Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ka Maki Reba

14 Desember 2024   16:12 Diperbarui: 15 Desember 2024   19:52 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(reba di Maghilewa tahun 2019, foto: Om Lambert Wea)

KA MAKI REBA

Catatan Kenangan Masa Kecil

Pengalaman masa kecil yang indah di Malapedho adalah ketika pesta reba. Pesta syukur atas panen dan atas segala berkat lainnya yang diperoleh selama setahun.

Tulisan ini tidak untuk mengulas mengenai sejarah pesta Reba dan Meghe baik dalam arti sosiologis, antropologis maupun religius.

Yang hendak saya bagikan di sini lebih sebagai pengalaman ikut diundang makan oleh beberapa keluarga ketika menghabiskan masa kanak-kanak, masa sekolah dasar dan masa sekolah menengah pertama di Malapedho, Inerie, Aimere (sekarang sudah kecamatan Inerie, pemekaran dari kecamatan Aimere), Ngada, Flores.

Saya ikut menyaksikan secara dekat pesta reba pada bulan Desember 1982 di rumah besar bapak Niko Loy (alm). Dan sejak saat itu setiap tahun saya dan adik-adik selalu mendapat undangan untuk ka maki reba (makan nasi reba) di kampung Jere dan Maghilewa.

Tiada yang lebih membahagiakan bagi kami anak-anak kecil saat itu selain bergembira menonton orang melakukan tandak sambil menyanyikan lagu "O Uwi" sambil menikmati undangan makan dari rumah ke rumah.

(nasi dan daging dalam
(nasi dan daging dalam "piring wati" dari anyaman daun lontar, foto: Kak Yohana)

Semoga tradisi ini terus diwarisi dari generasi ke generasi.

Ini tradisi yang indah, bukan soal makan minumnya tetapi terutama tradisi berkumpul dan bersatunya segenap keluarga besar setiap Sao Meze (Rumah Adat) yang ada di kedua kampung yang di tengahnya berdiri kokoh Kapela Maghilewa (sebagai cikal bakal Paroki Ruto) sebagai fondasi iman bagi seluruh warga kedua kampung serta kampung Watu dan Leke sebelah barat kampung Maghilewa.

Kampung Jere dan Maghilewa ini sangat eksotik dan menurut saya juga sangat mistis. Di atas dasar kedua kampung ini telah dibaringkan ribuan leluhur yang setia menjaga keutuhan kampung. Kadang sebagai anak kecil saat itu saya (mungkin ada teman lain) merasa takut untuk berjalan sendirian di pinggir kampung, sekalipun di siang hari.

Ya takut akan kesakralan kampung, karena di atas Ngadu dan Bhaga (rumah-rumah kecil di tengah kampung sebagai tempat pemujaan) "bertahta" leluhur yang selalu memperhatikan tingkah laku para anak cucunya.

Kalau selama ini turis asing hanya kenal kampung Bena di sisi timur gunung Inerie, maka belumlah lengkap jika para wisatawan belum datang kedua kampung yang persis berada di bawah kaki gunung Inerie bagian selatan.

Saya masih ingat kalau hari Sabtu atau Minggu saya dan kadang adik saya sering secara bergilir diundang untuk nginap di Sao Meze yang satu ke Sao Meze yang lain. Sudah tak terhitung berapa Sao Meze yang sudah menerima kepalaku bisa tertidur lelap setiap saya berkunjung ke sana.

(para bapak dengan pakaian adat dan sedang menikmati nasi dan daging di wati, foto: Om Nico Gere)
(para bapak dengan pakaian adat dan sedang menikmati nasi dan daging di wati, foto: Om Nico Gere)

Reba memang pesta rakyat yang sangat menggembirakan dan menyatukan semua keluarga yang ada dalam kedua kampung itu. Reba menjadi momen rekonsiliasi seluruh anak cucu dari para leluhur yang selalu setia menunggu mereka datang dan berpesta bersama.

