi alat untuk memperkuat kekuasaan, rakyat seharusnya bersatu untuk terus menuntut perubahan yang berarti, agar tidak hanya "ikan teri" saja yang digiring ke proses hukum sementara "hiu" tetap bebas merajalela di lautan korupsi.