****

Salah satu pengalaman makan nasi reba yang paling menyenangkan yakni saat meghe maki. Meghe maki bisa dijelaskan sebagai saat seluruh warga kampung tak terkecuali siapapun diundang untuk menerima nasi dan daging.

Kita hanya datang membawa piring kosong. Ketika pertama kali datang saya sangat malu untuk ikut. "Kok bawa piring kosong?" Saya kira kami disuruh minta-minta. Ada yang bawa piring, ada yang bawa rantang lengkap dengan tutupnya. Ada yang bawa wati (piring dari anyaman daun lontar) lengkap dengan tutupnya.

Membayangkan semua pengalaman itu bikin lucu dan tertawa sendiri. Ternyata sangat mengesankan hingga kini. Datang bawa piring kosong, pulang bawa piring penuh nasi dan daging.. bagi anak kecil mungkin inilah yang namanya mukjizat.. datang bawa piring kosong pulang bawa gunungan kecil.

(pembagi daging sedang berkeliling membagikan daging ke setiap piring yang sudah berisi nasi, foto: Om Nico Gere)
(pembagi daging sedang berkeliling membagikan daging ke setiap piring yang sudah berisi nasi, foto: Om Nico Gere)

Satu hal yang bikin saya malu, suatu waktu saya membawa rantang lengkap dengan tutupnya, maksudnya agar saat pulang (kalau tidak makan di tempat) nasinya bisa terlindungi dari debu. Tahu toh Malapedho kalau musim panas debunya seperti asap kebakaran hutan di Kalimantan atau Sumatera.

Saya membuka rantang dan meletakkan di tanah menunggu giliran orang membagi maki nee sui (nasi dan daging). Saat rantang diisi oleh seorang bapak yang dengan lincah dan cepat bergerak menaruh nasi dari piring ke piring yang berjejer, saya masih anggap biasa.

Namun saat giliran bapak yang membagi daging, dia meletakkan juga daging di tutupan rantang saya. Dagingnya menjadi sangat banyak dan rantang tidak bisa ditutup, seolah hanya dipenuhi daging.

Sebagai anak kecil ya senang-senang saja, namun sampai di rumah dimarahin mama dikira saya meminta daging orang lain... haha ini sangat indah dan membekas...

Dan tiap kali ada meghe, saya selalu berharap om itu lagi biar dapat banyak haha... dasar anak kecil kala itu tidak tahu malu (kalau diingat-ingat memang malu-maluin hehe)

(salah satu tampilan kampung Maghilewa di bawah kaki Gunung Inerie, foto: Gilang S. Aimere)
(salah satu tampilan kampung Maghilewa di bawah kaki Gunung Inerie, foto: Gilang S. Aimere)

****

Reba selalu menjadi pesta yang ditunggu-tunggu seluruh kampung. Pesta reba sebenarnya pesta syukuran atas hasil panen yang diperoleh seluruh warga. Meski warga mengerjakan ladangnya sendiri-sendiri, namun moment syukuran selalu menjadi moment kebersamaan.

Hal ini dilandasi oleh keyakinan akan cinta Tuhan yang sama kepada para leluhur dan cinta leluhur kepada para anak cucu.

Warga kampung Jere dan Maghilewa atau warga satu desa Inerie akan merayakannya secara bersama di tengah kampung secara bergantian.

Seperti pada umumnya pesta yang selalu melibatkan banyak orang, pesta reba juga demikian.

Saya hanya sekali menyaksikan ketika para ibu dari setiap Sao membawa bere berisi nasi dan dikumpulkan dalam sebuah bere yang ukurannya lebih besar. Kira-kira yang terkumpul nasi sebanyak lebih dari 1 ton. Begitu juga dengan dagingnya.

Nasi dan daging sebanyak itu akan dinikmati oleh seluruh warga. Warga akan makan bersama di tengah kampung sambil mengelilingi ngadu dan bhaga di depan rumah-rumah adat.

(para ibu dan gadis memakai baju adat untuk ikut menari, foto: Om Nico Gere)
(para ibu dan gadis memakai baju adat untuk ikut menari, foto: Om Nico Gere)

Seluruh warga akan datang dengan piring dan wati kosong, duduk mengelilingi nasi dan daging yang terkumpul atau ada yang duduk di teras dan tangga rumah masing-masing.

Setelah dilakukan upacara adat untuk memberi makan terlebih dahulu kepada para leluhur yang ada di ngadhu dan bhaga, dimulailah pembagian nasi dan daging. Berapapun anggota keluarga kita sebutkan, sekalipun secara fisik mereka tidak hadir di tempat.

Kalau ada orangtua yang anaknya merantau (berapapun banyaknya) akan disebutkan satu per satu, sehingga tukang bagi nasi dan daging akan membaginya sebanyak yang disebut. Itulah wujud syukur yang luar biasa. Sekalipun anak cucu tidak di tempat, tetapi syukur harus dirayakan bersama.

Inilah keunikan dan kelebihan pesta dan ka maki nee sui reba (makan nasi dan daging reba). Sebagai anak asli keturunan nagekeo (yang sama sekali tidak pernah merasakan momen pesta syukur di Nunukae, Nagekeo), sebagai anak kecil kala itu, saya sudah merasa menjadi bagian dari Sao Meze dari salah satu Om atau tante yang mengundang kami.

(reba di Maghilewa tahun 2019, foto: Om Lambert Wea)
(reba di Maghilewa tahun 2019, foto: Om Lambert Wea)

Sebagai orang yang tidak terikat dengan salah satu Sao Meze, kami kadang diundang terus menerus dari rumah ke rumah... hemmm go tuka jeka bhai ke dhudhe wali... alias sudah penuh-full sekali.

Momen indah saat meghe selalu kuingat. Ada beberapa teman kecilku yang nakal secara positif. Kalau sudah terima nasi dan daging akan berusaha pindah ke tempat yang belum kebagian. Mereka akan menutup dagingnya dengan nasi, atau membawa tutupan watinya yang masih kosong. 

Para orangtua yang melihat hanya tertawa, biar anak-anak itu berbuat berkali-kali toh nasi dan daging itu tidak akan habis di hari itu. Nasi dan daging yang melimpah itu bisa buat pesta 3 hari 3 malam...

Kayaknya ine ebu (leluhur) merasa senang dengan upacara syukuran ini sehingga menurut keyakinan daging dan nasi tidak akan langsung habis. Mereka akan terus menambahkannya sampai anak cucunya kekenyangan.

Malamnya, setelah makan seluruh warga mulai dari anak-anak sampai kakek dan nenek dengan berpakain adat secara lengkap datang ke tengah kampung untuk tandak O Uwi bersama-sama. 

Mereka merayakan syukur dengan bernyanyi dan menari semalam suntuk.. tentu bagi yang lapar dan harus masih tersedia nasi, daging dan tuak yang siap mereka santap..lalu menari lagi dan seterusnya, tergantung kesanggupan perut.

(para bapak saat mulai tandak 'o uwi', foto: Om Nico Gere)
(para bapak saat mulai tandak 'o uwi', foto: Om Nico Gere)

****

Yang menarik dalam pesta reba, setelah orang makan kenyang adalah tandak O Uwi untuk memeriahkan pesta syukur (reba). Sebelum dilakukan tandak biasanya diawali dengan Soka Uwi yang isinya berbeda-beda untuk setiap kampung atau setiap woe. Kampung Maghilewa biasanya melakukan dheke reba sehari setelah Kampung Watu.

Kampung Mangilewa yang berada sebelah timur Kampung Watu tidak mempunyai rumah pemegang adat Reba, atau sa'o kepo wsu tidak ada. Karena itu pesta Reba harus disesuaikan dengan pesta Reba di kampung Watu. Jadi mori kapo wasu harus mengumumkan kapan untuk pembukaan pesta Reba bagi orang-orang di kampung Watu dan Mangilewa. 

Namun dhke Reba di Mangilewa haruslah satu hari setelah pembukaan Reba di Watu. Soka uwi di kampung Mangilewa harus disesuaikan dengan soka uwi di kampung Watu.

Soka uwi itu selain suatu syukur atas kemakmuran dan kesejahteraan, tetapi juga memuja para leluhur yang telah berjasa yang menjadi panutan semua anak dan cucu.

(warga melebur dalam kegembiraan reba, foto: Om Nico Gere)
(warga melebur dalam kegembiraan reba, foto: Om Nico Gere)

Sebelum tandak reba biasanya diawali dengan Keku Uwi dan menari berkeliling halaman kampung (kisa nata) yang disebut Keloghae untuk mengundang orang-orang yang masih berada di rumah-rumah untuk segera keluar dari rumah untuk mengikuti tandak o uwi. Keku Uwi dan Keloghae kira-kira sebagai berikut:

O, Uwi e ................!
Uwi da meze go lewa laba!
Koba gha rako lizu,
Ladu gha wai poso
Ulu lau, ulu mena, sui moki-moki bhai moli!
Ulu zale, kutu koe-koe ana ko'e!
O, Uwi e...........!
Uwi da meze go, lewa laba!

[terjemahan bebas:

O ubi...
Ubi yang besar dan panjang
Talinya merambat sampai ke langit
bertunas tiada henti
ke kiri dan ke kanan kami gali tidak pernah habis
Semakin dalam masih saja ada
O ubi...
Ubi yang besar dan panjang
]

Makna di balik lagu tandak (menari keliling makanan dan minuman bisa diterjemahkan secara lebih spiritual, yang menggambarkan sukacita dan kegembiraan, kedamaian dan kesatuan semua suku atas semua hasil panen ubi sebagai berikut:

Ya, Ubi!
Ubi, datanglah ke sini!
Tak ada yang lebih indah,
Rasa bahagia menyelimuti,
Kami bersukacita, kami bersatu,
Bersama-sama merayakan, dengan kegembiraan yang mendalam!
Kami saling membahagiakan, menjaga satu sama lain!

(foto ngadhu yang ada di tengah kampung berdekatan dengan tempat sajen, foto: Us Rangga)
(foto ngadhu yang ada di tengah kampung berdekatan dengan tempat sajen, foto: Us Rangga)

Mendengar keku uwi demikian orang-orang yang sudah berpakaian adat lengkap akan segera menuju tengah kampung untuk mengikuti dan memulai tandak bersama. 

Jika kita mengikuti upacara ini dengan penuh hikmat, terasa jiwa bergetar, mencekam rasa antara kekaguman dan ketakutan yang luar biasa mendalam kepada para dewa, para leluhur yang disembah dan dipuji.

Reba bukanlah pesta pemujaan pada makanan (sebagaimana yang diwakili dalam lagu tandak O Uwi). Reba terutama pujian syukur kepada Penguasa kehidupan yang telah memberikan leluhur yang begitu penuh perhatian sehingga mewariskan tradisi syukur yang luar biasa. 

Syukur atas apa? Syukur atas hasil bumi (ubi dan padi) yang telah ditanam dan dipanen oleh masyarakat. Itulah kira-kira makna religius yang bisa ditangkap dari pesta reba.

Secara sosio-antropologis --secara kasat mata dari ramainya orang berkumpul mulai dari ulu eko, padhi mena dan padhi sale) -- reba menjelaskan arti kesetaraan seluruh warga Kampung Jere dan Maghilewa sebagai anak turunan dari satu leluhur. Mereka duduk bersama makan dan minum dari tungku, piring dan "gelas" tuak yang sama.

Demikianlah beberapa kesan yang bisa disimpulkan dari pesta reba yang terus mengiang dalam memoriku. Terima kasih Malapedho, terima kasih Nua Jere dan Maghilewa. Salam kangen dari tanah rantau.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun